“Mafia Russia terkenal rasis, suka mengancam, bahkan tidak segan-segan membunuh orang yang tidak disukai di tempat umum”, kisah seorang teman yang telah tinggal di Moscow, saat saya dan beberapa teman dari Jakarta baru sampai di kota tersebut, “namun yang lebih mengerikan dan paling tidak manusiawi adalah, mereka, lebih suka membuat korbannya cacat seumur hidup”, lanjutnya.
Mendadak bulu kuduk saya merinding. Membayangkan apa yang akan terjadi pada kami jika sampai berurusan dengan mereka. Melempar pandangan ke jalanan di sekitaran jembatan tak jauh dari Gorky Park, dan menemukan banyaknya botol Vodka berserakan serta udara yang menyentuh 15°cc, menambah aroma mengerikan tempat yang sejatinya indah tersebut. Alhasil, saya dan teman-teman lain, memilih untuk segera kembali ke Hostel.
[caption id="attachment_265724" align="aligncenter" width="300" caption="Salah Satu Sudut di Moscow"][/caption]
Cerita tentang kriminalitas yang mengerikan di Moscow nyatanya belum berakhir juga. Saat sampai di Hostel, sesaat setelah saya mandi dan menunaikan sholat Isya, beberapa teman dari China yang kebetulan tinggal di tempat yang sama, bercerita bahwa sebelum kembali ke Hostel, mereka bertemu dengan mafia Russia yang terlihat tengah menodong seorang turis di sebuah taman kota, seakan menguatkan cerita teman saya sebelumnya dan membuat saya semakin tertarik untuk meninggalkan Moscow sesegera mungkin.
Esoknya, menjelang siang, saya dan beberapa teman memutuskan untuk pergi ke Izmailovsky Market, sebuah pasar tradisional yang menjual beragam souvenir khas Russia seperti Matryoshka, gantungan kunci, barang-barang militersisa perang dingin dengan harga miring, untuk dibawa ke Indonesia. Cuaca yang cerah dengan udara yang berkisar 30°cc, cukup mengurangi aroma horror di Moscow. Namun sayang, suasana tersebut juga tidak berlangsung lama.
[caption id="attachment_265725" align="aligncenter" width="300" caption="Salah Satu Taman di Moscow"]
Selama dua jam menjelajah pasar tersebut, mata saya tergoda oleh sebuah tas antik peninggalan militer Russia. Melihat modelnya yang bagus serta tagline 1941 sebagai tanda tahun produksi barang, membuat saya langsung jatuh hati dan tanpa banyak congcong, langsung saya beli dan saya pakai saat itu juga, hingga tak terasa, jam sudah menunjukkan angka 14.00, lalu saya memutuskan untuk makan siang di sebuah Food Stall yang masih satu komplek dengan Izmailovsky, dan memilih ayam bakar yang aromanya tercium kemana-mana serta roti khas Russia yang entah apa namanya, saya tidak banyak tanya karena terlalu sibuk dengan tas baru saya.
Saat makan sambil lalu mengecek tas kesayangan tersebut, tiba-tiba seorang nenek berumur sekitar 80 tahunan, berkostum khas orang Russia jaman dulu, datang kepada saya dan berucap beberapa patah kata sembari tersenyum. Kontan saya dan teman-teman saya yang lain hanya saling pandang satu sama lain karena tidak mengerti bahasa Russia.
Melihat kami yang kebingungan, teman saya yang sudah dua tahun tinggal di Moscow itu akhirnya menjelaskan pada kami, bahwa memandangi saya, nenek tersebut jadi teringat pada salah satu tentara Russia yang telah meninggal empat puluh tahun lalu, yang meninggal karena dibunuh. Saya dan teman-teman lain saling adu pandang, sebelum akhirnya pandangan kami tertuju pada tas yang baru saja saya beli.
