Mohon tunggu...
Savrina Sastrosuwignyo
Savrina Sastrosuwignyo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Her childhood dream was to become a farmer (a prosperous one, of course) and a chef. Now her life revolves around farm and fork. She works in the agricultural sector, five days a week, and spends her free time doing her hobbies (cooking, crafting, cycling, swimming, watching movies, reading, occasional writing), and trying out new things..\r\nSee her blogs:\r\n\r\nhttp://kingdomofkerotia.blogspot.com/\r\nhttp://dongengpangan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Pembuatan Paspor: Makin Murah & Makin Mudah

27 April 2012   06:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:03 21239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mendengar kata Kantor Imigrasi, barangkali tak sedikit dari kita yang mengkonotasikannya dengan ‘sarang koruptor’. Kantor Imigrasi memiliki citra yang sedemikian buruk. Bukan tanpa alasan, praktek calo, pungli, suap, dan sejenisnya memang marak di instansi tersebut selama bertahun-tahun.

Bagi saya, cerita mengenai bobroknya instansi ini sudah saya dengar sedari kecil, sejak awal tahun 90-an, dari percakapan orangtua saya, terutama curhat Ibu kepada Bapak (yang langsung beralih bahasa menjadi bahasa Inggris campur krama alus ketika saya ikut-ikut nimbrung dan terlalu banyak bertanya). Bekerja di kantor asing membuat Ibu saya, mau tak mau, harus mengakrabkan diri dengan instansi suram ini demi kemudahan paspor, visa KITAS, KITAP, dan ijin kerja para karyawan asingnya. Setiap berkunjung, Ibu atau stafnya harus berbekal amplop-amplop (yang tak mungkin kosong) untuk diberikan kepada para pegawai yang membantu pengurusan surat-surat ijin. Itu baru untuk pegawainya, untuk para pejabatnya lain lagi. Selain membawa bingkisan, ada prosedur tak tertulis untuk mengambil dokumen yang sudah jadi. Modusnya dengan membawa 2 stopmap serupa: yang di atas kosong, sementara stopmap di bawahnya berisi amplop tebal (ini juga tak mungkin berisi daun). Kedua stopmap  diserahkan kepada petugas. Tak lama kemudian, satu stopmap dikembalikan dengan isi dokumen-dokumen yang sudah jadi. Stopmap yang di bawah? Tentu saja ditinggal..

Tapi itu hanya satu cerita kelam dari masa lalu. Kantor Imigrasi kini sudah banyak berubah, dan itu tak hanya ditunjukkan dengan bangunannya yang makin bagus. Saya di sini ingin berbagi mengenai pengalaman membuat paspor.

[caption id="" align="alignnone" width="560" caption="Picture taken from http://www.duniacyber.com/"][/caption]

Pertama kali saya membuat paspor pada tahun 1998 untuk keperluan studi. Saya masih di bawah umur, jadi saya ditemani oleh Ibu. Barangkali karena sudah familiar dengan pegawai Imigrasi, proses pembuatan paspor pertama saya terbilang mudah.Semua dokumen persyaratan sudah disiapkan Ibu, yang saya tahu hanya foto, sidik jari, tanda tangan dan tanya jawab sebentar. Waktu itu kami datang sendiri (tanpa calo), namun akhirnya ‘dibantu’ oleh salah seorang kenalan Ibu. Memasukkan berkas dan uba rampe-nya hanya butuh waktu setengah hari dan paspor jadi dalam seminggu. Meski mudah, biayanya tak bisa dikatakan murah (sekitar Rp 700.000). Sudah membayar lebih, ternyata si ‘teman’ itu masih saja minta tambahan. Ibu saya hanya bilang, “Ini untuk keluarga, bukan kantor. Apa ya masih kurang to saya bantu njenengan bertahun-tahun.” Si ‘teman’ agaknya sungkan lalumundur teratur.

**

Saya baru memperpanjang paspor pada tahun 2005, sudah berstatus mahasiswi. Saat itu saya dan dua orang teman berkesempatan mengikuti sebuah workshop di Thailand. Karena sudah lewat 2 tahun sejak berakhirnya masa berlaku paspor pertama, saya mencari informasi terlebih dahulu apakah saya perlu membuat paspor baru atau cukup perpanjangan. Ternyata perpanjangan paspor itu sama saja dengan membuat baru, baik dari persyaratan dan biayanya. Hanya saja di halaman terakhir diberi tambahan keterangan “bekas pemegang paspor X123456”.

Persyaratan yang diminta adalah bukti domisili berupa KTP dan Kartu Keluarga; serta bukti identitas diri, yaitu akte kelahiran, ijazah terakhir, dan paspor lama. Karena keperluannya adalah untuk menghadiri workshop, maka surat undangan juga wajib dilampirkan.

Ada kejadian lucu ketika wawancara/ verifikasi. Bapak pewawancara berulangkali memperhatikan KTP dan wajah saya. Lalu dengan hati-hati bertanya, “Ini Mbak atau Mas?”

“Eh? Maaf, maksud Bapak?”

“Njenengan ini Mbak atau Mas?”

Saya bingung. “Ya mbak lah, Pak. Namanya saja Savrina.”

“Kok di KTP tertulis LAKI-LAKI.”

Apaaa!!!??? Bisa-bisanya saya tak memperhatikan detil KTP sendiri yang sudah saya pegang beberapa bulan! Dan bisa-bisanya petugas Kelurahan salah entry jenis kelamin saya!

Rupanya si Bapak pewawancara geli melihat saya kaget dan panik begitu. Sambil tertawa ia berkata, “Iyo, percaya wis kalo situ perempuan.. Tapi lain kali segera dibenarkan ya, kan sayang kalau menang undian terus dibatalkan karena data KTP meragukan.”

