Lelaki itu pun lantas kembali ke beranda sambil meringkuk, mencoba mengamati sang pembunuh yang berdiri diam dari celah pot-pot bunga. Tak lama, sang pembunuh berjalan pergi.
Tiba-tiba, si pembunuh membalikkan badan dan kembali mengamati kawasan apartemen. Ia pun perlahan mengangkat telunjuk sambil menggerakkan mulutnya.
Saat itulah Sang Hoon sadar bahwa pembunuh itu sedang menghitung lantai apartemennya, mencari tahu tempat tinggalnya, dan mungkin bermaksud membunuhnya.
Mengemas Fenomena Bystander Effect dengan Sempurna
Sejujurnya saya kembali menonton film ini setelah tiga minggu lalu, seorang Kompasianer mengulas tentang Bystander Effect.
Lantas seolah mengamini hal tersebut, sebuah berita muncul di beranda gugel saya, mewartakan pelecehan seksual yang terjadi di kereta api pinggiran kota Philadelphia, AS.
Hal yang paling mengejutkan dari berita tersebut adalah fakta adanya beberapa orang saksi mata yang semuanya membisu ketika peristiwa tragis itu terjadi.
Situasi itu dinamakan Bystander Effect. Kondisi menyimpang di mana adanya pengabaian yang dilakukan oleh banyak orang dalam satu waktu terhadap peristiwa buruk/berbahaya yang terjadi tepat di depan mata mereka.
Para saksi mata ini pada dasarnya “memilih” untuk tidak melakukan apapun karena menganggap akan ada orang lain yang mewakili mereka.
Tentu saja ada banyak faktor x yang menyertai alasannya, contohnya kecemasan pribadi, ogah berurusan dengan polisi, atau memang dari sononya apatis alias tidak peduli.
Dalam hal ini, The Witness memakai teori tersebut sebagai landasan cerita yang digunakan untuk melengkapi premis sinemanya yang sederhana.
Hal ini terlihat dari bagaimana para penghuni apartemen menolak untuk memberi kesaksian pada polisi ketika beberapa di antara mereka sebenarnya mengetahui peristiwa tersebut.