Meskipun produk khayalan, sastra bukan sesuatu yang jauh dari realitas. “Sastra terlahir dari rahim yang bernama realitas”, itulah yang pernah dikatakan penulis novel Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur, Muhidin M Dahlan, dalam salah satu bedah bukunya. Artinya, apa-apa yang ada dalam karya sastra merupakan bentuk proyeksi penulis atas suatu realitas.
Proyeksi yang berangkat dari realitas sangat bergantung pada bagaimana persepsi. Dan persepsi itu sendiri sangat dipengaruhi oleh pengetaahuan, pengalaman, dan asumsi-asumsi yang dimiliki seorang penulis. Maka dari itu, seperti apa nilai suatu karya sastra tidak mungkin terlepas dari pengetahuan yang ditumpahkan dan kemampuan yang dimiliki penulis.
Hal demikianlah yang menjadikan nilai karya sastra berbeda-beda. Semakin dalam gagasan yang ditumpahkan penulis dalam karyanya, dan semakin tinggi kemahirannya dalam mengemas, semakin berbobot pula karya yang dia ciptakan.
Nilai karya sastra juga sangat menentukan berapa umur karya tersebut. Mudah kita temukan, beberapa karya hanya muncul dalam ruang publik, hadir kepada pembaca, hanya pada beberapa saat saja. Setelah itu, tenggelam. Sehingga ungkapan “Seni yang tidak memiliki nilai akan mati” benar adanya.
Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, yang penuh dengan gizi sejarah dan perspektif penulisnya sebagai negarawan, hingga kini tetap bisa bereksistensi tidak lain karena karya mereka memiliki nilai. Nilai tersebut yang menjadikannya tetap memiliki kualitas dan tidak tersingkirkan oleh karya-karya yang terus bermunculan.
Semangat para pengarang dalam melahirkan banyak karya tentunya harus kita apresiasi. Namun, jika yang dilahirkan banyak dan terus saja berupa bayi-bayi kosong, maka apresiasi kita juga harus berisi kritik yang membangun dan saling menghidupkan. Sehingga tidak sampai membuat kita menjadi semakin maklum pada orang-orang yang mengatakan “Sastra? Tidak realistis!”
Jika pun kenyataannya sudah banyak yang dilahirkan adalah bayi-bayi yang memiiki ruh tapi komentar seperti itu tetap saja meluncur, lebih baik kita juga memakluminya. Sebab, bukan lain dia adalah orang awam yang sedang nyinyir. Dan ironisnya, tidak sedikit dari mereka justru kaum intelektual!
Oleh : Syakirun Ni’am