Pada masa kini, warga keturunan etnis Tionghoa sudah bisa menikmati kehidupan yang damai dan tentram. Hak-haknya sebagai manusia yang seutuhnya pun sudah mulai terpenuhi. Hal ini berbanding terbalik pada masa Orde Baru, dimana pada masa tersebut, pemerintah seringkali membatasi gerak gerik warga etnis Tionghoa.
Jika ditarik undur kebelakang, diskiriminasi warga etnis Tionghoa ini bermulai pada zaman orde lama. Dimana pada era itu warga keturunan memiliki status kewarganegaraan yang tidak jelas. Pada saat itu pemerintahan RRC menganggap warga Tionghoa yang ada di Indonesia masih menjadi warga negaranya. Pemerintahan Indonesia pun belum bisa memberikan kepastian secara hukum mengenai masalah tersebut.
Pada akhirnya untuk menyelesaikan masalah tersebut, pemerintah membentuk Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) pada tahun 1954. Tugas dari Baperki ini adalah untuk memperjuangkan hak dan nasib warga Tionghoa Indonesia yang menginginkan pengakuan kelompok etnisnya oleh pemerintah dan negara Indonesia tanpa adanya kewajiban peleburan budaya atau asimilasi total. Permintaan dan gagasan dari Baperki pun ternyata diterima oleh Presiden Soekarno.
Namun masalah ini pun tidak kunjung selesai, sehingga pemerintah Indonesia membuat kesepakatan dengan pemerintahan RRC. Kesepakatan ini tertuang dalam dalam PP No. 20 Tahun 1959. Peraturan tersebut berisi tentang warga etnis Tionghoa harus memiih menjadi WNI atau tetap menjadi warga RRC.
Namun masalah ini tidak kunjung selesai dikarenakan terjadi perpecahan di antara warga etnis Tionghoa, di mana ada warga etnis Tionghoa yang tidak setuju dengan program asimilasi  Baperki dan adapula yang setuju dengan program tersebut. Kelompok yang pro dengan program Baperki adalah pihak yang dekat dengan Soekarno dan pemerintah RRC dan lebih dicenderungkan sebagai pihak pro komunis . Sedangkan kelompok yang kontra dengan Baperki yang dekat dengan Angkatan Darat dan pihak anti komunis.
Masih banyak diskriminasi etnis Tionghoa pada era Orde Lama, salah satunya pelarangan warga asing untuk berjualan keluar wilayah Ibukota Swatantra Tingkat I dan II juga wilayah karesidenan. Saat itu rezim Soekarno juga pernah menerapkan politik asli yang bertujuan memperkecil kekuatan ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia. Kebijakan ini berisi peraturan yang memberikan hak-hak istimewa kepada pengusaha pribumi dan perlindungan terhadap perusahaan-perusahaan nasional yang dimiliki pribumi.Â
Diskriminasi rakyat etnis Tionghoa pun masih berlanjut pada masa Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru kerap melakukan asimilasi budaya yang cukup ekstrim. Seperti tidak diperbolehkannya warga etnis Tionghoa untuk beribadah di depan umum dan harus melakukannya secara personal. Tidak boleh mempertontonkan perayaan hari besar rakyat etnis Tionghoa. Yang paling ekstrim ialah rakyat etnis Tionghoa tidak diperboehkan memakai nama yang mempunyai unsur China dan harus memakai nama dengan unsur Indonesia yang kental. Maka dari itu kita sering mendapatkan warga etnis Tionghoa yang mempunyai nama seperti Wijaya, Hariyanto, Djoko, dan lain-lain, hal itu merupakan hasil warisan diskriminasi pemerintahan Orde Baru terhadap warga Etnis Tionghoa.
Sumber:
Manungkalit, Nurhaini. "AKTIVITAS PEREKONOMIAN ETNIS TIONGHOA DI SIAK SRI INDRAPURA PADA MASA ORDE BARU (1966-1998)." Jurnal Dinamika Sosial Budaya 25.1 (2023): 1-9.
Herwiratno, Muhammad. "Kelenteng: benteng terakhir dan titik awal perkembangan kebudayaan Tionghoa di Indonesia." Lingua Cultura 1.1 (2007): 78-86.