IBU guru memberi pertanyaan bebas untuk siswanya di kelas belajar. Sebutlah pertanyaannya relatif sulit untuk siswa rata-rata. Aku yang merasa tahu tahu betul jawabannya, memilih tak unjuk jari karena malu. Satu, dua, tiga siswa ditunjuk Ibu Guru untuk menjawab, tetapi sema jawaban salah. Lantas pada jawaban siswa keempat atau kelima, salah satunya benar.
Aku masih tak memiliki keberanian bicara ketika salah satu siswa memberikan jawaban yang sama dengan apa yang ada di kepalaku. Â Sang guru pun memberikan pujian untuk satu-satunya siswa yang menjawab dengan benar. Jam pelajaran berakhir, tetapi tidak dengan situasi batinku dan mungkin satu temanku yang memberi jawaban benar.
Sejak SD, SMP, dan terutama SMA, momen seperti itu sering aku lalui. Melewatkan kesempatan untuk menyampaikan jawaban ketika guru memberikan pertanyaan terbuka, meski aku tahu jawabannya. Terhadap kesempatan-kesempatan yang aku lewatkan sia-sia itu, sedih hati ini mengenangnya. Kalau persoalan ini diulas ahli psikologi, mungkin pembahasannya tak jauh-jauh dari gejala inferiority complex, atau sederhananya, kemiskinan kepercayaan diri.
Tetapi bagi aku yang mengalami atau mungkin siapapun yang memiliki pengalaman yang sama, mengingat kejadian-kejadian itu sungguh amat menyesakkan dada. Aku bahkan nyaris menghafal detail peristiwa-peristiwa itu, sampai kini sekalipun. Atau kalau pikiran apologetik menyergapku, maka yang terbayang adalah seandainya kesempatan itu tak kusia-siakan. Andai saja ada kesempatan kedua, begitu kira-kira kesimpulannya.
Tapi apa boleh buat, toh nasi telah terlanjur menjadi bubur. Tak satupun manusia yang sebenar-benarnya bisa merubah masa lalunya. Yang ada hanyalah memperbaiki masa depannya.
Baca juga: Andai Saja Ada Kesempatan Kedua
Sudahlah! Sebetulnya aku tak bermaksud benar-benar ingin menuliskan hal tersebut di atas. Ini hanya wujud pencarian pelampiasan saja atas kesempatan memenuhi tantangan kompasiana yang hilang di hari ke-32 kemarin. Ada sedikit perasaan menyesal dus kecewa, apalagi karena sebetulnya bisa. Terlebih, sejak pagi, aku merasa banyak ide yang bisa kutuliskan untuk menunaikan ritual harian di kompasiana.
Tetapi ya itu, mungkin justru karena aku mempersulit diri atau tak sadar menjauh dari rule of game : #DibikinSimpel & #AntiRibet. Dengan kata lain, aku yang meribetkan diri, sehingga gagal menuliskan apa yang ada di pikiran. Jujur, aku memang melewatkan seluruh mystery topic yang diberikan Kompasiana selama even Samber THR, tetapi aku tak terlalu kecewa karena memang merasa kesulitan membuat tulisan tentang tema teknis semacam itu. Tetapi tidak dengan yang ini.
Pun, ketika akhirnya melewatkan menulis di #thr2019hari32 itu, bukan tanpa alasan. Sejak pagi, aku menghabiskan waktu untuk bersilaturahim, baik ke saudara atau teman dekat di kampung halaman., sampai petang tiba. Â "Agh, nulisnya nanti saja, agak malaman," begitu pikirku. Tetapi selepas maghrib, si kecil yang mungkin kelelahan meminta kompensasi, jalan-jalan. Selepasnya, kami masih mengunjungi satu tujuan silaturahim dan baru sampai kembali ke rumah sekitar pukul 22.00 WIB.