INDONESIAÂ adalah bangsa besar yang tak pernah kekurangan orang pintar. Tetapi konon, sedikit di antaranya yang benar. Korupsi yang menjamur adalah bukti shahih semakin susutnya orang jujur. Padahal, saat mereka asyik menikmati korupsi, bisa jadi sekian juta rakyatnya tengah berjuang keras untuk sekadar bisa makan. Miris, bukan?
Padahal, yang dikorupsi itu uang negara, uang rakyat, uang kita, ya kita semua warga Indonesia. Nilainya bukan lagi jutaan, tetapi miliaran dan bahkan triliunan.
Sebut saja kasus e-KTP yang telah merugikan uang negara sebesar Rp 2 triliun. Bayangkan jika uang sebesar itu dimanfaatkan untuk beasiswa saudara-saudara sebangsa kita yang papa, maka paling tidak 20.000 anak miskin bisa menjadi sarjana. Bayangkan Rp 2 triliun itu dibelikan nasi megono, maka lebih dari 5 juta orang bisa kita jamu sarapan pagi.
Kenapa banyak pejabat negara yang korupsi? Ternyata tahu saja tak cukup, pintar saja tak kelar, seorang pejabat publik juga harus benar. Bangsa dan negara ini membutuhkan orang-orang jujur, pejabat-pejabat yang memiliki integritas.
Kejujuran adalah mutiara, terutama di zaman ketika benar dan salah seolah semakin samar. Kejujuran mungkin menjadi barang mahal. Orang-orang yang memilih hidup jujur, justru tak jarang dianggap aneh. "Mbokyo nggak usah jujur-jujur amat, bohong dikit kenapa sih," demikian cibiran yang sering dialamatkan pada orang jujur.
Mereka yang korupsi sejatinya telah menghianati kepercayaan, mengorbankan kejujuran. Padahal, menjadi jujur sangatlah dituntunkan oleh agama. Sebagai rasul, Nabi Muhammad Saw tidak hanya memiliki karakter fathonah, cerdas, tetapi juga shiddiq, benar dan jujur. Bahkan, sejak kecil Rasulullah Saw telah dihormati kaum Quraisy di Mekah karena kejujurannya, sehingga diberi julukan al amin, yang terpercaya.
Kita semua layak belajar dari banyak tokoh pendiri bangsa. Popularitas dan jabatan tak lantas melunturkan kejujuran mereka. Tengoklah Bung Hatta, salah satu proklamator yang dikenal jujur dan hidup bersahaja.Â
Sampai akhir hayatnya, Bung Hatta bahkan tak sempat membeli sepatu yang diidam-idamkannya. Atau H Agus Salim, tokoh pendiri bangsa yang dikenal genius, diplomat ulung yang menguasai 9 bahasa dunia, pernah menjadi Menteri Luar Negeri di awal kemerdekaan, tetapi selalu menempati rumah kontrakan yang sederhana, sampai akhir hayatnya dalam kondisi miskin. Pun dengan M Natsir, seorang perdana menteri dengan jas tambalan, sepeda ontel menjadi kendaraan dinasnya.
Meski tokoh besar dan pernah menduduki jabatan penting, kehidupannya teramat sederhana, bahkan dianggap miskin. Mereka konsisten untuk berteguh pada kejujuran, sehingga kehidupannya tetap diliputi ketenangan. Jasad mereka memang telah terkubur, tetapi keteladan mereka tetap dikenang sepanjang zaman.
Mereka yang teguh dengan kejujuran bisa jadi hidupnya tak berlimpah harta, tetapi Allah akan memberikan ketenangan, sehingga bahagialah jiwanya. Sebaliknya, orang-orang yang hidup dengan kebohongan, orang-orang yang korupsi, hidupnya mungkin senang, tetapi tak pernah tenang, tidak bahagia.
Perilaku jujur tidak hanya baik untuk diri sendiri, tetapi efeknya juga memberi kebaikan bagi lingkungan sekitar, bahkan bangsa dan negara. Tetapi menjadi jujur tidaklah mudah, tidak bisa instan. Kejujuran harus ditanam dan dirawat sejak kecil.