TANPA basa basi, Ibu Guru langsung memberi kami kuis soal, sesaat setelah masuk ruang kelas.
"Yang sudah selesai langsung bawa ke depan!" perintahnya.
***
Jujur, minatku telah lama menyusut terhadap pelajaran yang satu ini: MATEMATIKA. Bukan karena sulit apalagi takut terhadap pelajaran yang sering dianggap momok ini. Alasanku lebih personal, yakni faktor guru.
Sejak awal masuk SMA, guru matematika terlanjur melabeliku bodoh. Daya nalarku dianggap cekak kalau disodori soal matematika. Pernah suatu waktu guruku melempar pertanyaan dan meminta muridnya menjawab. Soal cukup rumit, tapi saat itu aku merasa mampu menjawabnya. Satu persatu sebagian temanku ditanya ketika tak kunjung ada yang unjuk jari. Yang ditunjuk itu tentu saja yang dianggap di atas rata-rata kecerdasannya.
Dia nyaris tak melirikku, meski aku merasa mampu. Sempat sih Pak Guru menyebut namaku, tapi buru-buru meralatnya. "Ya coba Akhmad! Agh, paling kamu nggak paham kan? Yang lain?" kata dia disambut tawa seisi kelas.
Sejak itu, aku mati rasa dengan matematika. Bukan hanya gurunya, tapi juga terhadap pelajarannya. Jadilah aku ilfeel di setiap jam pelajaran matematika tiba.
Padahal, sejak kecil aku telah jatuh cinta pada angka-angka. Saat anak-anak kampung kami yang duduk di bangku kelas 3 sampai 5 SD belajar kelompok di rumah tetangga, aku bahkan sering mengikuti. Begitu ada latihan soal matematika, aku pun langsung melahapnya.
Menginjak bangku SD dan berlanjut SMP, kecintaanku pada matematika kian menjadi-jadi. Saat SMP, sejak kelas awal sampai akhir, guru-guru matematika yang berbeda bahkan sering membanggakanku.
Di bangku kelas 2 SMA ini, guruku memang tidak apriori terhadap setiap siswanya, meski tak menggapku pintar juga. Hanya saja, aku terlanjur malas dengan matematika.
***