Tangannya tak lagi mulus seperti dulu sudah banyak keriput yang menutupinya, rambutnya yang dulu hitam dan lebat pun sekarang putih bagaikan salju dan terlihat berwarna perak saat terkena sinar matahari. Banyak yang berubah dari perempuan itu, waktu menggerusnya dalam usia yang sudah bisa dibilang senja. 54 tahun.
Namun ada satu yang belum dan dijanjikannya tidak akan pernah berubah, kesetiaannya menantikan kekasihnya untuk kembali memberikan senyum terbaik dan pelukan terhangatnya, kesetiaan menantikan kesadaran kembali kekasihnya, walau dia tak tahu kapan itu akan terjadi.
Kegiatannya akan sama setiap hari datang ke sebuah rumah sakit di pagi buta, untuk memberikan keceriaan bagi si pemilik kamar.
“Pagi ini cerah seperti kemarin Bram”, kata Ratih sambil meletakkan vas berisi bunya lavender yang baru saja digantinya, bunga yang seperti biasa diletakkannya untuk mengusir nyamuk nakal dari ruangan itu.
“Bagaimana keadaanmu hari ini, bagaimana kalau hari ini aku membersihkan tubuhmu,” katanya dalam nada riang. “atau kau mau aku mengganti gorden ini dulu, sudah hampir tiga pekan tak sempat kuganti atau ah mungkin akan kuganti saja dulu sepraimu itu biar kau lebih nyaman. Baiklah akan kupanggil bala bantuan terlebih dahulu.”
Bagi yang tidak melihat langsung ke dalam kamar itu Ratih terdengar sedang bercengkerama dengan pasien yang sedang dirawat di kamar itu, mungkin anaknya atau bisa juga suaminya. Sayangnya Ratih bicara sendiri lebih tepatnya lagi bicara pada raga yang hidup dari alat kedokteran yang menopang hidupnya selama hampir 25 tahun ini. Ratih bicara pada Bramantyo yang koma.
=====
“Aku rasa 27 tahun itu usia yang cukup untuk menikah Bram,” kata perempuan itu sedikit menyalak pada kekasihnya.
“Ratih, aku harus bisa buktikan pada orang tuamu kalau aku bisa memberikan hidup yang cukup untukmu, baru mungkin mereka akan sedikit memaafkan perbedaan kita,” Jawab Bramantyo putus asa.
“Aku sudah terlalu tua mas, aku ingin mengandung dan melahirkan anakmu, kalau terlalu tua nanti akan susah bereproduksi,” jawabnya lagi sedikit merajuk.
“Dunia sudah makin canggih sayang, asalkan kau menjaga kesehatanmu aku rasa itu tidak akan sulit, tunggu aku sedikit lagi sayang sedikit lagi dank au akan jadi milikku.
Sedikit lagi.
=====
Tangan keriput Ratih kini sedang mengusap-usap peluh yang ada di wajah dan tubuh Bram, setiap dua jam sekali, Ratih membalik tubuh Bram ke kiri dan ke kanan seperti saran dokter dan demi menghabiskan waktunya setiap menemani Bram, Ratih mengecek bisnisnya melalui sekretarisnya yang sudah memberikan kesetiaan padanya selama 20 tahun, bisnis yang dibangunnya bersama Bram dulu sekali.
Urusan bisnis diselesaikannya dalam waktu dua jam saja, sudah banyak yang membantunya mengurus perusahaan yang dirintisnya dari awal bersama Bram. Di luar hujan mulai turun, sejak tadi memang sudah terdengar gemuruhnya bersahut-sahutan, dan kini titik-titik hujan mulai mengeroyok bumi yang kian gersang.
====
“Aku tak sanggup Bram, sudah dua tahun aku menunggu, umurku sudah 29 tahun, aku ingin menikah,” kata Ratih sambil terisak di samping Bram. “bukannya kau bilang setelah semua bisnis kita berhasil, sekarang setelah semuanya berhasil malah begini.”
“Aku pikir orang tuamu akan jadi lebih lunak Ratih, aku salah, aku bingung,” kata Bram tak kalah merana.
“Lalu harus bagaimana Bram?”
====
“Tahukah Bram, aku akan selalu menantimu, setidaknya aku ingin melihat senyummu lagi walau itu untuk yang terakhir kalinya,” gumam Ratih sambil mengusap tangan keriput Bram. “aku akan selalu menantikan hari aku bisa lagi tersenyum untukmu dan maafkan aku, maafkan aku atas keegoisanku yang menyebabkan kau harus seperti ini.”
====
Bunyi telepon yang bordering nyaring menyakiti telinganya, Ratih terpaksa harus berjalan sempoyongan untuk mengangkat telepon yang berada di seberang ruangan. Matanya yang sembab menunjukkan kalau dia baru saja menangis.
“Halo,” jawabnya dengan suara serak dan parau.
“Halo Ratih, ini Kinanti, Tih mas Brammu, mas Brammu kecelakaan, keadaannya sepertinya cukup serius, mungkin kau harus datang Tih.”
Rasa pening yang diakibatkan menangis semalaman membuat kabar dari Kinanti, adik perempuan Bram, bagaikan godam yang dipukulkan berkali-kali ke kepalanya. Tak banyak yang bisa diingatnya, yang jelas setelah menerima telepon itu Ratih memacu kencang mobilnya, memacunya untuk segera bertemu Bram.
Setelah tiba di rumah sakit, dari kaca jendela Ratih bisa melihat Bram, terbaring memejamkan matanya dengan selang yang malang melintang di atas tubuhnya. Batinnya bertanya apa benar laki-laki yang terkulai lemah tanpa perlindungan itu adalah Bram, laki-lakinya yang selalu gagah.
Sentuhan lembut menyentaknya, mengembalikan kesadarannya.
“Ratih mau masuk? Mungkin Bram hanya menunggumu sayang,” kata Tante Esther, ibunda Bram.
“Apa yang terjadi tante?” tanya Ratih dengan suara bergetar menahan tangisnya yang sudah akan pecah.
“Bram mencarimu, katanya sudah sepekan dia tidak bisa menghubungimu, kau tidak membalas semua pesannya juga semua teleponnya, kata Bram kamu menghilang makanya Bram mencoba mencarimu ke rumahmu yang satunya lagi tapi ternyata Bram kecelakaan dan kata polisi butuh waktu berjam-jam untuk mengeluarkannya dari dalam mobilnya yang sudah tak berbentuk lagi.”
“Ratih masuk ya Nak, temui Bram biar Bram bisa lebih tenang dan tidak berat lagi.”
Kata-kata terkahir itu membuat Ratih pecah, setia sel tubuhnya menangis, menangisi keadaan Bram, menangisi keegoisannya dan menangisi kisah mereka. Terbayang lagi wajah Bram yang sedang tersenyum padanya.
“Ratih tidak mau masuk tante, Bram harus bangun lagi,” katanya di tengah isak yang makin menjadi.
“Tante juga maunya begitu sayang, tapi kita harus ikhlas, mungkin akan lebih mudah bagi Bram untuk menyerah, kita yang sehat tidak boleh egois,” kata tante Esther yang sudah ikut menangis.
Ratih tetap bergeming, bahkan setelah dua jam menatap Bram dari luar ruangan Ratih memilih pergi dari rumah sakit, meninggalkan atmosfer menyesakkan yang membuatnya susah bernafas. Dipacunya mobil dengan sangat cepat seolah ingin menghilang dalam deruan angin.
====
Selalu selama 25 tahun, tek pernah bosan Ratih mengajak Bram berbicara, berharap suatu saat nanti tiba-tiba saja Bram akan terbangun dan memberikan komentar. Namun walau penantiannya belum terjawab, dia tahu Bram mendengarkan semua ceritanya bahkan terkadang dia melihat setetes air mata mengintip dari sudut matanya yang tertutup.
“Hari ini keponakanmu melahirkan Bram, anak laki-laki yang sangat menggemaskan, kau sudah jadi kakek Bram,” kata Ratih sambil mengusap lembut dahi Bram. “Usahamu ini sudah kuserahkan kepada keluarga Kinanti Bram, biar hasil kerja keras kita berdua tetap abadi di bawah pengelolaan mereka, kau setuju kan,” katanya lagi.
“Ayahku sudah berpulang Bram, tiga hari yang lalu, dalam usia yang sudah sangat sepuh dan aku belum juga bisa membahagiakannya, kini hanya kau yang kupunya Bram, cepatlah bangun dan berikan senyummu untukku.”
====
“Ratih, tante mohon temui Bram, janganlah seegois itu,” kata tante Esther di ujung telepon.
Ratih belum juga menemui Bram, padahal sudah hampir sebulan dia tak juga siuman.
“Ratih takut tante, takut kalau Ratih datang Bram akan pergi meninggalkan Ratih, Raih belum mau kehilangan Bram,” jawab Ratih terisak.
“Tante mohon sayang, ikhlas akan meringankannya.”
“Maaf tante.”
Namun sore itu toh Ratih tetap datang, disambut peluk dan tangis Kinanti dan Esther yang menantikannya seperti juga Bram.
“Ratih yang akan urus Bram tante, izinkan Ratih yang mengurus Bram, Ratih akan menemuinya bukan untuk merelakannya tapi untuk menyemangatinya, suatu saat nanti Bram pasti akan terbangun tante,” kata Ratih disambut tatapan putus asa Kinanti dan Esther.
“Biaya alat penopang hidupnya besar sayang, tante tidak ingin melakukan itu tapi saat ini itu yang bijaksana kami lakukan, Bram juga pasti tidak ingin begitu hidup dengan alat-alat itu menempel di tubuhnya itu hanya akan memperpanjang ketidakpastian,” kata Esther seolah menerangkan soal paling mudah kepada anak umur 10 tahun.
“Biaya apapun Ratih yang akan tanggung, sebelum ini usaha kami cukup maju dan akan Ratih buat tambah maju, maka tolong tante izinkan Ratih menyemangatinya.”
Dengan wajah menyerah Esther merelakan keputusan Ratih. Ratih pun masuk ke dalam kamar Bram, setelah sebulan dia terbaring ini kali pertama Ratih mengunjunginya.
“Kamu pembohong, katanya akan menikahiku nyatanya tak juga kunjung bangun,” ceracau Ratih sambil menggenggam tangan Bram.
“Aku yakin kamu akan bangun maka itu ayo berjuang bersama, aku akan mendukungmu dan menyemangatimu, mau kan,” katanya dalam tangis yang sudah pecah sejak tadi. “Aku akan selalu berada di sini, untukmu, maka kamu harus cepat membuka matamu.”
====
Banyak orang di kamar Bram hari ini, Kinanti yang sudah menjadi seorang nenek, keponakan-keponakan Bram, tante Esther yang sudah semakin tua dan Ratih yang terlihat sangat lelah dan berduka. Ratih mengambil duduk di samping tempat tidur Bram dan menggenggam tangannya.
“Hari itu aku marah padamu, maka agar tidak menyakitimu dengan kata-kataku aku memutuskan untuk menghilang sementara, aku tidak pernah membencimu. Namun aku lupa betapa kau terlalu mencintaiku dan kehilanganku akan membuatmu bingung dan marah, maka maafkan aku karena keegoisanku hari itu kau harus begini.”
“Hari itu aku memaksamu berjuang, kubilang aku akan selalu bersamamu dan sampai saat ini dan seterusnya jika diizinkan aku akan terus melakukannya, tapi waktu terus berlalu Bram dan orang-orang yang dulu ada dalam hidup kita mulai pergi meninggalkan aku, meninggalkan kamu.”
“Ibuku, ayahmu dan yang terakhir ayahku mereka pergi tanpa sempat melihat kita bahagia, tapi aku bahagia Bram, bisa menjagamu dan merawatmu sampai sekarang, maka maafkan aku yang dengan egoisnya memintamu untuk tetap berjuang, sejatinya bukan aku yang menemanimu tapi kau yang selalu ada untukku.
“Aku mungkin akan menangis setelah hari ini tapi kau boleh lihat nanti akan kututup hidupku dengan senyuman terbaikku Bram, maka kau tak perlu lagi ragu untuk melanjutkan perjalananmu. Kau boleh hapus kekhawatiranmu kepadaku, aku akan jadi wanita paling kuat yang bisa kau andalkan. Aku akan mencintaimu selamanya Bram karena kau adalah karunia terindah dalam hidupku,” kata Ratih yang lalu mencium lembut dahi dan bibir Bram untuk terakhir kalinya.
Seolah menjawab semua perkataan Ratih, setetes air mata bergulir dari mata Bram sebagai salam perpisahan bagi kekasihnya.
Setelah itu di dalam pelukan Kinanti, Ratih melihat tim dokter melepas alat penopang kehidupan Bram satu persatu. Rasa sakit memenuhi dadanya air mata mulai membanjiri matanya, Ratih menggumamkan satu kata berulang-ulang sambil menangis dan sesekali mengusap air matanya.
“Aku cinta kamu, Bram.”
====
“Hari ini cerah Bram seperti biasanya, ayo kita berjuang, aku akan menemanimu di sini. Kau harus cepat bangun.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H