[caption id="attachment_265727" align="aligncenter" width="300" caption="St. Basil"]
Pikiran liar saya jadi tidak terkontrol. Jangan-jangan, pemilik orang tas yang saya pakai itu adalah tentara yang mati dibunuh itu. jangan-jangan arwahnya masih gentayangan. Jangan-jangan, apa yang dilihat nenek tadi, adalah jelmaan dari arwah tentara malang tersebut. Jangan-jangan tas tersebut ada penunggunya. Dan prasangka-prasangka tersebut semakin membuat kami ketakutan bahkan masuk pada kategori paranoid saat kami semua mendapati kondisi tubuh saya yang sangat Asian dan jelas-jelas berbeda dengan orang Russia kebanyakan yang European. Dan jadilah penjelajahan kami di Moscow di pertengahan tahun 2012 itu, syarat dengan kisah horror dan terror. Berkunjung ke St. Basil serta Kremlin yang menjadi menu wajib, tak mampu mencairkan suasana hati saya.
[caption id="attachment_265728" align="aligncenter" width="300" caption="Di kawasan Kremlin"]
Namun semua kisah horror dan terror tersebut akhirnya terbayar saat kami memilih untuk mengunjungi kota St. Petersburgh yang sangat cantik, syarat bangunan kuno dengan arsitektur eropa klasik seperti Petropalovskaya Castel di pulau Zayachi yang dibangun sejak tahun 1703, Blue Mosque yang terletak tidak jauh dari pulau Zayachi, beragam museum seperti Hermitage yang super besar dan super lengkap yang tidak akan selesai dijelajahi hanya sehari serta gereja-gereja yang lebih dari sekedar Indah, seperti Gereja Savior.
[caption id="attachment_265729" align="aligncenter" width="300" caption="St. Basil"]
Gereja Savior sendiri merupakan salah satu gereja bersejarah yang telah dibangung sejak tahun 1881 oleh N. Benois dan A. Parland, dan berdiri megah tepat di samping kanal cantik yang membelah salah satu sudut kota St. Petersburgh. Ornament dinding yang dipenuhi dengan bulatan-bulatan yang nampak seperti kelereng besar, serta interior bangunan yang syarat warna, membuat saya tidak henti-hentinya berdecak kagum. “Cocok sekali untuk tempat bulan madu!”, seru saya dalam hati.
[caption id="attachment_265730" align="aligncenter" width="300" caption="Petropalovskaya Castel"]
Hari-hari berikutnya saya habiskan di sebuah perkampungan kecil di bagian kota Tver, tepatnya di sekitaran danau Seliger karena program Summer Camp yang saya ikuti dihelat di sana. Di desa tersebut, lagi-lagi saya harus berdecak kagum, bukan pada bangunannya, melainkan pada masyarakatnya yang, subhanallah, ramahnya kebangetan, bahkan mungkin lebih ramah ketimbang masyarakat di desa-desa di Indonesia yang pernah saya kunjungi.
[caption id="attachment_265731" align="aligncenter" width="300" caption="Salah Satu Sudut St. Petersburgh"]
Keramahan mereka semakin terasa saat suatu sore, saya dan dua teman saya berkunjung ke sebuah pasar tradisional, dan bertemu dengan masyarakat lokal. Meski tidak ada satupun dari mereka yang mampu berbahasa Inggris, namun sikap hangat yang mereka tunjukkan serta senyum tulus yang disunggingkan, cukup menggambarkan betapa masyarakat di desa tersebut sangat terbuka dan ramah pada pendatang seperti saya. sempat beberapakali saya diajak berfoto, baik oleh pengunjung, maupun penjual buah Cherry yang tengah duduk manis di lapaknya, dan sebagai gantinya, kami diberi Cherry segar dengan gratis.
[caption id="attachment_265733" align="aligncenter" width="300" caption="Blue Mosque"]
Dan sejak saat itu, kesan horror berubah menjadi kesan homey, sementara terror, tetap terasa hingga sekarang, namun dalam konteks yang berbeda, yakni terror untuk pergi kesana lagi dan lagi. Dan tentu saja, suatu hari nanti, saya akan pergi kesana lagi. J
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H