SAYA lahir dari keluarga dan lingkungan dengan kultur yang NU ndeles (baca: tulen). Tetapi sejak kecil, pemikiran Muhammadiyah juga sedikit banyak berseliweran di kepalaku.Â
Yang menarik, kedua tradisi ormas Islam terbesar di Indonesia ini tersosialisasikan sama-sama dari orang-orang yang kuhormati, pun masih satu keluarga. Semenjak balita, peran orang tuaku untuk mendidik memang lebih banyak diisi oleh paman, adik dari ibuku.Â
Maklum, orang tuaku tidak hanya berpendidikan rendah, -bapak dan ibu bahkan buta huruf-, lebih dari itu juga tidak cukup bekal untuk memberikan pendidikan agama untuk anak-anaknya. Maka secara informal, mereka menyerahkan peran itu kepada paman.
Pamanku sendiri, meski hanya mampu menamatkan kelas 2 SD, tetapi memiliki semangat belajar yang tinggi, pikirannya pun cenderung terbuka. Dia juga jebolan beberapa pesantren di Jawa Timur, meski secara tawadhu selalu menganggap gagal mondok.Â
Tapi, apapun itu, sikap dan perilakunya adalah typcally nahdliyin yang rajin ngaji dan sangat takdzim pada para kiai dan habaib.
Sementara mbahku, adik dari nenek, adalah warga Muhammadiyah. Kalau aku dan paman tinggal serumah di kampung, Mbah Surip tinggal dekat kota dan subkultur yang ala masyarakat urban.Â
Dia well educated dan tradisi literasinya cukup baik untuk zamannya. Dia rutin mengunjungi rumah kami, sepekan bisa dua sampai tiga kali, atau kalau sibuk cukup sekali sepekan. Tapi kebiasaannya selalu sama, dia menyempatkan membaca buku atau koran di ruang tamu. Kebiasaan ini sangat asing di kampung kami yang masyarakatnya berpendidikan rendah.
Sebagai entitas satu keluarga, hubungan Paman dan Mbah tentu saja baik dan rukun, selayaknya keluarga yang lain. Tetapi diam-diam, baik Paman maupun Mbah sebetulnya sama-sama saling mempengaruhi, perang pengaruh bahkan.Â
Paman sering bercerita tentang ke-NU-an, tak jarang dibumbui dengan menyebut kelemahan cara beragama warga Muhammadiyah. Sebaliknya, Mbah Surip pun sering menyampaikan pandangan-pandangan ke-Muhammadiyahan-nya sambil digarami kritik ke amaliyah warga NU dan lainnya.
Jangan bayangkan usiaku telah dewasa, sehingga dengan mudah mencerna pergulatan NU dan Muhammadiyah di internal keluarga. Perang narasi paman yang NU dan mbah yang Muhammadiyah ini berlangsung sejak aku kecil sampai usia kelas lima SD.Â