Sejarah Self-cleaning Surfaces
Teknologi self-cleaning surfaces terinspirasi dari daun teratai yang memiliki permukaan yang tidak mudah basah dan kotor. Fenomena ini pertama kali diamati oleh Wilhelm Barthlott, seorang botanis Jerman, pada tahun 1970-an. Barthlott menemukan bahwa daun teratai memiliki struktur mikro dan nano yang membuatnya tidak mudah basah dan kotor. Air dan kotoran akan menempel pada permukaan daun dan kemudian tergelincir dengan mudah, sehingga daun teratai tetap bersih.
Pada tahun 1990-an, para ilmuwan mulai mengembangkan teknologi self-cleaning surfaces yang terinspirasi dari daun teratai. Teknologi ini menggunakan struktur mikro dan nano untuk membuat permukaan yang tidak mudah basah dan kotor. Teknologi self-cleaning surfaces pertama kali diaplikasikan pada kaca dan panel surya.
Pada tahun 2000-an, teknologi self-cleaning surfaces mulai diaplikasikan pada berbagai macam produk, seperti cat, tekstil, dan peralatan medis. Saat ini, teknologi self-cleaning surfaces terus berkembang dan digunakan pada berbagai macam aplikasi.
Teknologi self-cleaning surfaces bekerja dengan menggunakan struktur mikro dan nano untuk membuat permukaan yang tidak mudah basah dan kotor. Air dan kotoran akan menempel pada permukaan dan kemudian tergelincir dengan mudah, sehingga permukaan self-cleaning surfaces tetap bersih.
Ada dua jenis utama self-cleaning surfaces:
1. Superhydrophobic surfaces:
Permukaan superhydrophobic memiliki struktur mikro dan nano yang membuat air dan kotoran tidak dapat menempel pada permukaan. Air dan kotoran akan membentuk tetesan kecil yang mudah tergelincir dari permukaan.
2. Photocatalytic surfaces:
Permukaan photocatalytic menggunakan sinar matahari untuk memecah kotoran dan membuatnya mudah terurai. Permukaan photocatalytic ideal untuk digunakan di tempat yang terkena sinar matahari langsung.