Mohon tunggu...
Sayyidah Ilman Nisa
Sayyidah Ilman Nisa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

If there is a will, there is a way

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Europanization and Integration in European Union: Dilemma in The LGBT Poland Case

30 Desember 2021   23:15 Diperbarui: 20 Januari 2023   22:25 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

(Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Staff Research and Analysis FPCI Chapter UMY)

Instagram: @hilmanisa01_

Uni Eropa (UE) dan negara-negara anggotanya merupakan salah satu fenomena hubungan internasional yang selalu menarik untuk dibahas. Hal ini disebabkan oleh aspek politik dan ekonomi yang sangat terintegrasi dari UE itu sendiri, yang dapat mengakibatkan negara-negara anggota UE melepaskan sebagian kedaulatannya kepada UE. Hal lain yang menarik dari UE adalah Eropanisasi. Eropanisasi sendiri merupakan transmisi kedaulatan de jure ke tingkat UE. Selain itu Borzel menyatakan bahwa Eropanisasi merupakan prosedur dimana bidang kebijakan yang berada di dalam negeri menjadi semakin taat terhadap kebijakan Eropa (Komunitas Indonesia untuk Kajian Uni Eropa, 2021). Dilansir dari Komunitas Indonesia untuk Kajian Uni Eropa, konsep Eropanisasi didasarkan pada asumsi bahwa integrasi regional yang ada di UE membuat proses politik yang ada menjadi berbeda.

Eropanisasi menunjukkan bahwa politik UE telah merasuk ke dalam sistem politik negara-negara anggotanya. Namun, konsep Eropanisasi tidak memandang hubungan kedaulatan antara UE dan negara-negara anggotanya sebagai sesuatu yang sebanding. UE memang memiliki banyak pengaruh atas negara-negara anggotanya, tetapi itu tidak pasti. Negara-negara anggota UE memainkan peran penting dalam memutuskan apakah akan mengadopsi, memodifikasi atau menolak kebijakan UE (Komunitas Indonesia untuk Kajian Uni Eropa, 2021). Dengan kata lain, kebijakan yang diambil oleh UE tidak secara otomatis diikuti oleh negara anggotanya. Artinya, keseimbangan kekuatan antara UE dan negara-negara anggotanya berupa interaksi dua arah yang saling mempengaruhi. Negara-negara anggota UE tidak hanya menerima kekuatan UE, tetapi juga menggunakan UE untuk mendukung atau memperkuat kebijakan nasionalnya (Komunitas Indonesia untuk Kajian Uni Eropa, 2021). Contoh penerapan Eropanisasi yang menarik untuk dibahas adalah Polandia yang harus "tunduk" pada konsep hak asasi manusia, terutama pedoman yang dikeluarkan oleh UE tentang penjaminan hak-hak komunitas lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di negara ini (Tamsyah, 2017).

Pada kasus isu LGBT di Polandia sendiri, kurangnya respect, dukungan, serta perlindungan hak-hak pada kaum LGBT masih menjadi masalah yang berusaha untuk diselesaikan oleh UE. Apalagi setelah masuknya Polandia sebagai bagian dari UE, pemerintah negara tersebut belum memberikan kebijakan yang relevan dalam mengatasi kasus Hak Asasi Manusia ini. Dilansir dari Media VOA Indonesia, salah satu bentuk pelanggaran HAM di Polandia adalah penolakan dan diskriminasi oleh para pejabat tinggi Polandia terkait kelompok LGBT. Sikap ini telah menyalahi peraturan yang tercantum dalam Article 6 of the Treaty Nice yang menerangkan bahwa semua negara anggota UE harus melindungi hak minoritasnya. Jika Article 6 itu tidak dipatuhi, maka UE berhak mencabut hak voting yang dimiliki Polandia sebagai negara anggota UE. Hal ini bukan sekedar wacana, mengingat UE cukup tegas dalam menegakkan aturannya. Ditambah lagi, salah satu nilai fundamental yang dipegang oleh UE adalah implementasi hak asasi manusia sebagai hak-hak dasar nasional di negara-negara anggota yang merupakan prasyarat keanggotaan.

Salah satu kriteria politik yang diresmikan oleh UE adalah demokrasi di mana seluruh warga negara harus terlibat dalam dalam penentuan keputusan politik dari level lokal sampai tingkat nasional. Demokrasi pada dasarnya adalah sebuah bentuk pemerintahan dimana warga negara memiliki hak untuk memilih dan menentukan arah pilihan hidup mereka. Salah satunya adalah bebas untuk memilih orientasi hidup mereka. Dilansir dari media VOA, Presiden Dewan Eropa mendesak Polandia untuk menghargai konstitusi dan praktik-praktik demokrasi yang ada di UE. Karena jika tidak, semua akan berdampak ke negara-negara UE lainnya. Pandangan UE terhadap LGBT ini sendiri sudah jelas dimana UE telah mengeluarkan resolusi yang menjamin kebebasan komunitas LGBT di seluruh blok. Namun, beberapa negara seperti Polandia melihat langkah ini sebagai gesekan dari otoritas konservatif (Deutsche Welle, 2021). Meskipun begitu, peraturan yang diterapkan oleh UE harus ditaati jika terdapat negara-negara yang ingin bergabung dengan UE maka negara tersebut harus memodifikasi legislasinya secara sesuai dengan peraturan yang ada (Tamsyah, 2017).

Upaya yang dilakukan oleh UE dalam menginternalisasikan nilai-nilai LGBT kepada negara anggotanya tentunya tidak mudah. Proses Eropanisasi dapat menjadi jalan bagi UE dalam menyebarkan norma dan hukum yang telah dibuatnya. Norma merupakan salah satu hal yang diupayakan dalam usaha penghapusan hak LGBT di Eropa. Dalam literatur konstruktivis sosial, norma didefinisikan lebih kepada sikap, preskripsi, serta ekspektasi. Annika Bjorkdahl (2002) berpendapat bahwa untuk menjadi normatif, sebuah perjanjian perlu diadakan, dan sikap harus ditentukan oleh norma. Sehingga dalam konteks tersebut aktor dengan identitas tertentu diharapkan untuk berperilaku yang sesuai dengan norma (Finnemore dan Sikkink, 1998).

"Model Insentif Eksternal" merupakan pendekatan utama UE terkait adaptasi Eropa Timur dalam pengadopsian norma dan aturan UE. Dalam model ini muncul asumsi bahwa adaptasi aturan dari negara UE dapat didorong oleh penghargaan dari keanggotaan yang dijanjikan oleh UE sebagai aktor eksternal. Dalam mengadopsi norma-norma serta menerapkan aturan-aturan EU tersebut, negara anggota dapat mengalami kerugian politik. Sehingga pemberian insentif eksternal berupa reward dianggap sebagai mekanisme paling efekiif. Berkaitan dengan hal tersebut, strategi UE terkait LGBT di Polandia diintegrasikan dengan mencari kesepakatan tentang serangkaian nilai-nilai yang akan melindungi hak asasi manusia terutama kaum minoritas. Pelaksanaan European Convention on Human Rights (ECHR) hingga pembentukan European Court of Human Rights (ECtHR) sejak akhir perang dunia II dianggap sebagai akar perlindungan hak minoritas. Pada awalnya ECHR hanya terbatas pada perlindungan etnis dan agama, namun seiring perkembangannya Subjek LGBT juga dikategorikan sebagai bagian dari nilai-nilai hak asasi manusia Eropa.

