Sebagaimana disampaikan Rasulullah Saw dalam sebuah haditsnya, bahwa ada dua jaminan kebahagiaan yang diberikan Allah bagi orang yang berpuasa ramaadhan.
"Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya." (muttafaq 'alaihi).
 Dalam kondisi senang itulah sebetulnya kualitas ibadah puasa kita diuji. Setidaknya ada dua kerentanan yang bisa menciderai puasa kita. Pertama, situasi batin yang gembira menjelang puasa. Kalua seharian kita telah belajar menahan keinginan dari makan, minum, dan berhubungan suami istri, juga mengedalikan dari nafsu yang bisa menyusutkan nilai ibadah kita, maka menjelang saatnya berbuka sebetulnya nafsu kita sebenar-benarnya diuji dari keinginan dan angan-angan merayakan kegembiraan berbuka.
Dari ritual berbuka sekaligus berkaca pada hadits Nabi di atas, semestinya kebahagiaan saat berbuka itu teramat sederhana. Karena sesederhana apapun menu iftharnya, semisal segelas teh dan tiga biji kurma atau satu potong kue, itu sudah sangat membahagiakan. Tetapi dalam situasi peralihan tersebut, seringkali kita gagal mengontrol keinginan, sehingga membeli menu takjil pun seringkali tak terkendali, persis seperti lirik lagu Doraemon: Aku ingin begini/ Aku ingin begitu/ Ingin ini itu banyak sekali. Inilah situasi euphoria, lebay, dan berpotensi uncontroll.
Kedua, setelah kita mampu menertibkan keinginan dan ternyata bisa berbahagia dengan yang sederhana, maka harapannya ada lompatan (quantum) kesadaran dari fokus ke --menjadi melampaui - diri sendiri. Aktualisasinya adalah dengan peduli dan berbagi. Mari penuhi apa yang menjadi kebutuhan kita saat berbuka, sesuatu yang kita senangi ataupun mahal tak masalah, asal jangan berlebihan. Sebab kelebihan itu mungkin sudah saatnya kita bagikan ke saudara, tetangga yang mungkin malah kekurangan.
Saat kita membagi kelebihan itu, apakah kekayaan kita menjadi berkurang? Saat kita berbagi kebahagiaan apakah serta merta menyusutkan kuantitas dan kualitas kebahagiaan kita? Jawabannya adalah tidak sama sekali. Orang bijak mengatakan, puncak kebahagiaan seorang manusia bukanlah saat ia berhasil memenuhi semua keinginannya, melainkan justru saat dia membahagiakan orang lain. Kebahagiaan orang yang kita bahagiakan justru akan menambah kualitas bahagia kita. Itulah energi kebahagiaan.
"Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga." (HR. Tirmidzi). Â []