PASAR dan mall mulai ramai sejak beberapa hari terakhir ini. Pertanda lebaran segera tiba. Bahkan, situasi pandemi Covid-19 pun tak jadi penghalang, pusat-pusat perbelanjaan di setiap kota tetap ramai diserbu pengunjung. Mereka berdesak-desakan seolah tak ada ancaman wabah. Mereka berburu baju dan perlengkapan lebaran, seperti sama sekali tak menunjukkan adanya kesulitan ekonomi akibat pandemi.
Ya, itulah tradisi berlebaran di Indonesia. Sebisa mungkin semuanya serba baru; pakaian, makanan dan jajanan melimpah, rumah direnovasi atau minimal dicat agar ada kesan baru. Mungkin saja, dulu tradisi itu punya sandaran teologis, bahwa idul fitri adalah suasana baru yang suci selepas sebulan berjuang dalam ibadah puasa Ramadan. Harapan atas jiwa yang kembali suci itu lantas diekspresikan dalam perkakas sandang, pangan, dan papan yang serba baru.
Atau, bisa juga pemahamannya berangkat dari sunah Nabi, bahwa hari raya adalah suasana gembira. Bahkan, orang-orang miskin dan yatim piatu harus dipastikan bahagia. Sampai di sini, tidak ada yang keliru bukan? Bahwa dalam riuh rendah berhari raya sesungguhnya ada ekspresi soal suasana fitri, dus kegembiraan merayakannya.
Sekarang tinggal kita takar masing-masing, kegembiraan dan kebahagiaan yang seperti apa, serta suci yang seperti apa? Dua pertanyaan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari rangkai ritual utamanya, yakni ibadah puasa satu bulan.
Kesucian seperti apa yang diharapkan terbangun melalui ibadah puasa? Pertanyaan ini sama pentingnya dengan pertanyaan yang lebih mendasar; untuk apa berpuasa, apa pentingnya berpuasa sehingga harus diwajibkan selama satu bulan. Bahkan, ibadah puasa nyatanya juga dikenal dalam semua agama dan kepercayaan.
Kembali Suci
Konon, terjemahan bebas frasa idul fitri tidak lain adalah kembali makan. Bahwa setelah sebulan berpuasa, maka pada 1 Syawal adalah momentum kembali diperbolehkannya makan. Bahkan diharamkan berpuasa. Namun demikian, secara makna idul fitri dikaitkan dengan kembali sucinya jiwa manusia setelah satu bulan berjuang mengendalikan nafsunya.
Pengertian yang demikian tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan tabiat manusia yang tamak, rakus, tak pernah puas dengan apa yang diperolehnya. Hal ini berpijak pada drama 'terusirnya' Adam dan istri dari surga. Meski telah diberikan karunia hunian, segala makanan, minuman, dan buah-buahan terbaik, mungkin miliaran jumlahnya, keduanya tetap tak mampu menahan diri dari satu-satunya larangan Allah SWT, yakni mendekati sebuah pohon. Agh, itu kan karena bisikan iblis? Ya benar, tapi juga menunjukkan bahwa manusia pada dirinya memiliki tabiat tamak tak ketulungan.
Kita bahkan sering tidak habis pikir. Seorang politisi yang kita tahu mungkin aset kekayaannya miliaran rupiah dan lebih dari cukup untuk menghidupi keluarga, tiba-tiba dicokok KPK karena tertangkap tangan menerima gratifikasi yang nilainya ratusan juta. Apa namanya kalau bukan tamak? Keinginan memiliki itu bak meminum air laut, menambah dahaga. Tak ada habisnya. Itulah nafs, personal desire manusia.
Rasulullah Saw bahkan melukiskan kecenderungan manusia yang tamak itu dengan sangat 'sarkas', bahwa seandainya manusia diberi satu lembah berisi emas, niscara dia akan meminta lembah kedua, ketiga, dan seterusnya. Yang bisa menghentikan (ketamakan) itu adalah tanah (mati).