Mohon tunggu...
Yusbhi Kris Sayputra
Yusbhi Kris Sayputra Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tukang Foto, Tukang Video, Tukang Nulis

Orang yang suka sama foto, video, dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Kkn Pilihan

Awas Ada Culik

30 Juni 2024   23:57 Diperbarui: 1 Juli 2024   00:00 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi Bimo, ada beberapa hal yang kurang dia sukai. Salah satunya adalah ketika mereka mengerjakan proker rutin setiap hari, yaitu mengajar anak-anak SD di desa Simpang, Kota P. Biar kayak novelnya Gradis Kretek gitu, loh. Hehe.

Eits. Jangan salah paham dulu. Bukan berarti Bimo nggak suka sama anak-anak. Tapi lebih karena setiap kali dapat tugas ngajar, dia bingung mesti ngapain.

Soalnya begini. Di kelompok KKN-nya kan ada 17 orang. Berasal dari 5 Fakultas yang berbeda. Ada yang dari Fakultas Hukum, Fakultas Ekonomi, Fakultas Sastra, Fakultas Ilmu Sosial & Politik, dan Fakultas Matematika & Ilmu Pengetahuan Alam. Masing-masing fakultas itu juga terdiri dari jurusan yang berbeda-beda. Jadi kebayang dong susahnya ngatur proker KKN sesuai bidang keahlian.

Nah, untuk proker mengajar anak-anak SD ini udah ditetapkan dari awal. Yaitu, akan lebih banyak dibebankan kepada mereka yang berasal dari Fakultas Sastra dan Fakultas MIPA. Alasannya, ya, apalagi kalo kemampuan berbahasa dan kemampuan eksak jadi poin penting buat anak-anak SD.

Masalahnya, yang dari Fakultas Sastra, Cuma ada dua orang. Bimo dan si cewek Jawa bernama Santi. Bimo dari jurusan Sastra Jepang, sedangkan Santi dari Sastra Indonesia.

Ketika pertama kali berembuk soal materi mengajar, Bimo selalu protes. Soalnya, alih-alih mengajar Bahasa Jepang, dia diminta mengajar Bahasa Inggris. Bagi Bimo yang tahunya cuma yes-no-yes-no, tentu merasa keberatan.

"Masa gue ngajar Bahasa Inggris?" protes Bimo waktu ditunjuk oleh sang Kordes, Toni. "Gue kan Sastra Jepang."

"Masa lo mau ngajar Bahasa Jepang buat anak SD? Yang benar aja lo," kata Toni yang dibalas anggukan dari yang lain. "Kalo Santi kan udah dapat bagian Bahasa Indonesia. Ya, karena ini tugasnya lo sebagai mahasiswa Fakultas Sastra, ya, lo harus terima."

"Tapi kan Bahasa Inggris gue..."

"Ah elah. Udah, pokoknya ini bagian lo. Terserah lo gimana cara ngajarnya. Yang penting proker ini kudu jalan sesuai rencana," Toni menutup protes Bimo supaya rapatnya nggak keburu kemaleman. Dan Bimo bersungut-sungut di barisan belakang.

Ketika Bimo melirik ke arah Zaki, si Pentol Korek itu balas mendelik sambil meledek, "Syukurin."

Bimo menggerutu.

Tapi nggak apa-apa lah, Bimo mencoba bijak, kali aja nanti kalo jadi guru SD beneran udah punya pengalaman ngajar walau Cuma di KKN. Eh, tapi masa iya ngajar Bahasa Jepang di SD? Ah sialan nih si Toni bikin overpower aja. Eh, overthinking.

Makanya, setiap dapat jadwal ngajar, Bimo kayak yang berusaha banget buat bisa sabar ngadepin bocah-bocah yang masih polos. Beneran polos. Saking polosnya, sampe bikin Bimo nggak tega ngegetok pake penggaris kayu kalo pada nakal.

"Pak, gunanya Bahasa Inggris tuh buat apa, Pak? Apa nanti Bahasa Indonesianya diganti jadi Bahasa Inggris?" tanya seorang anak suatu waktu. Si anak ini bertanya pake Bahasa Sunda, Cuma karena Bimo nggak terlalu bisa nyunda, yaudah diganti Indonesiaan aja.

