Mohon tunggu...
Apri Andi
Apri Andi Mohon Tunggu... -

manusia Indonesia kebanyakan, PNS sebagaimana adanya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemimpin Impian Birokrat

13 Januari 2014   18:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:52 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Judul yang agak aneh, lah biasanya yang dibahas itu pemimpin impian rakyat kan? Ngapain pula pemimpin impian birokrat - yang kadung dicap pemalas, kerja teng-go, korup, tidak becus, masuknya pakai nyogok, dan sederet stigma negatif lain - ikut pula diperhitungkan? apa pentingnya?

Sejak awal bekerja sebagai birokrat (baca : PNS) pada awal 2010, saya menyadari satu hal : bahwa birokrasi bukan hanya memusingkan masyarakat, tapi birokratnya sendiri ikut pusing. Ada banyak faktor yang menyebabkan rumitnya birokrasi tersebut. Dan kalau ada yang bilang bahwa kerumitan itu disengaja (kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah?), maka percayalah, saya tidak pernah memperumit sesuatu, tapi kadang juga tidak berdaya saat sistem yang memang by-default rumit.

Kedengarannya memang klise, tapi ibarat "warning" bang napi "Kejahatan terjadi juga karena ada kesempatan". Maka lemahnya birokrasi juga turut menjadi faktor terjadinya korupsi. Sistem yang sebelumnya saya katakan rumit, pada kenyataannya malah memancing oknum untuk meringkas sistem tersebut. Pada awalnya mungkin niatnya baik, agar proses tidak terlalu lamban, tapi pada akhirnya metode yang sama juga bisa digunakan untuk tujuan buruk dan menguntungkan diri sendiri. Misalnya ada pegawai perizinan yang memotong sedikit sistem agar warga bisa mengurus perizinan dengan lebih cepat, tetapi kemudian metode yang sama dipakai pegawai yang lain untuk mendapatkan "uang terimakasih"

Yang saya dan mungkin juga birokrat lainnya impikan adalah seorang pemimpin yang mampu dan mau berfokus melakukan pembenahan birokrasi atau bahasa kerennya reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi yang telah berangsur berjalan selama ini perlu ditingkatkan lagi, agar efisiensi kerja seorang PNS dan instansinya dapat melebihi atau minimal menyamai swasta.

Tetapi masalahnya, adakah pemimpin (baca : politisi) yang mau? Masalahnya bukanlah sekedar ketidakinginan, tetapi pada kenyataan bahwa Politisi bagaimanapun juga perlu publisitas dan membenahi birokrasi sampai kedalam-dalam bukanlah sebuah "prestasi kerja" yang kelihatan seksi seperti beras murah atau BBM murah.

Seorang politisi bisa terkenal jika berhasil membuat pegawainya datang dan pulang ontime atau perizinan bisa keluar dalam satu hari, itu adalah sebuah prestasi yang seksi untuk rekam jejak sang politisi (walaupun mungkin sebenarnya menimbulkan masalah baru karena pegawai yang datang dan pulang ontime juga belum tentu bekerja, dan perizinan yang keluar lebih cepat ternyata tidak diverifikasi sebagaimana seharusnya). Tetapi jika seorang politisi berhasil membuat semua instansi yang ada dibawahnya berstandar ISO series, CMMI Level 5 dan memenuhi segenap standar yang dibutuhkan untuk mekanisme kerja yang optimal, paling-paling dia akan berhadapan dengan banyak dahi berkerut : apa itu CMMI? Level 5? pedas gitu?

Terserah untuk dikatakan pencitraan atau bukan, kenyataannya politisi perlu menunjukkan prestasi dihadapan masyarakat yang memilihnya. Dan masyarakat cenderung menilai positif segala sesuatu yang imbasnya dirasakan atau dilihat secara lansung. Sedangkan perbaikan birokrasi cenderung hasilnya tidak kelihatan, lah PNSnya juga itu-itu juga, kantornya disana juga, seragamnya juga masih sama. Kalaupun hasilnya kelihatan, seringkali publisitas yang didapatkan tidak sebanding dengan effort yang diberikan.

Sekedar contoh kasus : teman saya mengambil magister di ITB, dibimbing oleh dosen yang sering menjadi konsultan perbaikan proses kerja diperusahaan-perusahaan, membuat tesis tentang perbaikan alur kerja perizinan, jungkir balik dia kerjakan selama setahun. Pada akhirnya tesisnya selesai dan dipuji oleh penguji (yang juga berpengalaman sebagai konsultan) saat sidang. Sistem baru yang dia rancang diyakini lebih tahan terhadap masalah dan gangguan, lebih gampang untuk diawasi dan lebih gampang untuk dilaksanakan petugas perizinan.

Tetapi masalahnya masyarakat banyak mungkin tidak paham faktor kemudahan untuk diawasi (auditable), daya tahan sistem (robustness), masyarakat luas hanya paham seberapa cepat izin bisa keluar. Dan coba tebak, berdasarkan simulasi, berapa hari efisiensi yang dia hasilkan? Hanya 2 hari!! Iya. sistem baru yang dirancang kawan saya ini, yang dianggap bagus oleh dosen-dosen doktor yang berpengalaman dalam memberi konsultasi terhadap perusahaan-perusahaan besar, ternyata hanya dua hari lebih cepat dibandingkan sistem yang lama. Dan efisiensi dua hari bukanlah sebuah "iklan" politik yang bagus bagi seorang politisi, sama sekali tidak seimbang dengan effort yang telah dikeluarkan.

Makanya tidak jarang ditemui politisi yang sekedar menyuruh "harus lebih cepat" seakan tidak paham esensi sebuah proses kerja. Bisa saja perizinan dikeluarkan dalam 1 jam misalnya, tetapi konsekuensinya izin yang keluar menjadi sembarangan, tidak terverifikasi, tumpang tindih dan lain-lain.

Karena itu, sebagai seorang birokrat saya merasa bahwa dibutuhkan adanya pemimpin yang siap mengorbankan waktu dan tenaga untuk sesuatu yang tidak dikenal masyarakat yang bernama "pembenahan birokrasi dan manajemen". Walaupun memang bukan si politisi yang akan melaksanakan pembenahan birokrasi, tetapi dukungan penuh tetaplah dibutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun