Perempuan semampai itu tertegun menatapku yang kini tengah berdiri di depan pintu rumahnya dengan senyum canggung yang tersungging di wajahku yang kuyu, dan tanpa ragu dia langsung saja menubrukku, memelukku erat, membuat tubuhku doyong ke belakang. Pelukan yang menjadi utang kami, pelukan yang seolah tak akan lagi dia lepaskan.
Langsung saja masih dalam rengkuhan tangannya, kurasakan suaranya bergetar menanyakan kemana saja aku selama ini, bagaimana kabarku. Ahh..inilah rumah yang lama kutinggalkan.
Dengan lembut kulepaskan rengkuhan tangannya di tubuhku, dengan mata yang berkaca-kaca dan bibir yang masih menyunggingkan senyum canggung aku menatap wajahnya. Pilu.
"Setidaknya, izinkan aku masuk dulu Asri", kataku kepada sahabatku itu.
"Ah..bodohnya aku, tentu saja, ayo masuk..anggaplah ini rumahmu sendiri..ah lagi-lagi aku berkata bodoh, ini memang rumahmu, sejak dulu, selalu, maka buatlah dirimu senyaman mungkin", Katanya meracau panjang sambil menarik tanganku ke arah tempat favorit kami, beranda taman belakang.
Masih jelas di ingatanku, seolah itu adalah kejadian kemarin sore, di beranda ini aku bertengkar dengannya, menampik semua kalimatnya. Aku yang dibutakan oleh cintaku pada kekasihnya, dan lalu memilih pergi dari hidupnya, dari rumah ini. Dan saat itulah airmataku berebutan keluar dari mataku, menyesakkan dadaku.
"Kenapa kau menangis, Fia, apakah kau tidak lagi menyukai beranda ini?" tanya Asri membuyarkan lamunanku.
"Ah tidak, tidak, bukan begitu." Kataku sambil mengusir-usir air mataku dan menggeleng", Tentu saja aku menyukainya, selalu", Kataku lagi.
"Kalau begitu, kemarilah, duduklah di sini bersamaku dan berceritalah kepadaku, kemana saja kau pergi selama ini", Katanya sambil menarik tanganku untuk duduk di amben di beranda rumah.
Aku memulai ceritaku, tentang pengkhianatanku kepadanya, tenang betapa aku menyesal dan menyadari bahwa Asri sealu benar, tentang semua hal yang harus aku lalui setelah banyak penyesalan dan kesalahanku, dan tentang aku yang nekat menghabisi nyawa mantan kekasihnya karena kelakuannya yang selalu memukuliku.
Dia mendengarkan ceritaku dengan mata berkaca-kaca, sambil menggenggam erat tanganku, menguatkanku, dan sesekali pula mengusap air matanya, air mataku.