Bahkan keledai pun tak akan terpelosok di lubang yang sama. Pepatah ini terbit di benak saya menyikapi dampak dari persidangan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahya Purnama, alias Ahok.
Dalam persidangan, Ahok terkesan garang. Tidak tanggung-tanggung, bersama penasihat hukumnya, dia menyerang sesepuh umat Islam Indonesia KH. Ma’ruf Amin. Dalam pemeriksaan yang berlangsung 7 jam itu, Ketua MUI sekaligus Rais Aam NU itu “digebuk” bertubi-tubi; dikuliti tuduhan afiliasi politiknya, dicap sebagai pendusta, sampai disangsikan intergitasnya.
Betapapun diperlakukan bak pesakitan, KH. Ma’ruf Amin tetap bersabar. Ketika hadir dalam peringatan Harlah NU, KH. Ma’ruf Amin sudah kembali menyejukan umat dengan pidatonya. Tak ada dendam. Tetapi tidak dengan umat Islam. Mengetahui ulama mereka diperlakukan tak manusiawi, kemarahan pun mengelegak. Protes terhadap Ahok menderas.
Setelah seharian pongah, mendadak Ahok mengaku salah. Ia membuat rilis dan memosting video permintaan maaf. Tetapi jujur saja, sulit bagi saya berpikir Ahok akan mengakui kesalahannya jika tidak ada protes publik yang masif seperti dua hari terakhir ini.
Ada tiga pandangan saya terkait permintaan maaf Ahok ini. Pertama, KH. Ma’ruf Amin itu memang ulama. Meskipun belum mendengar pernyataan maaf Ahok, ia sudah lebih dulu memaafkannya. Tetapi saya yakin jauh sebelum Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan, Kapolda Metro Jaya Irjen Mochamad Iriawan, sampai Pangdam Jaya Mayjen TNI Tedy Laksmana mendatangi kediamannya, KH. Ma’ruf Amin sudah memaafkan Ahok.
Kendati terkesan janggal mengingat Luhut yang hadir, bukannya Menkopolhukam Wiranto, kita harus menerima sikap KH. Ma’ruf Amin. Ibarat kata, Ahok yang bersalah, Luhut yang gapah-gopoh datang menemui KH. Ma’ruf Amin. Padahal kita sama-sama tahu, masa ada segudang masalah kemaritiman di negeri ini yang butuh gerak cepat dari Luhut.
Hal ini membuktikan bahwa arogansi Ahok telah menghabiskan energi publik secara mubazir. Energi publik yang semestinya bisa disalurkan untuk hal-hal yang produktif tergaduh akibat masalah Ahok. Ini terjadi, untuk yang kesekian kalinya.
Kedua, memaafkan bukan melupakan kesalahan secara hukum. Ahok dan penasihat hukumnya harus menjelaskan perihal barang bukti percakapan antaran SBY dan KH. Ma’ruf Amin. Khususnya perihal waktu 10.15 dan konten isinya. Jangan sampai publik mengira aparat telah bekerjasama dengan Ahok untuk melakukan penyadapan illegal.
Ingat, ini bukan delik aduan. Aparat kepolisian punya tanggungjawab untuk menuntaskan perkara ini. Apakah bukti rekaman itu ada, dan didapatkan dengan cara yang legal? Ataukah, ini tak lebih dari gertak sambal untuk menekan KH. Ma’ruf Amin? Point pertama jelas urusan hukum. Point kedua juga begitu, karena mengada-adakan sesuatu yang tidak ada jelas melecehkan sidang pengadilan.
Ketiga, strategi gebuk-maaf ini persis dengan yang dilakukan Ahok terkait kasus Surat Almaidah ayat 51 di Kepulauan Seribu. Mula-mula Ahok tidak mengaku salah. Bahkan, di beberapa media online Ahok dengan gaya menantang menyebut: untuk apa ia meminta maaf kepada K.H. Ma’ruf Amin. Baru kemudian setelah ada desakan di publik, Ahok kembali meminta maaf
Ini menggambarkan Ahok tak pernah berubah. Dia masih sosok yang sama, yang mengaku bermulut comberan. Ahok hanya tunduk pada protes publik, bukan penyesalan sejati. Dia seperti koboi yang serampangan menembakan pistol. Jika publik melempem, serangan dilanjutkan. Jika muncul protes, permintaan maaf dilancarkan. Lalu senyap, perkara selesai. Dan publik terlupa.