Di sebuah siang yang cukup terik, saya dan beberapa saudara pergi ke Sumenep dalam rangka menghadiri proses perceraian salah seorang sanak famili di Pengadilan Agama kabupaten setempat. Tak jauh berbeda sejak kurang lebih satu tahun lalu saat saya tinggalkan, kota di ujung timur pulau Madura ini, semuanya masih sama, dari jalanan yang lengang, berbeda sama sekali dengan Jakarta yang padat dan sesak, hingga bangunan yang kurang lebih masih belum ada perkembangan yang cukup signifikan. Demikian, pada kesempatan ini, saya tidak mau banyak membahas kedua hal tersebut, mungkin di kesempatan lainnya, saat ini saya akan bercerita tentang Si Mbok dan Urapannya.
Mungkin sebagian orang yang belum pernah tau bagaimana orang madura, masih bingung apa itu Urapan? Hehe, saya juga sebetulnya bingung, mau menamainya apa, biasanya setiap kali saya mau beli, saya langsung bilang “melleh rap orapennah!” yang berarti, saya mau belu urapan. Urapan atan Rap orapan adalah sejenis makanan yang didalamnya kurang lebih ada Ketupat, tauge, sayur mayur, kuah bersantan yang dimasak bersama daging syarat lemak yang nikmatnya minta ampun, serta tentu saja kolat atau kerupuk rempeyek yang didalamnya ada banyak udangnya.
Karena sudah lama tidak makan rap orapan, maka siang itu, saat ada waktu kosong saya langsung bergegas ke penjual rap orapan serta langsung memesan satu porsi. Satu porsi kira-kira berkisar antara Rp 3000 hingga Rp 5000. Nyaris tidak ada beda jika dilihat dari kuantitas makanan yang didapat dari kisaran harga tersebut, yang membedakan mungkin, jika Rp 3000 kita hanya cukup mendapatkan apa adanya, alias standar, namun jika Rp 5000 kita bisa milih mau dikasih apa dan mau ditambah apa aja, ada ikan Cakalan nikmat yang siap untuk dikasih oleh si Mbok.
Ada satu hal yang menarik siang itu. Saat saya baru sampai dan karena tak tahan melihat beragam jenis makanan yang ada, saya sangat antusias untuk melihat dan memilih apa saja yang akan saya beli. Namun agak sedikit kaget saat si Mbok dengan nada sinis bilang yang kurang lebih kalau dibahasa Indonesia-kan seperti ini, “Heh jangan dekat-dekat sama masakan saya, nanti bulu betis dan bulu-bulu lain mu rontok dan kena makanan-makanan ini!”. saya terkejut mendengar ucapan si Mbok, namun belum selesai keterkejutan saya, si Ibu malah ketawa cekikikan.
Saat selesai membeli, saya langsung bergegas pergi ke sebuah kedai makanan, menyusul saudara saya yang tengah makan. Dan sayapun cerita tentang sikap si Mbok, dari saat saya baru sampai di tempat dia jualan, hingga hal menggelikan yang sukar saya temui di manapun.Belum juga kelar saya cerita, eh mbak saya malah bercerita kisah lain tentang si mbok yang tak kalah seru.
“Iya, si mbok memang sering begitu!, sikapnya suka aneh-aneh!”, begitu responnya, lalu dia melanjutkan ceritanya bahwa, di suatu hari, ada salah seorang wanita mau beli rap orapan ke si Mbok, namun belinya hanya Rp 1500 karena makanan tersebut dibeli untuk orang sakit. Namun bukan makanan yang didapat oleh si pembeli malang itu, malah omelan pedas, seperti ungkapan bahwa Rp 1500 bahkan tidak cukup untuk membeli bungkus pisang yang dipakai untuk membungkus, boro-boro dapat masakannya!
Merasa tak tahan dengan omelan si Mbok, wanita itu justru menjawab, “Eh Mbok, kalau saya mau, semua barang yang Mbok jual bisa saya beli, bahkan beserta Mbok juga kalau perlu! Saya beli segini hanya karena buat orang sakit! Itu saja!”
Si Mbok menjawab tak kalah pedas, “Yah banyak orang yang sok kaya dengan berlagak seperti itu, tapi tetep yah cuman beli Rp 1500!”, beberapa orang di sekitar dagangan si Mbok senyam senyum menahan tawa melihat si Penjual alias Mbok dan pelanggannya yang malang itu beradu mulut sama persis seperti anak kecil. Dan dengan perasaan dongkol, si pembeli pergi menahan marah!
Sebagai orang Madura yang telah lama tinggal di Jakarta, tentu saya juga ikut tertawa mendengar cerita itu, tertawa bukan karena pertengkaran itu, melainkan melihat pola si Mbok yang, aduuuuhhh, kayaknya sangat jarang ditemukan dimanapun, serta diekspresikan oleh sebagian besar pebisnis dalam melayani pelanggannya. Dia akan mengatakan apa saja yang ada dalam benaknya dengan tanpa editan dan diksi terlebih dahulu, sangat jujur dan apa adanya, tak perduli yang diajak bicara adalah pelanggan atau bukan!
Nah, dari kejadian tersebut, saya jadi berpikir, dari semua pebisnis, saya pikir mungkin hanya si Mbok saja yang akan bersikap seperti itu, dan dalam perspektif pebisnis, sikap si mbok itu bukan sikap yang baik dan yang ada hanya mengurangi pendapatan, bahkan bukan barang hal yang tak mungkin jika dikemudian hari, hanya bangkrut yang akan didapat.
Namun demikian, lepas dari itu, saya tetap menikmati semuanya, saya juga tidak akan kapok untuk membeli lagi berbungkus-bungkus masakan rap orap dari si Mbok, sebab meski sikap si Mbok seperti itu, sama persis dengan anak-anak yang suka berebut mainan serta ucapannya yang kadang menusuk hati, namun ada satu hal yang tidak pernah si Mbok lupakan, yakni kualitas masakannya yang tetap seperti dulu, yang nikmatnya kebangetan, sedapnya kedahsyatan, dan tentu saja Top markotop dan nyos markonyos. Hahah, lebbai.
Gimana, tertarik mencoba rap orapan si Mbok? datang saja ke Sumenep, trus masuk ke Pasar Anom di jalan Trunojoyo, kurang lebih 50 meter sebelah utara dari Bunderan Pasar Anom, distiulah si Mbok biasa menggelar makanannya untuk dijual. Jadi laper nih! Hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H