Mohon tunggu...
Akhmad Saefudin
Akhmad Saefudin Mohon Tunggu... Editor - An Amateur Writer

Penikmat tulisan bagus yang masih saja malas belajar menulis bagus......

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bergeraklah, Agar Hidupmu Lebih Hidup

9 April 2019   15:35 Diperbarui: 7 Agustus 2019   21:44 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KALAU Anda, saya dan kita sering dibuat tak nyaman dengan aktivitas menunggu, it's normal. Ya, menunggu adalah pekerjaan paling membosankan, kata orang. Tetapi kenapa kita cenderung tak nyaman saat dalam posisi menunggu?

Di episode lain, kita memilih menerabas bahu jalan hanya karena tak mau terjebak dalam kemacetan. Meski kita tak pernah tahu, apakah menggunakan jalan pintas itu akan mempercepat langkah ke tempat tujuan, atau justru memperparah keadaan. Yang jelas, kita tak nyaman untuk stuck dalam kemacetan.

Jangan-jangan, itulah sejatinya hidup: bergerak. karena gerak adalah penanda hidup, dan mati ditandai oleh diam dan henti. Bukan hidup kalau manusia tak bergerak. Seperti menaiki sepeda, kita tak boleh berhenti mengayuh pedal. Kita harus gerak agar jalan.  Jangan berhenti, karena berhenti adalah jatuh.

Lihatlah semesta, semua bergerak pada garis edarnya. Sembilan planet di Galaksi Bimasakti, masing-masing bergerak, bahkan dengan dua gerakan: bergerak pada dirinya (poros) sekaligus gerak mengelilingi matahari sebagai pusat tata surya. Bayangkan jika satu planet saja memilih berhenti bergerak, pastilah keseimbangan galaksi akan terganggu.

Mari mengenang kepiluan Hajar yang bersama balita Ismail ditinggalkan ditinggalkan Ibrahim di Mekah masa lampau, sebuah hamparan padang pasir nan gersang. Tak ada kehidupan manusia. Apa yang terjadi saat Ismail menangis, sementara persediaan air minum habis? Hajar tak berdiam diri. Meski dia tak mengenali lingkungan barunya, tak menjumpai tanaman dan pemukiman, tapi dia terus bergerak mencari air. Ia berlarian di antara dua bukit yang jaraknya kurang lebih 450 meter, shafa dan marwah. Tujuh kali dia berlarian di antara dua bukit itu, setara dengan 3,150 kilometer. Tetapi air yang dicarinya tak kunjung ketemu. Tetapi dia telah bergerak maksimal, sehingga Allah menurunkan karunianya, mendadak sebuah mata air memancar dari kaki Ismail, yang posisinya justru di luar garis edar Hajar saat bolak balik shofa dan marwah.

Tuhan seolah ingin berpesan kepada Hajar, kepada manusia; "Berikhtiarlah, bergeraklah untuk mendapatkan hidup dan kehidupan". Bukankah air adalah perlambang sumber kehidupan? Pesan itu masih hidup sampai kini, karena drama menyentuh Hajar dan Ismail itu diabadikan menjadi bagian dari rukun Ibadah Haji, yakni sa'I, berlari-lari kecil di antara shofa dan marwah.

Dalam haji pula kita mengenal thawaf, gerak mengelilingi ka'bah dengan melawan arah jarum jam.  Bahwa dalam gerak kita, semestinya ada sentrum yang kita tuju, yakni Dia yang abadi. Gerak kita adalah semisal bumi yang mengelilingi matahari sebagai sentrum tata surya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun