Mohon tunggu...
Apri Andi
Apri Andi Mohon Tunggu... -

manusia Indonesia kebanyakan, PNS sebagaimana adanya

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Resep Dokter : Rantai Lemah Sistem Informasi Kesehatan

15 Februari 2014   22:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sistem kesehatan secara utuh dapat dipandang sebagai kesatuan dari elemen-elemen yang terdiri dari unit-unit kerja yang keseluruhannya terfokus pada satu "subject care" yaitu masyarakat secara umum.

Setiap elemen dalam sistem kesehatan saling terhubung melalui sebuah sistem informasi kesehatan. Sistem informasi ini (meskipun masih manual dan berbasis kertas) merupakan medium untuk penyampaian informasi antar unit kerja ataupun antar profesional kesehatan. Kualitas dari informasi yang mengalir dalam sistem kesehatan ini penting karena menyangkut pada kesepahaman antar profesional tentang kondisi pasien.

Pelayanan kesehatan yang kerap ditemui setiap hari : dokter dan apotek. Pasien mendatangi praktek dokter (atau dokter di RS), mendapatkan diagnosa dan saran-saran, kemudian mendapatkan obat yang dibutuhkan sesuai dengan diagnosa melalui apotek. Pada hampir semua kasus kedua unit ini (praktek dokter dan apotek) merupakan satu kesatuan upaya kesehatan, karena pasien yang penyakitnya telah terdiagnosa akan butuh obat dari apotek.

Karena itu, antara dokter dengan apotek membutuhkan cara untuk berkomunikasi. Dokter perlu memberitahu apotek tentang apa-apa saja obat yang harus diberikan pada pasien, sesuai dengan diagnosa yang telah ditegakkan. Tetapi sayang sekali, komunikasi super penting seperti ini seringkali disampaikan dengan cara :

Sumber gambar : WHO

(Bahkan di contoh resep yang diberikan WHO diatas ada pesan : "don't write like this")

Masyarakat awam mungkin mengira bahwa tulisan yang tak terbaca diatas adalah disengaja dan apotek maupun apoteker dan asisten apoteker pasti mengerti. Kenyataannya : tidak. Kebanyakan apoteker atau asisten apoteker baru akan benar-benar paham tulisan di resep obat yang tulisannya jelek diatas ketika sudah terbiasa dan sering membaca tulisan di resep dari seorang dokter (yang biasanya juga obatnya hampir sama). Artinya pada awalnya akan ada periode dimana apoteker maupun asisten apoteker "menebak" apa yang ada di resep tersebut dan kadang-kadang mengkonfirmasi lewat telepon. Dan apabila apotek menerima resep dari dokter yang tidak biasa mereka tangani resepnya, risiko salah baca akan semakin tinggi.

Sokol dan hettige dalam Journal of the Royal Society of Medicine pada desember 2006, menyatakan bahwa tulisan tak terbaca sampai saat itu masih merupakan masalah yang signifikan dalam bidang kesehatan. Diperkirakan setiap tahunnya, tulisan tak terbaca menyebabkan 7000 kematian (sumber dan disini.)

Sekarang, coba pejamkan mata dan bayangkan, bahwa setiap tahun, ada 7000 orang yang terbunuh hanya gara-gara tulisan jelek. Saya ulangi : terbunuh, gara-gara tulisan jelek.

Jika terjadi medication error karena penyakit yang sulit untuk diagnosa dengan gejala yang mirip penyakit lain atau adanya alergi atau kondisi yang memang sulit untuk dideteksi (seperti kasus dr. Ayu), ibaratnya anda sedang asik-asik jalan tiba-tiba tersapu banjir bandang : masih bisa disebut : "kecelakaan" dan "nasib". Tapi medication error karena tulisan jelek? Itu sama dengan anda tertabrak mobil yang pengemudinya lengah karena nyetir sambil pacaran di whatsapp : KECELAKAAN MUATAMU???!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun