Seakan sendiri di tengah keramaian.
Ketika erangan kemarahan berusaha disimpan.
Ketika luka tak lagi digenggam tangan.
Ia menatap langit penuh kebencian.
"Jangan begini. Jangan begitu."
"Harus begini. Harus begitu."
Kata perintah datang dari semua pintu.
Sedang lidahnya kelu, otaknya kelabu, berdiri terpaku.
Wajahnya pias, ia ketakutan ingin bersembunyi.
Tatapan-tatapan mencekik, ia pontang-panting ingin lari.
Ia meringkuk, menangis dalam sunyi.
Sementara waktu bergulir, mengoyak kata abadi.
"Apa yang harus kulakukan?" Ia bertanya.
Bulir kristal di pipinya telah beku tetapi ia terus bertanya-tanya.
Pelangi setelah hujan baginya adalah dusta.
Keegoisan meneriaki benaknya, menghasutnya, bercengkrama bagai mantra.
"Nila setitik, rusak susu sebelanga."
Lorong gelap terbentang, ia tak tahu ujungnya.
Bayang-bayang menusuk punggung menembus hatinya.
Hitam pekat bagai lumpur menolak cahaya.
Lalu, sebuah suara menggulung relung inangnya.
Napasnya satu untuk wajah yang sama tetapi hatinya berbeda.
Seolah ada kutukan yang datang menutupi lara.
Jiwa yang lain datang, bertugas menghapus duka.
"Oh. Dia bersembunyi." Ucapnya.
"Bocah itu lemah. Aku datang menggantikannya."
"Lantas kau siapa?" Tanyaku waspada.
Menakutkan. Seringainya menakutkan. Ia tertawa menggila.
Ia yang lain menggila.
"Menurutmu, siapa?"
[Saningbakar, Solok, 30 Mei 2021]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI