Mohon tunggu...
Savitry Khairunnisa
Savitry Khairunnisa Mohon Tunggu... -

Saya seorang wanita, isteri dan ibu. Juga orang Indonesia yang telah merantau di berbagai belahan bumi Allah sejak tahun 2001, dan akan terus berkelana menuruti ketentuan Yang Maha Berkuasa. Saat ini saya bermukim di Norway. Semua keindahan yang melingkupi alam manusia: saya lihat, saya pikir, maka saya tuliskan...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Indonesia, Bukan Indon!

8 Juli 2010   10:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:00 715
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Status Facebook seorang kawan hari ini menyadarkan saya bahwa kebiasaan sebagian rakyat Malaysia menyebut negara dan masyarakat kita dengan sebutan "Indon" masih berlaku alias belum hilang. Kawan saya itu bercerita bahwa tamunya yang berasal dari Malaysia berani - beraninya menyebut "Indon" di depannya, dan saat itu mereka sedang berada di Jakarta. Berani betul! Kalau memang itu benar terjadi, saya katakan pada sang kawan, bahwa beruntunglah Pakcik itu tak dilempar sandal jepit! Mungkin memang tak ada orang lain yang mendengar? Atau kalaupun ada, mungkin mereka tidak peduli karena berpikiran itu sekedar sebutan dan tidak berarti apa - apa.

Saya pribadi berpendapat lain. Bagi saya, panggilan yang dialamatkan pada suatu bangsa dan rakyatnya menunjukkan jati diri dan kebanggaan mereka. Contohnya, orang - orang keturunan Pakistan di UK sangat tersinggung kalau mereka dipanggil dengan sebutan "Paki". Yang tidak tahu, mungkin itu sekedar singkatan. Tapi bagi masyarakat UK, penyebutan "Paki" bermakna derogatif alias merendahkan. Demikian pula halnya orang - orang kulit hitam di Amerika maupun di negara - negara barat lainnya, akan langsung naik darah bila mereka disebut "negro" atau "nigger" karena dinilai menyinggung sejarah dan nenek moyang mereka. Mereka lebih merasa terhormat dipanggil "black" atau "afro-...".

Saya pun tadinya tidak terlalu peduli dengan penyebutan "Indon" ini. Tapi setelah tau sejarahnya dan kemudian merasakan sendiri tinggal di Malaysia, barulah saya paham kenapa hal yang sepertinya remeh ini bisa menjadi serius.
Menurut sejarahnya, istilah "Indon" diciptakan oleh para jurnalis Malaysia sebagai senjata perang kata - kata di media mereka. Ini terjadi pada era Konfrontasi Indonesia - Malaysia tahun 1960-an. Ternyata istilah ini ampuh membangkitkan semangat nasionalisme mereka. Siapa sangka istilah tersebut berumur panjang dan masih tetap hidup hingga saat ini.

Selama 2.5 tahun tinggal di Kuala Lumpur, bukan sekali dua saya mengalami sendiri negara saya disebut "Indon". Mulai dari anak kecil, teman seumuran, para pedagang, sampai generasi tua. Dan setiap saat saya mendengar panggilan tersebut, kuping ini panas rasanya. Hatipun sebenarnya ikut panas. Tapi demi menjaga nama baik, saya selalu berusaha mengoreksi setiap penyebutan "Indon" dengan "bukan Indon, tapi Indonesia". Biasanya lawan bicara saya cuma tersenyum, ada juga yang minta maaf. Tapi tentu saja tidak semua orang Malaysia yang saya temui menyebut kita dengan panggilan "Indon". Saya paham, bahwa mereka menyebut demikian bukan selalu bermaksud menghina, tapi karena kebiasaan di lingkungannya juga. Tampaknya kesadaran rakyat Malaysia akan kesalahan makna istilah itu sudah semakin tinggi untuk menyebut negara Indonesia dengan sepatutnya. Peran para politisi negara tersebut dan organisasi persahabatan seperti Malindo juga cukup besar dalam pelurusan pemahaman ini.

Meskipun kita serumpun, sama - sama bekas negara jajahan, Malaysia bahkan adalah murid teladan Indonesia di awal berdirinya negara persemakmuran tersebut, namun hubungan kedua negara (diakui atau tidak) teramat sering mengalami pasang - surut, putus sambung, benci tapi rindu, cuek tapi butuh, seperti halnya hubungan dua manusia.

Selanjutnya, walaupun sangat tidak suka dengan istilah "Indon", saya pun tidak ingin menjuluki negara tetangga ini dengan "Malingsia"; terlepas dari kenyataan bahwa warisan kebudayaan kita berkali - kali dicaplok oleh mereka (untunglah batik dan gamelan sudah resmi diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia dan berasal dari Indonesia!).
Saya merasa kepuasan pribadi karena berhasil membalas "hinaan" mereka dengan menciptakan julukan buruk bagi Malaysia bukanlah tujuan saya.
Saya cuma ingin saya dan negara saya dipanggil dengan julukan yang pantas, agar kita saling menghargai karena kita memang saling membutuhkan. Itu saja.

Saya juga ingin menyinggung sedikit bahwa ternyata ada sebagian kecil masyarakat Indonesia yang menyebut NKRI dengan sebutan "Indon". Aneh, bukan? Mungkin maksudnya sebagai kekecewaan terhadap pemerintah atau apa lah. Tapi kalau kita sudah tidak menghargai diri sendiri, jangan harap orang lain akan menghargai kita.

Akhirnya, bulan lalu, ketika saya sekeluarga sedang jalan - jalan ke Bergen, salah satu kota wisata utama di Norway, kami bertemu sekumpulan orang berwajah Melayu. Ternyata mereka adalah rombongan turis Malaysia yang sedang pelesir keliling Scandinavia. Ketika salah satu dari mereka melihat saya, langsung si Pakcik itu bertanya, "Malaysia atau Indon?".
Alamak... Capek deh...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun