Kau bilang, kesalahanmu adalah aku.
Memang, ini masih tentang patah hati. Tentang kisah yang tersimpan di suatu pustaka hati. Tentang kita yang mengambang seperti jerat puisi. Berlarik-larik, berhati-hati.
Kau pikir, disisiku saja cukup.
Kutahu kau tebar tanda-tanda. Meminta akalku segera menyala, meracik setiap kata dari netra yang memandangku penuh cinta. Kupikir, kiatmu hanya bercanda. Rupanya, nyata.
Waktu selalu berpihak padamu.
Kau lebur koma dalam temu, mengajakku bermimpi tentang tunggu. Kukira persimpangan kita akan menyatu. Di sudut ruang, pekikku riang bertalu-talu.
Dan rupanya, hanya aku.
Â
Berapa lama aku harus menunggu? Kau katakan indah pada tatapku dan aku terbuai oleh itu. Jika kau menginginkanku, mengapa ucapmu hanya disitu? Apakah tanya terlalu sulit untuk setiap petikmu?
Â
Sikapmu hanya memperjarak rindu.
Â
Lantas, kukatakan titik untuk setiap kebingungan kita. Memaksa seru untuk menyeru, membentang pisah antara fiksi dan realita. Di sudut ruang, berbait goda tertelan saja. Kulepas, bahagia.
Â
Dan kau, sibuk mencari pembenaran saja.
Solok, 14 Juli 2024
Nb: Hai Kompasiana! Lama tak jumpa :)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H