Menarik juga menyimak berita tentang Rumah sakit jiwa di berbagai kota (misalnya : pekanbaru, surabaya, bengkulu dan kota-kota lainnya) yang jauh-jauh hari sudah menyiapkan tempat untuk caleg yang diprediksi bakal mengalami stres berat pasca pemilu.
Saya yakin bahwa rumah sakit jiwa yang banyak ini bukan bermaksud untuk mencari sensasi (lah memang RSJ masih kurang sensasi?), melainkan memang melakukan apa yang biasa dilakukan oleh rumahsakit lainnya : prediksi kebutuhan sumberdaya.
Saya masih ingat pada saat saya kerja praktek di rumah sakit dulunya. Saya sempat diajarkan bagaimana memprediksi kebutuhan rumah sakit (sekarang sih sudah lupa, kerja kantoran soalnya). Yang pada intinya, prediksi kebutuhan sumberdaya adalah sesuatu yang mesti dilakukan dengan hati-hati oleh rumah sakit kalau tidak mau rugi karena terlanjur menyiapkan sesuatu yang tidak pernah terpakai atau malah kecolongan karena tidak menyiapkan. Tindakan rumah sakit jiwa di berbagai kota yang menyiapkan sumberdaya untuk caleg stress tentunya juga telah melewati prediksi yang dilakukan hati-hati.
Seperti rumah sakit umum yang seringkali persiapan sumberdayanya dipengaruhi oleh musim, rumah sakit jiwa sepertinya juga memandang pemilu sebagai semacam "musim" yang tak terhindarkan. Bahwa jika ada pemilu akan serta merta dibarengi dengan kenaikan jumlah orang gila, itu sama halnya denangan musim pancaroba banyak yang pilek.
Hal ini tentunya menimbulkan tanda tanya. Seberapa kuat mental orang-orang yang mengajukan diri menjadi caleg ini? Coba bandingkan dengan Soekarno dan Hatta yang dibuang, dikucilkan, dibutakan dari akses berita, dijauhkan dari teman-teman seperjuangan. Toh mereka stabil-stabil saja. Artinya, kalau mental tidak kuat dan tidak siap dengan kekalahan, bagaimana pula hendak jadi negarawan?
Tidakkah para caleg ini mengukur daya tahan mentalnya sendiri? Umpama untuk maju jadi calon legislatif, butuh biaya kampanye 2 miliar, tidakkah mereka memprediksi kesiapan diri untuk kehilangan 2 miliar tersebut? Ataukah mungkin para caleg ini maju nyaleg tanpa punya pikiran bahwa bakal kalah?
Bahkan saya curiga bahwa sebagian besar caleg ini hanyalah orang-orang biasa yang dipengaruhi oleh orang-orang yang ingin mengeruk keuntungan dengan menjadi timses. Toh kalaupun si caleg ini kalah, mereka tetap dapat untung dari komisi.
Selain itu, kalau boleh sedikit mengkritik, alangkah lebih baik kalau rumah sakit jiwa bukan hanya bersiap untuk menampung pasien yang diprediksi bakal setres. Lebih baik jika RSJ dan Direktorat Kesehatan Jiwa kemenkes mencegah jatuhnya korban [sakit] jiwa pasca pemilu dengan berbagai cara. Entah itu penyuluhan, brosur atau kalau perlu spanduk, yang intinya meminimalisir terjadinya gangguan jiwa pasca pemilu dan mencegah agar orang-orang yang mentalnya lemah dan tidak tahan banting agar jangan maju nyaleg.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H