Maka nikmat Tuhanmu yang manakah, yang kamu dustakan?
“Tuhan, di manakah diriMu? Maha, kau sebut dirimu Maha. Maha apa? Tak pernah kau kabulkan doaku. Tak pernah kau terima. Di manakah kemahaanMu? Katanya kau Maha Penyembuh, Mana? Aku masih sakit begini” Ceracau Fadi.
Fadi terbaring lemah, di atas kasurnya ia tak bisa bergerak. Sendiri, antara hidup dan mati. Dalam keadaan sakit mendadak seperti itu, Fadi lebih memilih mempertanyakanNya daripada menanyakannya pada dirinya sendiri. Fadi, dengan nafas terengah-engah berusaha mengerahkan segala amarahnya.
**
Tiga hari lalu, Fadi jajan apa saja. Uang kiriman dari orang tua di kampungnya ia habiskan dalam sehari. Membeli, konsumsi, makan, tidur.. Begitu seterusnya. Hidupnya hanya untuk berfoya-foya
Orang tuanya tak tahu apa yang dilakukannya. Yang mereka tahu, Fadi sedang merantau, mencari pekerjaan yang lebih baik. Daripada hanya menyabit rumput di kampunya, lebih baik ia merantau. Sayangnya, Fadi membuang kepercayaan yang telah dibebankan di pundaknya. Memilih untuk bersenang dengan uang kiriman tersebut.
**
Lima hari yang lalu, Fadi bertemu dengan seorang kakek tua. Seorang kakek yang tak pernah ia lihat di garis pantai itu. Semua orang dikenalnya di desa pantai itu, kecuali kakek itu. Tiba-tiba kakek menepuk pundaknya, di saat dirinya sedang bersantai ria dengan teman-temannya, menikmati indahnya saat matahari tenggelam. Kakek, itu datang entah dari mana.
“Nak, lebih baik kamu pulang sekarang. Nanti akan ada ombak Pasang yang tinggi. Pulanglah sebelum itu terjadi”
“Ah, bagaimana mungkin ombak pasang datang malam hari kek? Yang ada Nelayan baru berangkat ke laut pada malam hari, lalu pulang pada pagi hari. Tak mungkin. Hahahaha“ Katanya sambil tertawa merendahkan kakek itu.
Teman-temannya lebih memilih santai, daripada memikirkan kakek asing tersebut.
Tak disangka, tak dinyana, ternyata omongan sang kakek benar-benar terjadi. Anomali ini benar-benar nyata. Sang Ombak semakin menggulung dan menggulung. Semakin membesar. Fadi yang memakai kacamata hitam menyangka itu hanya ombak biasa.
Ombak itu tak terlalu besar, tapi sanggup menghanyutkan kursi-kursi yang mereka duduki. Untung saja tak terlalu besar, mereka masih bisa menyelamatkan diri lalu kembali ke tempatnya masing-masing.
**
Empat hari yang lalu, kakek itu datang lagi. Kini, di saat Fadi sedang di depan rumahnya.
“Nak, Kalau kamu berdoa. Berdoalah yang tulus. Berdoalah dengan segenap hatimu. Lalu tunjukkanlah semangatmu. Berikanlah sekeras mungkin usahamu. Pasti Tuhan akan menunjukkan jalanNya padamu. Jangan juga kau khianati amanah dari kedua orang tuamu. Mereka bersusah payah di kampung, memetik bunga mawar lalu menjualnya di pasar. Itu mereka lakukan demi kamu. Tega sekali kamu mengkhianati mereka.“ Ujar sang Kakek.
“Ah, tahu apa kakek ini? Aku yang lebih tahu dari kakek. Pergi saja sana!” Usir Fadi.
“Empat hari kemudian. Kamu akan merasa sakit. Kemudian tidak bisa bangun dari tidurmu. Kamu akan terperangkap dalam kesombonganmu tanpa bisa mengangkat badanmu sendiri. Jangan menantang Tuhan di kala sakit itu benar-benar tiba padamu”
“Kakek terlalu sok tahu ya. Mana mungkin kakek tahu. Sudah pergi sana. Jangan kembali lagi”
**
Fadi teringat beberapa hari yang lalu. Tentang kakek itu. Tentang semua apa yang dikatakannya padanya.
“Ternyata semua yang dikatakan kakek itu benar adanya. Lalu, siapa kakek itu?” batinnya.
Di kala dirinya terbaring lemah di atas ranjangnya. Tiba-tiba kakek itu muncul lagi. Kini dengan wajah yang sangat putih lagi cerah. Juga dengan pakaiannya yang berwarna putih-putih. Fadi menengok ke dalam pintunya, mencoba mengangkat badannya. Bertanya dalam hatinya, “Siapa di luar sana?”
Sang kakek masuk ke dalam kamarnya. Fadi pun kaget. Tapi ia tak mampu berkata apa-apa.
“Sudah, jangan paksa lagi badanmu itu. Jangan kamu tanya siapa aku. Menyelamlah dalam lautan dosamu, lalu hisaplah semua. Gantikan ia dengan butiran-butiran pasir pahala. Karena satu butir saja bisa menghapuskan sepuluh dosa. Jangan kau campurkan doamu dengan perilaku bejatmu. Tak akan ada guna. “
Air mata Fadi meleleh di pipinya. Menyesali apa yang telah ia lakukan. Foya-foyanya, mengkhianati amanah kedua orang tuanya. hidupnya yang selalu jauh dari Tuhan. Ia telah mencampur aduk doa dengan maksiat.
“Dengarkanlah apa yang kukatakan ini. Semua yang kukatakan beberapa hari lalu, benar bukan? Makanya, belajarlah untuk mendengar apa yang dikatakan orang. Bukan hanya merasa dirimu hebat. Aku adalah utusan Tuhan yang dikirimkanNya untukmu. Tuhan masih mengampuni kamu, asalkan kamu berjalan selangkah demi selangkah menuju jalanNya. Kamu bisa terbebas dari penyakit itu asalkan kamu mau bertobat. Benar-benar menyusuri setapak jalanNya. Tidak puaskah kamu dengan segala tawa canda dunia?Aku adalah malaikat maut yang diutusNya. Aku akan mencabut nyawamu.”
Tangis Fadi semakin meleleh. Ia takut. Sangat takut. Pada apa yang telah diperbuatnya di masa lalu. Pada apa yang diperbuatnya pada kakek itu. Pada apa yang ia lakukan pada orang tuanya. Kini ia hanya bisa pasrah, hingga nyawa berpisah dengan jasadnya.
**
Tiba-tiba saja badannya menjadi tegar kembali. Setelah sekuat tenaga ia paksa badannya untuk berdiri. Ke manakah kakek itu? Pergi? Lari? Hilang? Fadi berjanji pada dirinya sendiri, untuk menapaki jalan Tuhan kembali.
Sepucuk surat tergeletak di atas mejanya. Surat itu hanya berisi satu kalimat, sebuah pertanyaan.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah, yang kamu dustakan?
sumber gambar : theangelmichael.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H