Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Mendidik Amarah, Belajarlah dari Ritual Berbuka

26 Mei 2019   21:22 Diperbarui: 26 Mei 2019   21:44 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MEREDAKAN amarah, menghindari seteru, adalah bagian dari laku puasa yang dituntunkan agama. Secara substansi, komitmen tersebut pada hakikatnya berpangkal pada inti dari ibadah puasa itu sendiri, yakni mendidik nafsu dan keinginan manusia agar tak liar.

Secara khusus, Allah menegaskan larangan menuruti amarah dan perseteruan dalam sebuah hadits Qudsi.

"Semua amal perbuatan anak Adam untuk dirinya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku-lah yang akan membalasnya.'Puasa adalah perisai. Apabila seseorang di antara kamu berpuasa, janganlah berkata kotor/keji (cabul) dan berteriak-teriak. Apabila ada orang yang mencaci makinya atau mengajak bertengkar, katakanlah, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa.' Demi Allh yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih harum di sisi Allh daripada aroma minyak kesturi. Bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan, yaitu kegembiraan ketika berbuka puasa dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabb-nya" (HR Mutafaqun Alaih)

Lantas, dari mana orang yang berpuasa belajar mendidik nafsunya? Ternyata bukan saat berlapar-lapar dan menahan dahaga di pagi sampai sore hari. Justru piranti itu bisa dihayati dari ritual berbuka puasa. Kembali pada makna hadits qudsi di atas, ritual berbuka adalah satu di antara dua kebahagiaan yang pasti dan tanpa keraguan sedikitpun dialami oleh mereka yang berpuasa. Adakah orang berpuasa yang tidak berbahagia saat berbuka? Sepertinya tak ada.

Namun, situasi ifthar adalah situasi peralihan, dari seharian lapar dan haus menuju pemenuhan kebutuhan atas kalori, proses trans dari dilarang makan dan minum menjadi dihalalkan kembali. Situasi ini selalu rentan bagi terjadinya perilaku yang berlebihan, situasi euphoria. Kalau tak dikelola dengan baik, maka ritual berbuka akan menjelma menjadi peristiwa pesta pora yang justru kontraproduktif dengan laku puasa itu sendiri.

Selama sehari, sejak fajar sampai maghrib, itu ujian ringan, apalagi jika hanya menahan lapar dan dahaga. Tetapi ujian sesungguhnya justru saat berbuka, ketika semua yang sebelumnya dilarang kembali diperbolehkan. Maka seperti tulisan yang sudah disinggung sebelumnya, tanda lulusnya orang berpuasa mendidik nafsu di hari itu terindikasi saat berbuka, apakah terjebak euphoria atau tidak.

Sebagaimana dicontohkan Baginda Nabi Saw, bukankah tiga biji kurma dan segelas air putih sudah cukup membahagiakan orang yang berbuka puasa. Itulah kebutuhan kita yang riil, semisal segelas teh manis dan sepotong gorengan. Tetapi ketidakmampuan mengontrol hasrat membuat kita seolah ingin memenuhi meja makan dengan aneka menu takjil yang bahkan belum tentu termakan semuanya.

Saat ngabuburit di sore hari, berburu takjil ke sana kemari, atau bahkan saat siang hari, semua imajinasi yang berhubungan dengan makanan dan minuman menjadi terangan-angan dengan manisnya, semua seolah nikmat seandainya jadi menu berbuka. Tetapi nafsu itu akan berangsur lenyap saat segelas the manis dan tiga biji kurma atau roti telah memenuhi perut kita. Inilah momentum pendidikan mental, how to control personal desire kita.

Amarah, perseteruan, itu letaknya sama dengan keinginan dan angan-angan, ada di bangunan nafsu yang melekat dalam fitrah penciptaan manusia. Maka agama menuntunkan, nafsu bukan untuk dibunuh, karena ia alamiah, tetapi dikendalikan agar tak liar. Ada saatnya, as human being, kita marah, sama halnya memenuhi keinginan dan angan-angan, tetapi semua mensyaratkan konteks, tidak serta merta semua-muanya dituruti.

Maka puasa mendidik kita untuk menjadi raja di atas lalu lalang amarah dan keinginan, baying-bayang nafsu. Oleh ritual berbuka puasa, kita belajar menjadi pengendali, bukan malah dikendalikan. Dalam perspektif manajemen, kita juga menjadi belajar tentang skala prioritas, kapan amarah dan keinginan harus dituruti dan kapan harus ditahan. Kalau kita masih kesulitan mengendalikan hasrat saat berbuka, maka besar kemungkinan jika kita juga akan kepayahan mengelola amarah. Mari belajar dari ritual berbuka puasa. []

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun