EKSISTENSI guru honorer di Indonesia mungkin ibarat buah simalakama. Secara de facto, peran mereka teramat vital bagi keberlangsungan pendidikan di banyak sekolah negeri, terutama jenjang SD. Tetapi de jure, status dan kesejahteraan mereka tak sebenar-benarnya diperhatikan.
Padahal, di banyak SD Negeri, keberadaan guru honorer bahkan menjadi tulang punggung bagi sekolah. Bukan hanya energi dan pikirannya yang lebih muda, tetapi juga jumlahnya yang berimbang dengan guru PNS di sekolah tersebut.Â
Di Kabupaten Batang misalnya, banyak SD Negeri yang rasio guru PNS dan honorernya berimbang. Kalau satu sekolah memiliki 6 guru plus guru Agama, - itupun kepala sekolah ikut mengajar -, maka yang 3 adalah guru honorer. Bahkan ada satu sekolah di mana guru PNS tersisa 2 orang dan 4 lainnya diperankan guru honorer.
Kenapa bisa demikian, tidak lain dan tidak bukan karena keberadaan guru PNS yang diangkat melalui Instruksi Presiden (Inpres) pada dekade 70 dan 80 an awal sudah kian menua. Gelombang pension missal telah, tengah dan masih akan berlangsung. Di sisi lain, Kemenpan dan RB terkesan tanggung melakukan rekruitmen CPNS untuk formasi guru SD dalam jumlah yang dibutuhkan. Â Bahkan moratorium CPNS bagi daerah juga sempat dilakukan.
Jumlah honorer lambat laun semakin meningkat. Bukan sekolah asal mengangkat, tetapi karena kebutuhan atas proses pembelajaran yang memang mendesak. Jangan hanya membayangkan tenaga honorer kategori (THK) 2 yang secara perlahan mulai dientaskan lewat CPNS maupun belakangan mekanisme Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Banyak juga tenaga honorer nonkategori, karena nama mereka baru masuk database setelah 31 Desember 2005 (Silahkan cermati PP 56 Tahun 2012).
Sebagai dampaknya, sebagian besar tenaga honorer tak memiliki kejelasan status. Ketika status tak 'diakui', maka pemerintah pusat dan daerah sama-sama tidak berani mengucurkan anggaran untuk mereka. Ini yang terjadi di banyak daerah. Tidak sedikit dari mereka yang hanya menerima tunjangan Rp 200 ribu perbulan, itupun dicarikan rapelan pertriwulan atau bahkan setahun sekali.
Beruntung, di Kabupaten Batang, pemerintah daerah berani mengambil kebijakan penggunaan APBD untuk tunjangan operasional para honorer. Besarannya bervarisasi sesuai masa pengabdian plus paralelnya pendidikan. Sebagian menerima tunjangan yang besarannya mendekati UMK. Kebijakan ini cukup menjadi penghibur dapur para honorer.
Namun, tetap saja perlu kebijakan yang lebih serius dan terarah menanggulangi nasib para tenaga pendidik non-PNS ini. Sebab beban kerja mereka sama dengan guru PNS yang sudah bersetifikat profesi sekalipun. Bahkan, sekali lagi, karena sebagian guru PNS angkatan Inpres mendekati pension, maka banyak tugas-tugas sekolah yang mengandalkan tenaga dan pikiran para honorer. Terlebih pengelolaan sekolah saat ini mulai bergeser ke penggunaan teknologi informasi, para guru PNS sepuh tentu kesulitan mengoperasikan system computer dan lainnya.
Dengan peran para honorer yang sedemikian vital bagi keberlangsungan pendidikan di negeri ini, mungkin ada baiknya pemerintah mulai serius memikirkan status dan kesejahteraan mereka. Sebab, sepekan saja mereka boikot atau mogok mengajar, kolapslah proses pembelajaran di banyak Sekolah Dasar. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H