Fyuuhh..

**

Selain kejadian konyol itu, proses pembuatan paspor kali itu kurang menyenangkan. Pertama-tama formulir yang terlalu mahal. Saya lupa harga persisnya, tapi saya ingat bagian ngomel-ngomel bersama teman saya. Kemudian fotocopy dokumen kami tak sesuai kehendak petugas sehingga kami harus fotocopy lagi. Karena di Kantor Imigrasi tak ada fotocopy (entah memang belum ada atau sedang rusak), kami pun harus berpanas-panas berjalan jauh ke tempat fotocopy. Sekembalinya ke Kantor Imigrasi, katanya sudah terlalu siang dan kami harus datang di hari berikutnya. Keesokan harinya, kami datang lagi, menunggu lamaaa.. dan berulang kali diserobot calo (orang yang menggunakan jasa calo biasanya begitu datang langsung bisa foto dan wawancara). Dan paspor baru jadi 2 minggu kemudian!

Menyebalkan lagi ketika membayar. Di atas loket pembayaran tertera biaya resmi pembuatan paspor. Sudah kami hitung, jumlahnya sekitar Rp 300.000. Tapi begitu di depan loket, kami diminta Rp 450.000. Godverdomme!!

“Kok gak sesuai sama yang ditulis, Bu?” tanya kami.

“Ya memang segini Mbak, kalo gak mau ya nggak usah bikin.” jawab petugas dengan muka lempeng.

Rp 150.000 itu jumlah yang tak sedikit bagi mahasiswa saat itu. Teman saya menghela napas panjang. Saya tahu dia tengah menahan emosi. Tapi sebelum berangkat, Ibu sudah berpesan pada kami, “Jangan macem-macem ya. Kalau mereka nggak suka, bisa saja nanti di-blacklist. Sudahlah, overpriced dikit gapapa.. Daripada kalian batal berangkat.”

Hehe.. Ibu sangat paham bahwa kami pasti bakal protes dengan kecurangan yang sudah beliau kenal. Beliau khawatir jika ada masalah berkepanjangan seperti salah satu karyawan kantornya yang terancam dideportasi karena mempertanyakan masalah biaya resmi sehingga dokumen ijin tinggalnya dipersulit dan diterlantarkan hingga jatuh tempo.

**

Anyway, itu kejadian lama. Sistem pembuatan paspor kini sudah jauh lebih baik dibandingkan dahulu. Terbukti ketika saya memperpanjang paspor tahun lalu.

Mulanya saya ingin mencoba sistem online, namun ternyata masih ada kelemahannya. Proses aplikasi tidak bisa diteruskan jika semua slot unggah dokumen belum terisi. Padahal dokumen seperti surat nikah seharusnya tak wajib jika pemohon belum menikah. Entah itu hanya bug pada saat saya melakukan aplikasi atau memang sistem yang saat itu belum sempurna.

Akhirnya saya datang langsung ke Kantor Imigrasi. Persyaratannya masih sama: KTP, KK, Akte Kelahiran, Ijazah terakhir, paspor lama, surat nikah (bagi yang sudah menunaikannya), plus surat rekomendasi dari kantor. Dokumen persyaratan dimasukkan, diperiksa, menunggu 3-4 jam, lalu foto dan wawancara. Mulanya saya curiga, jangan-jangan ini karena saya memakai seragam sehingga dipermudah. Tapi setelah ngobrol dengan pemohon lain, ternyata mereka juga tak menanti terlalu lama kok..

Kata petugas, paspor siap dalam 3-4 hari. Namun karena saya memasukkan berkas hari Kamis maka terkena jeda akhir pekan sehingga paspor saya baru siap pada hari Selasa minggu depannya. Yah, ini sudah lebih cepat dibandingkan dengan pengalaman sebelumnya.. Dan biayanya? Cukup Rp 270.000, saudara-saudara!

Saya tak menutup mata bahwa praktek percaloan masih ada dalam pembuatan paspor. Selama ada yang membutuhkan, calo-calo itu akan tetap mengais rejeki dari sektor ini. Namun sebaiknya calo imigrasi tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan para pemohon paspor mandiri, misalnya dengan jadwal khusus untuk foto dan wawancara pengguna jasa calo setelah pukul 14.00. Selain itu, tentunya Kantor Imigrasi bisa meningkatkan kualitas pelayanannya dengan selalu update teknologi dan capacity building bagi petugasnya. Alangkah hebatnya jika pembuatan paspor di masa depan bisa selesai dalam 1-2 jam saja.

Petugas-petugas ‘lapar’ di era Ibu saya pastinya telah pensiun, dan semoga saja mereka tidak meninggalkan warisan berupa mentalitas ‘pengemis’ pada junior-juniornya.Sebagai warga, kita berhak menuntut pelayanan yang lebih cepat dan lebih baik. Namun kita juga memiliki tanggung jawab, yaitu untuk tertib mengikuti aturan yang berlaku, tidak memupuk praktek KKN sekecil apapun, dan melaporkannya pada yang berwenang (Ombudsman, polisi, atau pihak lain yang terkait) jika ada pelanggaran maupun penyalahgunaan. Buatlah paspor sendiri, tertib administrasi, tanpa calo dan tanpa suap untuk minta dipercepat. Celah untuk KKN bisa timbul ketika seorang pemohon menginginkan pelayanan yang lebih dibandingkan lainnya.

Sungguh, perubahan di Kantor Imigrasi adalah satu hal yang membuat saya optimis bahwa kita tengah menuju Indonesia yang lebih baik.

---

Post-Shubuh, in such an uncertain weather (and mood).

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun