Gagak-gagak melihatnya menangis tergugu. Mengasihani usai teriakannya menakuti burung hantu. Hari demi hari, mimpi buruknya enggan berlalu. Kenangan mengikat jiwanya bagai rantai benalu.Â
Konon, pria itu adalah pahlawan dunia.
Dengan gagah mengangkat pedang di atas kuda.
Medan perang baginya seumpama lantai dansa.
Demi negara, ia kobarkan asa bersama para kesatrianya.
Lalu, langit jingga seakan menjilat darah. Tubuh-tubuh terkoyak, menyabik jahat baju zirah. Tanah mengkelam, melumpur merah. Di titik itu, negara berhura atas musuh yang telah kalah.Â
Orang-orang berlomba mengibar bendera.
Sahut-sahutan lonceng dan terompet memekak suka cita.
Rakyat menyambutnya dengan tawa gembira.
Tangis membuncah, dunia mengelu-elu namanya.
Namun, dendam musuh siapa yang tahu?
Dibalik gelap, gelora api seakan melahap penjuru.
Sungguh. Si pria tidak pernah tahu.
Di kesunyian, kebencian mendesis tanpa ragu.
Kemudian, mimpi buruk itu terjadi.
Saat Raja menyambutnya, napas-napas bersembunyi.
Mereka berburu orang terkasihnya karena sakit hati.
Tombak melayang, jantung tertusuk tanpa nurani.
Kejadiannya cepat sekali. Si pria terdiam menatap nanar tragedi.
Kekasihnya, wanitanya, tersungkur. Mati.
Apa kau tahu hukum rimba?
Jangan sekali-kali melawan harimau yang terluka.
Bukan! Bukan yang tersayat fisiknya.
Namun hatinya. Sebab ia akan menjadi neraka!
Ketar-ketir musuh oleh raungannya. Seolah sangkakala memporak-porandakan dunia. Akalnya berkabut mengingat air mata kekasihnya. Lalu ia ingat nasihat gurunya, "Perang itu, selalu diganjar karma."