Situasi di Polandia mengenai isu LGBT ini sendiri berbanding terbalik dengan apa yang diinginkan oleh UE. Politisi dan pendeta telah dituduh menghasut keengganan homoseksual di Polandia. Pemerintah Polandia menyatakan bahwa mereka menentang apa yang disebut ideologi LGBT, bukan melawan homoseksual. Sebenarnya terdapat gerakan dukungan terhadap LGBT di Polandia seperti yang dibuktikan dengan adanya demo terhadap diskriminasi kaum LGBT di Polandia bernama pride march serta adanya 100 kota yang telah melembagakan resolusi pernyataan diri sebagai "zona bebas LGBT". Namun sikap pemerintah Polandia sendiri sepertinya tetap condong ke arah anti-LGBT. Menurut IDN Times, Presiden Polandia Andrzej Duda juga telah dikritik karena berbagai pernyatannya yang kontroversial seperti menyatakan bahwa "LGBT menjadi idealisme, bukan manusia" serta mengklaim bahwa LGBT "lebih merusak daripada komunisme" (Rahmah N, 2021). Di Polandia sendiri terdapat dua pandangan mayoritas terhadap LGBT, yaitu kaum liberal yang menekankan perlunya masyarakat yang lebih toleran dan inklusif serta kaum konservatif religius yang menyebutkan bahwa LGBT mengancam nilai-nilai tradisional Polandia yang erat dengan ajaran Katolik. Selain itu, hingga saat ini hubungan dan pernikahan sesama jenis masih dilarang di Polandia.

Hal ini sangat kontras dengan resolusi yang dikeluarkan oleh UE dimana UE menyatakan dirinya sebagai "zona kebebasan LGBT" dan menganggap LGBT sebagai bagian dari hak asasi manusia (detikNews, 2021). Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa komunitas LGBT dilindungi di seluruh negara anggota dan menentang negara anggota dengan kebijakan anti-LGBT. Resolusi itu disahkan di Parlemen UE dengan dukungan 492 anggota, 141 memilih menentangnya, dan 46 abstain. Resolusi tersebut juga mengkritisi diskriminasi sistematis terhadap kaum LGBT yang tidak hanya terjadi di Polandia saja namun juga merupakan masalah di UE secara keseluruhan. Pemerintah Polandia kemudian menanggapi dengan menentang resolusi ini serta mengklaim bahwa mereka memiliki hak untuk mendukung apa yang dianggapnya sebagai nilai-nilai keluarga tradisional sebagai negara berdaulat dan masyarakat yang lebih konservatif.

Berkembangnya konsep Eropanisasi (Europeanization) pada pertengahan tahun 1990-an memberikan alternatif yang lebih proporsional sebagai konsep yang sangat bermanfaat dalam konteks perubahan di Eropa dengan munculnya UE sebagai sebuah sistem governance. Walaupun demikian, proses Eropanisasi yang ada UE tidak selamanya berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu contohnya adalah hak LGBT di Polandia. Eropanisasi dalam hal hak-hak LGBT tidak berhasil di Polandia karena nilai-nilai yang ingin disebarluaskan UE tentang LGBT tidak sampai di Polandia. Walaupun parlemen UE mengeluarkan resolusi bahwa "Hak LGBT adalah hak asasi manusia," akan tetapi Polandia belum sepenuhnya mematuhi aturan hukum UE yang mewajibkan seluruh negara anggotanya menghormati dan menerapkan segala hak kebebasan untuk hidup (Sulistyo, 2021).Terdapat berbagai reaksi dan pernyataan yang dibuat oleh pejabat pemerintahan yang menunjukkan sikap anti-LGBT. Beberapa diantaranya adalah pernyataan Presiden Polandia, Andrzej Duda, yang menyatakan bahwa LGBT merupakan ideologi yang lebih berbahaya dari komunisme. Selain itu pemimpin partai yang Conservative Law and Justice Party (PiS) yang berkuasa di Polandia, Jaroslaw Kaczynski, menyatakan bahwa LGBT merupakan ancaman nasional dan warga Polandia seharusnya menghormati Gereja Katolik sebagai identitas nasional apapun kepercayaan yang dianut warganya (France 24, 2019) Hal ini menunjukkan Polandia tidak taat terhadap nilai yang coba disebarkan oleh UE tentang LGBT tersebut sehingga proses Eropanisasi tidak berjalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun