Menyadap adalah kejahatan serius. Lebih serius lagi jika yang disadap adalah Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan ulama besar sekaliber K.H Ma’ruf Amin. Jika kedua sosok besar itu saja dapat terkena penyadapan illegal, apalagi orang kebanyakan seperti kita.
Penyadapan illegal bukan hanya bertentangan dengan UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) dan UU Telekomunikasi. Tetapi juga pelanggaran atas hak azasi manusia yang tercantum dalam konstitusi. Secara eksplisit hak tersebut diatur pasal 28 G (ayat 1) UUD 1945, yang menyebut “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Dengan begitu, konferensi pers SBY tempo hari bukan hanya ekspresi keresahan atas terinjak-injaknya hak privasi mantan orang nomor satu di negeri ini. Hal itu juga harus dilihat sebagai ujian sejauh mana politik negara dalam menegakan konstitusinya.
Patut disayangkan tanggapan dari aparat hukum atas kejadian ini. Polisi dan BIN menegaskan mereka tidak pernah menyadap SBY dan K.H Ma’ruf Amin. Provider telkomsel pun mengaku hal yang sama. Aksi lempar bola ini jelas mengecewakan publik karena sinyalemen penyadapan illegal sejatinya sudah terang benderang.
Ketika penasihat hukum Basuki Tjahya Purnama menekankan informasi perbincangan SBY dan K.H Ma’ruf Amin pada 10.16 WIB, serta dua konten perbincangan tersebut; patut diduga ada penyedapan illegal. Sanggahan bahwa informasi itu didapatkan dari berita liputan6.com mentah mengingat sebelum persidangan tidak tercatat ada berita dengan dua konten tersebut. Tragisnya, ketika publik menggugat informasi yang valid, penasihat hukum Ahok seolah-olah melecehkan persidangan dengan menyebut sumber informasi itu berasal dari Tuhan.
Mekanisme Hukum
Publik butuh penjelasan, bukan aksi lempar tanggungjawab. Penyadapan illegal adalah pelanggaran hukum, jadi penyelesaiannya pun harus melalui mekanisme hukum. Apalagi yang dilanggar adalah peraturan perundang-undangan tertinggi dalam hukum di Indonesia, yakni UUD 1945. Adalah kewajiban aparat hukum harus bergerak cepat mengusut, bukan malah menonton kasus ini bergulir menjadi bola panas di DPR.
Jika polisi tetap diam, ada tiga konsekuensi penilaian publik yang akan digantakan kepada polisi. Pertama, polisi telah melanggar hukum. Pasalnya penyadapan illegal berdasarkan UU ITE bukan merupakan delik aduan. Sehingga ada atau tidak ada laporan polisi harus mengusut. Kedua, polisi mengabaikan hak asasi manusia yang tertera di dalam konstitusi kita. Ketiga, penilaian bahwa polisi selama ini menganakemaskan Ahok akan kian membuncah.
Mekanisme Politik
Perlu dicatat bahwa penyelesaian melalui mekanisme politik bukanlah jawaban atas keresahan publik atas penyadapan illegal. Mekanisme ini mencuat akibat aparat hukum terkesan enggan bertindak. Mengingat bahwa hukum tidak dapat diintervansi oleh pihak manapun, publik yang resah pun mencari alternatif penyelesaian secara politik. Artinya, mekanisme politik bukan solusi utama, melainkan suatu alternatif yang ditujukan agar pemerintah dapat kembali menjunjung tinggi konstitusi.
Terlebih deras dugaan penyadapan illegal ini terkait dengan politik, yaitu merekam informasi terkait strategi dan taktik pemenangan Agus Harimurti Yudhoyono –Sylvia Murni dalam pilkada DKI Jakarta. Kita sama-sama paham, SBY sebagai mahaguru strategi politik tentu menjadi salah satu pihak yang akan dimintai pandangannya terkait sepak-terjang paslon no. 1 ini.