Namanya Wibisono. Dulu aku selalu takut pada anak itu, bertubuh tinggi dan berpostur besar, namun berbeda dengan anak-anak di lingkunganku yang lainnya dia tidak berkawan dengan siapapun. Bahkan kenyataannya dia justru tidak memiliki teman, yang dilakukannya hanya duduk melihat kami dari balik pagar rumahnya yang bercat coklat berlarian ke sana ke mari dan setiap dia terlihat hendak bergabung kami semua selalu lari tunggang langgang. Ketakutan.
Ada yang berbeda dengannya, dengan tubuh dan postur yang dimilikinya dia terlihat lemah dan…entahlah bagaimana menjelaskannya tapi mungkin aku harus menjelaskan bagaimana keadaannya melalui panggilan kasar yang biasa aku dan kawan-kawanku lemparkan kepadanya, Si Oon. Baru beberapa tahun kemudian aku tahu kalau dia seorang anak terbelakang.
Pernah suatu kali di masa remajaku, saat aku merasa sedih, aku berjalan menelusuri jalanan di kampungku selewat sholat maghrib dengan alasan ingin ke warung untuk membeli makanan kecil. Setelah pulang dari warung aku melihat anak itu lagi, dengan tubuh yang besar dan tambun duduk menangis di balik pagar ditingkahi suara ibunya yang membujuknya masuk ke dalam rumah.
“Ayo nak, masuk sudah malam, nanti dimakan macan,” kata ibunya membujuk.
Sungguh cara yang sangat aneh untuk membujuk seorang anak, suara dalam batinku terkikik geli. Namun entah kenapa, berbeda dengan aku yang biasanya hanya akan berlalu sambil memandang wajah memelas Ibunya, aku melangkahkan kaki ke pagar bercat coklat itu sambil menyodorkan coklat batangan yang kubeli untuk alasanku keluar rumah.
“Mau ini?” tanyaku padanya dari balik pagar sambil terkejut pada diriku sendiri.
“Lho mba Retno, tuh ayo Wibi, Wibi dikasih coklat mba Retno tuh,” kata Ibunya berusaha membujuknya lagi
“Kalau Wibi mau masuk nanti aku kasih coklat ini, kan kasian Ibu kalau malam-malam di luar,” Wibi berhenti merengek dan tersenyum.
Wibisono mengangguk dan mengambil coklat dari tanganku melalui sela-sela pagarnya. Aku tersenyum dan bagai sihir semua rasa sedihku hilang begitu saja.
“Sudah malam kenapa Retno masih di luar?” tanya Ibu Wibisono.
“Jajan Budhe, sekalian cari angina,” jawabku sekenanya.