Penulis : Kelompok KKN 89
PECORO , KABUPATEN JEMBER -- Senin (1/8), mahasiswa KKN Kolaboratif kelompok 89 melakukan kunjungan ke salah satu rumah industri di Dusun Kandangan, Desa Pecoro, Kecamatan Rambipuji, Kabupaten Jember.
Kegiatan industri rumahan yang diproduksi oleh Bapak Holik dikenal dengan industri kacang otok yang mulai beroperasi dari tahun 2000an dengan berjualan keliling. Hingga akhirnya, mulai ada sales yang membantu menjual kacang otok di berbagai area yang ada di Jember sampai Lumajang walau hanya sebagian kecil. "Awalnya kan otoknya itu kan masih murah, kisaran 3 ribu per kilo, goreng sendiri, bungkusi sendiri, bawa keliling sendiri," jelas Bapak Holik pemilik usaha.
Semakin meningkatnya minat konsumen, akhirnya Bapak Holik memiliki rumah produksi yang sudah mulai berkembang. Yang awalnya menggoreng kacang otok di rumah sendiri, akhirnya memiliki rumah produksi. "Baru-baru ini saya pulang kesini  beli tanah di sini karena dulu sempat kebakar waktu istri goreng sendiri," tambahnya
Kenaikan harga minyak goreng yang terjadi beberapa waktu terakhir membuat industri kacang otok ini mengalami kesulitan, puncaknya terjadi pada bulan puasa kemarin.
"Iya, minyak gorengnya kan dijatah 1Â jerigen, sedangkan kebutuhan 40kg per harinya. Waktu itu menjadi 20kg itu diambil di Indomaret dengan jatah 2 liter," tuturnya. Akibatnya, dalam setiap kemasannya dikurangi isinya meskipun harganya masih tetap sama .
Pada proses pengemasannya menggunakan plastik manual dengan ukuran persatu rolnya tidak sama walau hanya 0,5 saja "Iya, gak sama. Kadang ujungnya aja yang tebel dan belakangnya tipis," jelasnya. Jadi,  kerugian ditanggung oleh pengolah.
Jika ada kacang otok yang melempem bisa dikembalikan dan digantikan yang baru dengan syarat kemasan belum rusak, misalnya dimakan tikus. Jika kemasan rusak atau dimakan tikus maka risiko tidak ditanggung oleh pengolah. Sisa produk yang sudah rusak akan di daur ulang dan di kemas kembali, sedangkan produk yang tidak bisa di daur ulang bisa dibuat pakan ternak, "Dulunya pernah didaur ulang, cuman kurang bagus, porsi kembaliannya tambah banyak, untuk size keduanya tambah banyak lagi, dan sisa produk ada yang ngambil untuk pakan ternak," ucapnya
Dibalik itu semua, ada beberapa kendala lain yang di hadapi, yaitu kurangnya alat yang digunakan, karena semuanya masih serba manual. Namun, pemilik industri kacang otok ini memiliki pemikiran bahwa menggunakan alat manual seperti peniris (saringan) itu masih layak. Selain itu, pengemasannya masih menggunakan lilin yang berharga sekitar Rp 500-an, walaupun pemilik sudah memiliki sealer.
Kesulitan lain yang masih dihadapi adalah ketika mengurus sertifikat izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) yang membutuhkan waktu cukup lama. Sehingga sampai saat ini, belum ada panggilan untuk produksi kacang otok ini.
"Sampai ke sana 3 kali. Pertama-tama katanya komputernya gak bisa ngirim rusak. Kedua kali sampai ketiga kalinya masih sama sampai ke Patrang surat Kesehatan disuruh ke sana, ya mumpung gratis," tambahnya.
Semoga ke depannya usaha ini bisa memperluas jangkauan pasar, tidak hanya di area Jember tapi di beberapa kota lainnya. Harapannya, seluruh kegiatan dari produksi sampai pengemasan bisa dilakukan secara otomatis menggunakan mesin yang sudah canggih, khususnya bagian pengemasan agar produk tidak mudah rusak. Kemudian, untuk proses kepengurusan izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) lekas diberi titik terang karena prosesnya yang membutuhkan waktu lama. Agar nantinya produksi kacang otok ini bisa diyakini oleh para konsumen tentang  standar keamanannya sesuai persyaratan yang telah ditentukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H