Narasi-narasi perdamaian dari bumi Nusa Cendana harus dibaca banyak orang. Begitulah simpulan singkat yang (sengaja) saya lekatkan dalam memori ketika memandu Seminar Nasional Pendidikan Jurnalisme Perdamaian yang terselenggara atas kerjasama Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unmuh Kupang, BEM-J PBSI, De Saussure Community, IKA PBSI, dan Komunitas Sastra Pondok Aspira.Â
Saya ingat-ingat, rasanya bicara soal narasi sudah sering dikemukakan beberapa penulis juga seniman-seniman NTT dalam berbagai kesempatan. Baik secara serius dalam bentuk ulasan panjang yang dipajang dalam blog pribadi, mapun status-status pendek di media sosial. Felix K Nesi dan Dicky Senda dua penulis muda asal Timor yang dalam berbagai kesempatan menarasikan NTT dengan indah, natural, dan kritis.Â
Terakhir yang paling saya ingat adalah kehadiran Mbak Okky Madasari pada sebuah diskusi di Komunitas Dusun Flobamora. Mbak Okky banyak memotivasi kami (perwakilan komunitas-komunitas) yang hadir saat  itu untuk menarasikan NTT dalam bentuk tulisan dengan lebih serius.
Semua memori tentang narasi NTT tersambung begitu saja ketika narasumber yang dihadirkan dalam seminar pada hari Senin, 17 Desember 2018 di Aula Utama Unmuh Kupang itu juga banyak memberi gagasan bagaimana  menarasikan pendamaiaan di NTT.Â
Pemateri yang dihadirkan sangat komplit dan kompeten dalam membahas tema Hidup Damai di Negeri Multikultural. Kehadiran Prof. Dr. Sandi Maryanto, M.Pd  yang mengupas tuntas multukulturalisme dalam pendidikan dan  Dr.Marsel Robot, M.Hum  dengan materi pers dan dinamika sosial telah mewakili golongan akademisi. Baik Prof. Sandi maupun Dr. Marsel adalah dosen yang produktif menulis dan banyak menarasikan NTT baik dalam fiksi maupun non-fiksi. Â
Warna berbeda datang dari Cris Mboik selaku pimpinan redaksi Viktory News dan Muhammadad Subhan Setowara seorang peneliti di Pusat Studi Islam dan Filsafat Universitas Negeri Malang. Pak Cris banyak bercerita tentang bagaimana sebuah media berdiri di antara bisnis atau idealisme. Sedangkan Bang Subhan dengan semangat berapi-api banyak bercerita tentang kontra-narasi hoaks dan ujaran kebencian. Â
Hoaks dan ujaran kebencian bukan lagi sesuatu yang tabu. Linimasa media sosial saya menjadi laboratorium mini tempat saya belajar atau sekadar  membuktikan bagaimana orang-orang menjadi korban hoaks atau malah mengorbankan diri  bahkan merelakan diri menjadi atlet penyebar hoaks. Harus diakui ramainya penyebar hoaks seiring juga dengan ramainya situs produksi dan penyebar hoaks. Â
Kemeninfo menyebutkan ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar hoaks. hoaks bukan lagi sekadar berita bohong yang dibuat kelompok tertentu untuk sebuah urusan, hoaks sudah terorganisir dengan bayaran profesional.
 Ada beberapa kelompok yang dibayar khusus memproduksi berita-berita bohong lalu diunggah di media sosial. Sayangnya, banyak pula orang yang tanpa membaca dengan jernih langsung termakan hoaks. Kelompok penyebar hoaks ini dengan mudah membagikan informasi palsu tanpa menganalisis fakta dan data.
Hal yang sama terjadi pula pada ujaran kebencian. Ada informasi dan data yang falid tentang suatu peristiwa yang sengaja 'dimasak' untuk  menimbulkan amarah golongan tertentu.  Isi berita maupun video profokatif itu menimbulkan reaksi dari golongan tertentu yang tidak kalah profokatif. Kelompok ini terang-terangan menggunakan ujaran kebencian dalam berkomunikasi lisan maupun tulisan.Â