Suatu waktu, Umar bin Khatab pernah dicurhati istrinya. Sang istri amirul mukminin itu membayangkan bisa sesekali menyantap makanan yang enak, mengingat menu rutin makanan keluarga khalifah diketahui sangat sederhana selayaknya rakyat biasa. Umar memang bisa memahami keinginan istrinya. Tetapi, alih-alih meminta kenaikan gaji atau tunjangan dari baitul mal (baca: Bendahara Negara), dia justru memerintahkan istrinya untuk menghemat pengeluaran agar ada sisa gaji di akhir bulan.
Singkat cerita, saat uang hasil efisiensi gaji itu telah terkumpul di akhir bulan, sang istri melaporkan kepada Umar. Lagi-lagi istrinya kecele, karena Umar justru memerintahkannya mengembalikan uang penghematan itu ke kas negara. Kata Umar, dengan menghemat pengeluaran ternyata mereka sudah bisa memenuhi hidupnya. Maka sisa lebih itu menurutnya bukan kebutuhan, tetapi keinginan, sehingga harus dikembalikan ke baitul mal.
Itulah Umar bin Khatab, pemimpin yang dikenal gagah berani, tetapi sekaligus sangat adil dan lembut hatinya. Konon, sampai akhir hayatnya, dia hanya memiliki dua jubah, sama dengan Rasulullah. Yang satunya kusam dan penuh tambal sulam untuk keseharian, dan satu lagi untuk menerima tamu negara. Padahal, di bawah kepemimpinannya, wilayah kekuasaan Islam saat itu terbentang di seantero Jazirah Arab, Afrika, dan nyaris memasuki Eropa. Tetapi seperti diketahui pola kehidupan Umar tak berubah, dia tetap dengan kebersahajaannya, hingga banyak pemimpin kerajaan lain yang terheran-heran dibuatnya.
Di penghujung Ramadhan, kisah Umar sepertinya layak untuk dihayati kembali. Sebab, menjelang hari raya Iedul Fitri, kita mendadak kesulitan untuk memilah mana kebutuhan dan mana keinginan. Ditambah bujuk rayu industri, Â kita seolah tak berdaya membedakan kebutuhan dan keinginan. Semua-mua menjadi seperti kebutuhan, nafsu mengkonsumsi justru kian tak terkendali.
Dari pemberitaan, dim omen-momen ini, kita juga tak jarang disuguhkan dengan pelaku pencurian, penjambretan, hingga upaya bunuh diri, yang menurut keterangan pelaku didorong memenuhi kebutuhan berlebaran. Entah ini klise atau bukan, yang jelas keinginan benar-benar menjadi raja untuk alasan berhari raya.
Padahal, hakikat puasa adalah mendidik keinginan. Selama satu bulan, umat Islam dididik untuk mengendalikan keingianannya, bahkan terhadap hal-hal yang diperbolehkan (halal). Kenapa, karena musuh terbesar manusia adalah nafs, personal desire. Belajar dari kisah 'terusir'nya Adam dan Hawa, manusia memiliki potensi tabiat tamak; rakus. Bahkan setelah Allah mempersilahkan Adam untuk menikmati jutaan makanan, minuman, dan buah-buahan yang ada di surge dan hanya melarang terhadap satu hal, mereka tetap tak kuasa menahan keinginannya.
Tabiat ini juga menjadi penjelas, kenapa harta yang melimpah tak memberikan jaminan apapun bagi pejabat negara untuk tidak berperilaku korup. Bahkan meski nilai uang yang dikorupsi terbilang kecil jika dibandingkan aset-aset yang dipunyainya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah Saw pun membahasakan tabiat tamak ini dengan bahasa yang gambling. "Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah......" (HR Bukhari).
Ya, nafsu mengkonsumsi, nafsu memiliki, nafsu menguasai, seringkali unstoppable. Hanya tanah (kematian) yang bisa memenuhi perut manusia. Wallahu a'lam.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H