SORE Ramadhan, 26 silam. Emak telah menyelesaikan urusan dapurnya ketika memanggil namaku dengan suara lantang khasnya. Aku yang tengah asyik bermain dengan dengan teman, pun bergegas mendekat.
"Ini antarkan ke Mbah Djenab, cepetan !," perintahnya.
Sepiring nasib dan sepiring lauk pun kubawa ke nama yang dituju. Itulah ritual harian di Bulan Ramadhan yang dipelihara Emak sampai saat ini. Tidak hanya makanan, kadang ditambah jajanan takjil, kalau ada. Tradisi berbagi, kirim-kiriman makanan itu berlangsung selama satu bulan penuh. Di sore terakhir puasa, jelang lebaran, menu kiriman biasanya lebih komplit, karena ditambah gula teh dan lainnya. Makanannya pun biasanya ketupat dan opor ayam.
Pun bukan hanya Emak yang kulihat meakukan kebiasaan itu. Sebagian tetanggaku melakukan hal yang sama. Padahal, bicara kecukupan ekonomi, pemberi dan yang diberi bisa jadi sama-sama tak masuk kategori berkecukupan. Tak jarang, rumah yang kuantari makanan lebih kaya dari Emak. Tetapi Emak tak pernah urus, pun yang diberi tetap sumringah.
Pernah suatu waktu kuprotes kebiasaaan Emak mengirimi makanan. "Mak, kenapa mesti kasih makanan ke mereka. Kan keluarga mereka lebih kaya dari kita,"
Tapi alih-alih diterima, aku malah disemprot Emak. Dia sampai memarahiku lama. "Kalau mau kasih orang itu jangan dihitung pakai otak, nanti kamu pusing sendiri. Mau member ya beri saja, jangan banyak pertimbangan, nanti malah ga ikhlas, Lek. Toh ini Bulan Ramadhan, Allah mboten sare, Lek," begitu timpal Emak serius.
Kini, aku tinggal tak lagi serumah dengan Emak. Tetapi yang kutahu, Emak masih menjaga tradisi berbaginya. Bahkan meski semakin sedikit orang yang melanggengkan tradisi itu di Bulan Ramadhan. Sudah beberapa tahun, orang-orang yang lebih mampu di kampong kami lebih memilih mengumpulkan uang untuk zakat, yang akan dibagi satu dua hari menjelang hari raya.
Mungkin karena sudah member uang, kebiasaan berkirim makanan dianggap merepotkan. Ya, seperti orang modern yang ingin praktis, kini orang kenduri, selamatan, walimahan, tak sedikit mengganti besek berisi masakan matang dengan roti.
Padahal dulu, di tengah kondisi ekonomi yang pas-pasan, setiap almarhum Bapak pergi selamatan, maka aku dan adiku akan menunggu di depan pintu. Begitu Bapak pulang, kami langsung merebut beseknya. Lantas menu khas masakan itupun kami makan bersama dengan bahagianya. Satu biji telor rebus dipotong jadi empat atau lima, agar semua merasakan menunya.
Agh, sudahlah. Zaman mungkin sudah berubah. Meski aku tetap rindu diperintah Emak: Antarkan makanan ini, Nak !***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H