Urusan kita hanya sebatas kopi.
Dada menghangat oleh hawanya yang wangi.
Seduh gula susu sekehendak hati.
Menyesapnya mampu mendamaikan ribut pagi.
Urusan kita hanya sebatas kopi.
Lirikannya terasa bagai mata-mata yang mengawasi.
Curi-curi pandang seolah-olah ia adalah pencuri.
Biar tak tahu, ia pura-pura menyesap lagi.
Urusan kita, mungkinkah sebatas kopi?
Namun kutahu ia duduk di sana berhari-hari.
Seolah-olah kursi itu istimewa dan suci.
Dan pelayan membiarkannya lagi dan lagi.
Urusan kita, mungkin sebatas kopi?
Apapun itu, ku tak tertarik sama sekali.
Tapi katanya, kopiku telah dibayar romansa nyali.
Di bawah gelas, sepucuk surat tergolek rapi.
Angka? Ah, aku tahu ini ...
Aku lihai tebak-tebakan dengan pelangi.
Aku lirik si pemilik urusan kopi.
Pura-pura syahdu. Kopi disesap, lagi.
Aku terkekeh sendiri.
Radio terdengar memutar melodi.
Seperti pusaran kopi, manusia itu pelik sekali.
Mama bilang, jangan mencinta seakan berjual beli.
Sepoi angin wara wiri layaknya bernyanyi.
Ku ketuk meja, jangan sembunyi lagi.
Gagap senyum terlihat menawar empati.
Ku mendesah, ragu-ragu mengasihani.
Mama bilang jangan main-main urusan hati.
Jadi, ini memang hanya sebatas urusan kopi.
Jari manis teracung, cincinku membanggakan diri.
Terbelalak. Kali ini, kopinya tak tersesap lagi.
Sebab, Mama bilang jangan dikasih hati.
Seduh sedan kopi memang suka menjual fantasi.
Padahal realita suka menghajar ekspektasi.
Yah... Cinta memang suka bermisteri.
Maaf tapi, sayang sekali.
[Solok, 27 Juli 2021]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H