Bimo gelagapan ditanya kayak gitu. Pertanyaan sederhana tapi bikin mikir keras. Mirip kayak abang-abangan filsuf kampus kalo lagi ceramah. Dia mikir sebentar. "Ya, kalo nanti kalian mau ke luar negeri atau mau kerja di luar negeri, harus bisa Bahasa Inggris. Soalnya semua orang ngomongnya pake Bahasa Inggris kalo di luar negeri."

"Berarti kalo saya nggak mau ke luar negeri, nggak usah belajar Bahasa Inggris lagi ya, Pak?"

Bimo menelan ludah. Bener juga, kata Bimo dalam hati. Kalo cuma kerja di sini doang, ngapain juga belajar Bahasa Inggris.

Bimo sebentar memandang ke luar jendela. Dia berusaha merangkai jawaban sambil melihat dedaunan yang tertiup angin. Melihat seorang anak yang membeli dadar gulung di dekat gerbang sekolah. Melihat mamang tukang cilok yang baru aja parkirin gerobaknya. Melihat ibu-ibu penjual gorengan yang lagi masuk-masukin bakwan ke penggorengan. Ah, Bimo jadi laper. Tapi masih bisa ditahan karena jam istirahat masih sejam lagi.

"Ya, pokoknya untuk sekarang kalian harus belajar Bahasa Inggris." Pada akhirnya, Bimo nggak menemukan jawaban. Dia jadi nggak enak sendiri. Tapi si anak yang barusan nanya, nggak peduli tuh. Malah lagi asik aja bikin pesawat kertas.

"Pak, ke luar negeri tuh ke mana sih? Ke Bandung ya?" celetuk seorang anak lainnya.

"Pak, kalo Bahasa Inggrisnya bapak saya manjat pohon apa, Pak?"

"Pak, si Asep kentut nih, Pak?"

"Pak, udah punya pacar belum?"

Oke, kali ini Bimo nyerah. Kalo kata anak zaman sekarang sih, mentalnya udah kena. Bimo meralat pikirannya sendiri, kayaknya nggak sanggup jadi guru SD.

*

Sorenya, sesampainya di pondokan, Bimo dibuat bertanya-tanya, ada apa ini rame-rame?

Terlihat beberapa orang duduk melingkar di teras depan pondokan yang nggak terlalu luas. Semua teman kelompoknya ikutan nimbrung. Beberapa di antaranya Cuma berdiri di sekitar teras karena nggak kebagian tempat duduk.

Kalo dilihat-lihat, sekitar empat orang nggak dikenal sedang berbicara, sementara Toni dan yang lainnya menyimak.

Walaupun nggak tahu apa yang lagi diomongin, tapi lama kelamaan Bimo tahu juga siapa empat orang asing ini. Mereka adalah mahasiswa yang lagi KKN juga. Tapi beda desa atau dari desa sebelah. Dan kalo dirangkum, kira-kira begini isi obrolannya;

Kemarin, ada mahasiswi yang KKN di desa sebelah dikabarkan hilang. Desas-desusnya diculik oleh orang. Sampai sekarang belum ada kabar. Lokasi terakhir yang bisa dikonfirmasi adalah si mahasiswi ini berada di pusat kecamatan, dekat terminal kecamatan. Seenggaknya informasi itu yang didapat dari pesan BBM-nya sebelum hilang kontak.

"Jadi, teman kami ini sebelumnya minta izin pulang dulu ke Bandung buat ngurus sesuatulah, bilangnya. Terus, kemarin malam dia ngabarin kalo baru sampe terminal. Setelah itu, nggak ada kabar lagi dan sampe sekarang nggak diketahui keberadaannya."

Ketika ditanya oleh Anton apakah benar diculik atau cuma nggak ada kabar doang, salah satu dari empat orang itu menjawab, "Itu dari kata-kata terakhir teman kami sebelum hilang kontak, inti BBM-nya dia minta tolong karena ada orang yang ngikutin dia di terminal."

Oh ya. BBM di sini tuh Blackberry Messenger ya. Maklum, ceritanya ini KKN tahun 2010. Jadi, belum ada tuh yang namanya Watsapp.

Bimo coba menelaah walaupun nggak ngerti-ngerti amat. Emang betul kemarin malam sempat heboh tuh kabar ada mahasiswi KKN yang diculik. Teman-temannya yang KKN di kota lain pada ngomongin itu di Twitter dan Facebook. Tapi, Bimo nggak terlalu ngikutin kabar itu.

"Kenapa nggak lapor aja?" celetuk Bimo dengan entengnya.

"Besok rencananya kami lapor ke pihak yang berwajib. Kami pengin coba usahain dulu tanpa libatin polisi. Supaya beritanya nggak jadi heboh," jawab orang itu lagi. "Makanya, kedatangan kami ke sini untuk meminta bantuan teman-teman semuanya. Kami minta tolong untuk membantu mencari keberadaan teman kami ini. Rencananya, habis Maghrib, sebagian dari teman-teman kelompok kami akan ke pusat kecamatan. Karena besok juga ada proker yang harus disiapin, kami nggak bisa menurunkan semua teman kelompok kami. Jadi, kami meminta kesediaan teman-teman di sini untuk membantu."

Semuanya kompak menoleh ke arah Toni. Dia kelihatan lagi berpikir. Kedua tangannya dilipat. Tapi matanya bergerak-gerak sambil mencari jawaban. Oke, serunya dalam hati. "Jadi begitu."

"Ha?" semuanya melongo.

"Jadi begitu apanya, Ton?"

Eh. Rupanya mulut Toni lupa dibuka saat otaknya menyebutkan jawaban. Dia malu sendiri. Dikira teman-temannya bisa telepati kali, ah. "Sori. Sori," kata Toni lagi. "Maksudnya, kita pake cara yang sama. Karena besok kita juga ada proker, dan malam ini harus persiapan, makanya gue akan mengirim 2 orang. Cukup nggak?"

"Itu udah cukup, kok."

"Oke, kalo gitu... yang akan membantu... adalah..." Toni memindai muka teman-temannya. Dia mencari orang yang layak dijadikan tumbal. Ada yang berpura-pura ngobrol. Ada yang sok sibuk sendiri sama hape-nya. Ada juga yang sengaja memalingkan muka. Halah. Tapi, Toni nggak peduli. Toh dia punya kuasa buat nyuruh anggotanya. "Zaki... sama... Bimo," seru Toni kemudian. "Lo berdua yang bantu cari."

Bimo yang mendengar hal itu, bersorak kegirangan. Kapan lagi dia bisa kabur dari rapat proker njelimet, pikirnya.

Tapi berbeda dengan Zaki. Mukanya langsung ditekuk. Kusut banget sampe disetrika pun kayaknya susah rapi lagi.

"Anjir, beneran jodoh lo berdua," ledek si gondrong, Anton sambil terkekeh-kekeh. "Satu SMP bareng, SMA bareng, Kampus bareng, Kosan bareng, KKN bareng, kelompok pun bareng."

"Yeay!" Bimo berseru.

"Taeek!" Zaki ngomel.

*

Sekitar jam tujuh kurang seperempat, Bimo dan Zaki udah sampai di pusat kecamatan yang lebih mirip kayak alun-alun.

Jarak desa KKN dengan pusat kecamatan ini lumayan jauh dan bikin betis bengkak kalau jalan kaki. Kalo naik motor, ada kali ngabisin seperempat liter bensin. Soalnya mereka pakai motor Supra fit. Itu juga motor sewa dari Kang Ojek yang biasa mangkal di gapura desa. Kalo nggak nyewa, ya pilihannya jalan kaki.

"Malam-malam gini udah nggak ada angkutan yang lewat kalo di sini," kata salah satu Kang Ojek dalam Bahasa Sunda waktu Bimo nyamperin ke pangkalan buat nanyain angkutan ke kecamatan. "Pakai punya saya aja. Nyewa maksudnya."

Yaudah daripada jalan kaki, mending nyewa aja sekalian. Toh bisa dipake keliling-keliling kalo udah cape jalanin misi, kata Bimo dalam hati.

"Emang lo hapal daerah sini?" tanya Zaki yang dapat tugas buat nyetir.

Sementara yang dibonceng, nggak dengar lantaran lagi hepi karena bisa keluar kandang.

"Mo?" Zaki membentak.

"Naon?"

"EMANG LO HAPAL DAERAH SINI?" ulang Zaki lebih keras.

Bimo menggeleng.

"HAH?"

"APA?"

"YE... HAPAL NGGAK?"

"KAN TADI UDAH GELENG-GELENG."

"YA, MANA GUE LIHAT!"

"Oh, iya ya. Sori.. Sori.."

Zaki memelankan motor. Baru deh bisa ngobrol normal.

"Tadi kata Mang Ojek, tinggal ikutin jalan ini aja. Ntar juga keliatan katanya kalau udah nyampe kecamatan," kata Bimo.

Zaki mengangguk-angguk. Tapi langsung paham yang dimaksud Kang Ojek di pangkalan. Sepanjang jalan hampir nggak ada keramaian, kecuali rumah-rumah yang letaknya jarang-jarang. Hampir sepanjang jalan kebon-kebon yang entah tanaman apa.

Jangankan lihat orang-orang, bahkan sepanjang jalan pun hampir nggak kendaraan yang lewat. Paling satu-dua. Selebihnya, cuma motor mereka doang yang melaju di jalan itu. Udah gitu, mana nggak ada lampu jalan, lagi. Kan bikin bulu kaki, eh, bulu kuduk pada berdiri.

"Kalo sampe mogok atau habis bensin di sini, bahaya nih," Bimo nyeletuk yang nggak-nggak.

"Hussh! Mulut lo nggak bisa dijaga banget, dah," Zaki protes. "Kalo kejadian beneran gimana?"

"Ya... tinggal dorong."

Zaki nyesel udah nganggep manusia kampret satu ini temennya.

Ya, begitulah kira-kira mereka bisa sampai di alun-alun kecamatan yang kalo dibilang rame pun nggak juga sih. Cuma ada sedikit orang yang lalu-lalang di sana. Kecuali para Kang Ojek dan beberapa supir Elf yang lagi ngopi-ngopi.

Nggak lama setelah itu, mereka udah bergabung ke kumpulan para mahasiswa yang KKN di desa sebelah, di depan sebuah minimarket yang nggak jauh dari alun-alun kecamatan. Ada kali 5 orang di sana. 3 cowok dan 2 cewek. Ditambah mereka, total ada 7 orang yang bertugas mencari keberadaan si mahasiswi yang menghilang secara misterius itu.

Setelah briefing sebentar, mereka pun berpencar ke beberapa titik di kecamatan dengan berbekal foto yang didapat dari Facebook si mahasiswi itu.

Pokoknya, gimana pun caranya, sebisa mungkin mereka harus dapat informasi tentang si mahasiswi yang katanya diculik itu.

Akhirnya semuanya pun berpencar.

Sekitar satu jam lebih, Bimo dan Zaki berputar-putar mengelilingi area kecamatan. Mulai dari pangkalan ojek, terminal, warung-warung, sampai akamsi---anak kampung sini---yang lagi nongkrong, semuanya nggak ada satu pun yang tahu soal mahasiswi yang katanya diculik.

Mulai dari jalan besar sampai jalan tikus yang bikin mereka hampir nyasar pun udah dilalui. Masalahnya, bukannya pengin cepat nyerah, mereka juga nggak benar-benar hapal jalanan di sana. Lebih banyak mengandalkan insting sama memori di kepala.

Kalau zaman itu hape mereka udah bisa dipake buat buka Google Maps, sih, mungkin aman-aman aja. Zaman segitu kan mana ada aplikasi begituan. Jadinya, ya, modal nekat aja. Sial-sialnya paling mereka nyasar tuh.

 "Gimana nih, Mo? Kita nyari di mana lagi?" tanya Zaki memastikan.

Bimo berpikir sebentar.

"Semua orang yang kita temuin juga nggak ada yang tahu ada kejadian mahasiswi diculik."

Bimo masih berpikir.

"Kita balik aja apa?"

Otak Bimo tercerahkan. "Aha!" serunya kayak baru aja mendapat pencerahan. "Bener. Kita balik aja."

"Sialan."

Sebelum pulang, mereka melipir dulu ke depan minimarket tempat awal mereka kumpul. Setelah di-cek en ricek, nggak ada orang sama sekali. Yaudah pada akhirnya mereka memutuskan pulang ke pondokan dengan kondisi udah keroncongan.

Mereka melewati jalanan yang sama seperti saat mereka berangkat. Kalau pas berangkat, masih bisa melihat kendaraan lain walaupun Cuma satu-dua tiap beberapa menit. Tapi kali ini, nggak ada sama sekali. Mana mau jam sepuluh, lagi.

Habis maghrib aja jalanan udah senyap, apa lagi makin malam coba. Kalau kata orang, semakin kita takut, semakin panca indra kita sensitif sama semua hal. Nah, itu yang dua manusia itu rasakan. Jaket tebal yang mereka pakai, berasa kayak nggak guna sama sekali. Hawa dinginnya makin nembus kulit, eh, sampe tulang deng.

