"Perempuan harus bisa Mrantasi" begitu yang selalu mamaku ulang-ulang dari sejak aku kecil sampai dengan dewasa. Mama hanya menjelaskan sedikit tentang arti Mrantasi (bahasa Jawa) yaitu Perempuan harus bisa melakukan banyak hal juga wajib menjaga kesehatan jiwa dan raga.
Aku belum terlalu paham dan memaknai arti Mrantasi itu namun Mama sepanjang perjalanan hidup dari aku kecil sampai dengan dewasa memberikan contoh apa itu arti dan makna sesungguhnya dari Mrantasi.
Mamaku kehilangan ibu kandungnya sejak kecil, kemudian Eyang Kakungku menikah lagi dan memiliki 6 anak dari istri barunya. Sehingga ada 10 anak dan mamaku nomer 2.
Dari kecil mama sudah diajar dengan disiplin tinggi karena ayahnya adalah seorang kepala polisi. Saat mulai remaja, Mama ikut kakaknya yang sudah menikah supaya bisa bersekolah di Jogjakarta. Kehidupan yang dijalani tidak mudah karena harus membantu kakak perempuannya mengasuh anak-anaknya, sedang suami sang kakak hanyalah seorang tukang jahit.Â
Mamaku belajar banyak dari sejak kecil untuk urusan rumah tangga dan ketrampilan. Ia jago memasak, menjahit, mengelola keuangan, tangguh dan sangat teliti dalam menjaga kebersihan.
Seusai SMA, Mama pergi ke Jakarta untuk tinggal bersama dengan Buliknya dan mulai bekerja di sebuah Bank Milik Negara.
Sambil bekerja kantoran, Mama juga membantu mengasuh putera dan puteri sang Bulik. Aku sih membayangkannya saja  sudah merasa lelah sekali. Tapi mama saat bercerita denganku tidak pernah sekalipun ia mengeluhkan tentang rasa capai malah sebaliknya ia bercerita dengan semangat hal-hal yang lucu dan seru.
Karena di tahun 60an masih banyak perusahaan Belanda, Mamaku belajar bahasa Belanda dan sangat lancar berbicaranya.
Mama kemudian pindah kerja ke Stanvac, sebuah perusahaan minyak bumi yang berkantor pusat di Belanda. Dan mulai hidup mandiri.
Kemudian Mama bertemu Papa seorang pilot muda TNI-AU, mereka menikah dan memiliki 5 orang anak. Termasuk aku. Â Mama tetap bekerja namun kemudian memutuskan berhenti bekerja karena ada anak-anak yang musti diurus karena Papa sering terbang dan pergi perang (saat itu sekitar tahun 60an Indonesia banyak terlibat perang baik di dalam negeri maupun luar negeri sperti perebutan Irian Barat, perang TimTim, Perang seroja, Pemberontakan Permesta, dll).
Mama dirumah menjelma menjadi Panglima yang harus menjadi bapak juga bagi anak-anaknya. Papa seringkali bertugas di Indonesia Timur dan berbulan-bulan tidak pulang. Jadi Mama lah yang harus melakukan tugas papa.
Mamaku selain mengurus dan menjaga kami, beliau juga berjualan panci, gelas dan banyak barang lsinnya. Dengan sepeda dia berkeliling menawarkan juga menagih utang ke para pembeli. Mama juga menjahit bajunya sendiri dan anak-anak, memastikan kami mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah, membetulkan genteng bocor, mengganti lampu rusak, mengawasi tukang dan sambil memasak makanan yang bergizi untuk kami juga membuat kue. Â Masih aktif di kegiatan PIA yang banyak banget kegiatannya. Mama seperti punya seratus tangan untuk bekerja.
Dahulu kalau ada acara PIA, Mama musti memakai kebaya orange dan kain. Mama melakukannya sendiri dengan cepat, menggelung rambut, menyasak dan memakai konde, kemudian memakai kebaya, kain yang cantik dan rapih kemudian memakai kemben yang panjangnya meteran. Mama sendiri yang dengan canggih mewiron (mewiron atau mewiru adalah cara melipat kain dibagian depan sehingga saat dipakai nanti akan cantik dan pas liris polanya) kain-kain batik tulisnya. Dengan telaten memasikan lipatannya betul dan diberikan pewangi alami sehingga menimbulkan bau yang khas.
Sebagai perempuan, Mama begitu luwes dengan segala ketrampilan kewanitaannya namun juga tangguh dan tidak cengeng.
Ada cerita yang aku ingat saat masih kecil, Papa akan berangkat ikut dalam perang Timor Timur. Karena kami tinggal di kompleks Halim dan di kompleks itu semua penerbang maka mereka ditugaskan ikut operasi yang sama. Pergi berperang.
Sore itu sebuah bus besar mulai menjemput dari rumah di paling ujung. Mama sudah memandikan kami semua dan memakaikan baju yang bagus sambil menemani Papa yang sebentar lagi akan dijemput oleh Bis Besar berwarna biru tua itu.Â
Dari ujung jalan sudah terdengar tangisan dan jeritan dari istri dan anak yang ditinggal ayahnya memasuki bis itu. Mama begitu tenang dan teguh.. sampai kemudian bis itu berhenti di depan rumah kami, Papa bersiap naik dan sebelumnya mencium dan memeluk kami semua termasuk Mama yang dipeluknya erat dan dicium keningnya. Mama tetap tersenyum mengantar kekasih hatinya berperang. Tidak kulihat satupun tetes mata yang jatuh.
Setelah bis itu berlalu, Mama mendatangi dan menghibur ibu-ibu yang lain, mereka diajak ke rumah dan Mama memasak bihun goreng dalam wajan yang besar sekali. Kemudian mengajak makan malam bersama beserta anak-anaknya.
Mama tidak menangis di depan kami tapi aku tahu mama adalah perempuan yang kuat sekali berdoanya.
Mungkin di malam hari saat kami terlelap Mama menangis dalam doa-doanya agar Tuhan menjaga Papa dan teman-temannya yang sedang berperang di tempat yang jauh.
Mamaku memang perempuan cerdas dan kuat yang mengajarkan arti hidup supaya tidak cengeng dan pantang menyerah.
Kemudian hari Papaku terkena stroke saat kami masih SMA dan SMP. Mamaku sambil menemani dan melayani Papa yang sakit juga mengelola keuangan dengan ketat sehingga kami semua anaknya bisa bersekolah lulus sarjana dan saat Papa meninggal, kami tidak memiliki hutang sepeser pun.
Mamaku memang luar biasa walaupun dia terkesan galak tapi sesungguhnya dia pahlawan bagi kami.
Dialah yang mengajarkan padaku untuk menjadi perempuan Mrantasi. Perempuan tangguh yang walaupun kadang situasi dan kondisi membuat jatuh tapi kita akan bangkit lagi untuk lebih baik dan makin baik. Tidak perlu termakan kata orang lain. Hidup ini musti dijalani sendiri.
Menjadi manusia yang rendah hati dalam menjalani hidup dengan tidak lupa berpegangan pada Sang Maha Kasih.
#Ladiesianatangguh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H