"Zak, bisa minggir bentar, nggak?" tanya Bimo tiba-tiba.

Zaki berusaha memutar kepala, tapi nggak bisa karena dia juga harus fokus nyetir. Mana lampu motornya remang-remang, lagi. "Ah.. Gila lo, Mo!"

"Serius, Zak. Ini bahaya kalo nggak berhenti."

"Nggak. Nggak ada berhenti-berhentian. Lo nyadar nggak sekeliling kita isinya apa? Hutan-hutan, anjir."

"Ini beneran nggak tahan, sumpah."

"Mau ngapain?"

"Kencing."

"Ah elah! Ada-ada aja lo. Nggak pokoknya."

"Pliss!"

Zaki menghentikan motor dengan terpaksa. Bimo berlari-lari kecil menuju sebuah pohon di pinggir jalan. Tiga menit. Bimo kembali dengan perasaan lega. Mukanya udah semringah lagi.

"Lo nggak takut ditempeleng jin kencing di pohon gitu?" tanya Zaki keheranan, bisa-bisanya kebelet di situasi kayak gini.

"Halah..." Bimo menggeleng sekali. "Cuma kencing doang masa ditempeleng? Yang harusnya ditempeleng itu.. tuh yang bikin hutan-hutan jadi gundul. Kalo jinnya mau protes, ke orang-orang itu aja."

"Bener-bener lo, ya. Kalo ngomong nggak pake disaring dulu."

"Udah.. ayo jalan."

Zaki menekan starter motor. Nggak mau nyala. Starter lagi. Nggak mau nyala. Ada kali dua menit dia coba menyalakan starter, tapi motor nggak mau nyala.

Kalau starter nggak bisa, coba disela manual. Tapi berkali-kali juga motor nggak mau nyala.

"Ah.. lo sih, Mo, ngomong sembarangan aja," kata Zaki sedikit ngomel.

"Ye.. enak aja," Bimo membela diri. "Yaudah sini coba gue yang nyalain."

Usaha Bimo pun nggak berhasil bikin motor hasil sewa itu menyala kembali. Mereka menyerah. Tapi mau menyerah pun percuma. Mereka harus cari cara supaya bisa pulang ke pondokan. Siapa juga yang mau terjebak di tempat kayak begitu.

"Coba telepon anak-anak," Bimo kasih usul. Dan Zaki pun merogoh saku buat ngambil hape-nya.

Sial. Nggak sinyal. Hape Bimo pun nasibnya sama. Nggak sinyal.

"Dorong, nih?"

"Gass!"

Dengan perasaan campur aduk, mereka mendorong motor itu. Takut aja ketemu macan lewat, misalnya. Atau begal.. atau... ah, mereka sulit ngebayangin ketemu yang bikin lutut mereka lemas.

Sepuluh menit jalan. Mereka mulai mengutuk Toni yang udah nyuruh mereka pergi. Dan sepuluh menit itu belum ada tanda-tanda ada kehidupan. Masih hutan-hutan. Cuma ada suara binatang yang entahlah dari binatang apa. Entah kadal atau cangcorang. Bodo amat.

"Zak.. Zak... berhenti bentar," kata Bimo tiba-tiba. "Pegel nih."

"Jangan, Mo. Gue nggak mau lama-lama di sini. Ayo..." Zaki nggak setuju.

"Serius, nih. Betis gue udah bengkak ini."

Akhirnya, Zaki setuju. Betisnya dia juga udah kenceng banget. Mana jalannya naik turun, lagi. Sialan. Sialan.

Motor diparkir. Mereka geleporan di jalan. Mata mereka terus mengawasi sekitar. Tahu-tahu ada yang loncat tiba-tiba.

"Kunaon, Kang?"

"WAAAAH!!!" suara itu bikin mereka spontan melompat dan refleks lari tunggang-langgang. Meninggalkan motor yang diparkir dengan kunci yang masih terpasang.

Mirip kayak lomba lari 100 meter, baik Bimo maupun Zaki terbirit-birit saling mendahului. Walaupun mereka katanya nggak pernah menang lomba lari waktu SMP, tapi kalau situasinya begini, mereka mendadak cosplay jadi Usain Bolt, eh jadi The Flash, deng. Shuuuuuuuuu!

"Zak.. Zak.. Zak!" Bimo memanggil Zaki dengan napas setengah-setengah. "Berhenti dulu. Berhenti dulu."

Zaki pun nggak kalah ngos-ngosannya. "Oke.. Oke.."

"Tadi... tuh.. suara... apa...?" tanya Bimo.

"Nggak...tahu..."

Mereka bersama-sama geleporan lagi di jalan sambil mengatur napas. Bukan Cuma napasnya yang habis, kepala mereka juga jadi berkunang-kunang. Ya, kalian bisa ngebayangin sendirilah kalo ada di situasi kayak mereka.

Lagi enak-enak duduk sambil geleporan, tiba-tiba muncul suara itu lagi. "Kunaon, Kang?"

"Wahh!!"

Zaki hampir aja pingsan di tempat, untung aja Bimo masih bisa nahan badannya. Akhirnya mereka Cuma bisa meringkuk, berharap suara itu Cuma halusinasi mereka aja.

"Kang.. Kang... Istighfar.. Istighfar..." kata seseorang sambil menepuk lengan keduanya. "Ai si Akang teh kunaon?"

Mendengar perkataan yang mirip manusia, bukan setan, mereka berdua membuka mata pelan-pelan. Ternyata benar manusia. Seorang bapak-bapak.

"Tadi saya lihat Akang berdua dorong-dorong motor, terus duduk di jalan, saya niat pengin nolong, eh si Akang malah lari," kata si Bapak itu.

Sementara Bimo dan Zaki masih coba mengatur napas. Kalo ada tabung oksigen, kayaknya udah langsung mereka serbu. Tapi, karena situasinya nggak semenyeramkan yang dikira, mereka pun penasaran kenapa tiba-tiba si Bapak ini bisa muncul tanpa mereka sadari. Tapi, pas lihat motor si Bapak ini yang nggak ada lampu, akhirnya mereka bisa mengerti.

"Anu.. Pak, motor kita mogok," kata Bimo masih dengan tersengal-sengal. "Bapak tiba-tiba muncul. Kirain teh setan. Yaudah kita lari."

"Aih si Akang.. aya aya wae. Yaudah atuh, ayo ke tempat motornya Akang. Nanti saya step sampe rumah."

Berakhirlah sudah situasi horror yang sebenarnya nggak horror juga. Cuma salah paham aja. Tapi, mungkin bakal terus mereka ingat sampe KKN beres. Atau mungkin sampe lulus.

..

Keesokan harinya, Bimo dan Zaki bangun agak siang. Mereka masih tepar habis olahraga malam semalam.

Mereka juga habis dicengin satu pondokan ketika menceritakan kejadian horror tapi konyol yang menimpa mereka semalam. Makanya, ketika ada kesempatan buat tidur sampai puas, nggak akan mereka sia-siakan. Toh si Toni yang udah mereka umpat setengah mati juga udah kasih izin buat mereka istirahat lebih lama.

Tapi walaupun begitu, perkara istirahat tinggal rencana. Toh kegaduhan yang saban hari terjadi di pondok bikin mereka nggak benar-benar bisa tidur nyenyak.

Jam sepuluh lewat, Zaki mulai bangun. Melipir ke kamar mandi. Ngambil air minum. Dan merapat ke sumber kegaduhan di teras pondokan.

Walaupun mata masih sepet, tapi dia langsung kepo sama hal yang diributkan anak-anak.

"Lagi pada ngapain, sih?" tanya Zaki penasaran sambil meregangkan badan.

"Nih baca..." Anton mengambil hape milik Toni, menyerahkannya ke Zaki.

Mata Zaki yang sebelumnya masih sepet, mendadak terbuka lebar-lebar. Seketika, dia masuk ke kamar. Berteriak membangunkan Bimo yang masih ngorok.

Nggak lama kemudian. Terdengar teriakan mereka berdua.

"TAAEEEK!!!"

Bagi mereka, ini hal konyol yang pernah mereka lakukan. Nah, mau tahu apa yang tertulis di hape-nya Toni sampe-sampe bikin Bimo dan Zaki teriak-teriak? Nih...

Toni, kami minta maaf. Khususnya ke temen lo yg udah bantuin cari anggota kami yg katanya diculik. Ternyata kabar penculikan itu gak bener. Ternyata dia Cuma ngarang2 cerita karena kesel sama anggota KKN desa kami yg gak mau ngejemput dia di terminal. Akhirnya si anak ini bikin cerita seolah2 diculik, padahal sih mampir ke rumah sodaranya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kkn Selengkapnya
Lihat Kkn Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun