Sudah menjadi hal yang “lumrah” di Indonesia bahwa peraturan apapun mulai dari Undang- Undang hingga Perda seringnya hanya menjadi hitam diatas putih alias hanya jadi buku, bukan pedoman. Melihat kejadian sehari-hari kita akan menemui banyak sekali ragam dan macam pelanggaran dilakukan masyarakat, baik kalangan terdidik maupun tidak terdidik. Pendek kata hampir semua lini ada pelanggaran.
Mungkin anda dan saya sangat geram ketika ada pengemudi menyerobot lampu merah, kesal rasanya melihat kejadian tersebut, apalagi Pak Polisi tenang-tenang saja, alias tidak ada reaksi apa-apa ketika melihatnya.
Kadang kita berkeluh kesah dalam hati, yang melanggar kok tidak diapa-apain yah?Lalu buat apa saya terus-terusan taat aturan?. . . .
Hmm… pemikiran yang lumrah tapi hingga sekarang untuk merumuskan jawabannya sungguh rumit sekali.
Di salah satu TV swasta suatu ketika dibahas secara blak-blakan terjadi pungutan liar oleh oknum DLLAJ, serta oknum Dishub pada jembatan timbang jalur Pantura.
Pertanyaannya apa pentingnya membahas hal seperti itu?
Wow sangat penting menurut saya, pertama kita bisa mengetahui tingkat pelanggaran yang terjadi dan perlunya perbaikan pada instansi yang bersangkutan mengenai banyak aspek. Kedua oknum tersebut jangan hanya menjadi bintang di layar kaca, sangat perlu untuk ditindak sesuai peraturan yang berlaku apabila memang benar ditemukan pelanggaran, apalagi nama dan wajah mereka sangat jelas. Ketiga tugas dan tanggung jawab yang mereka emban tidak terlaksana dengan maksimal sehingga jalan mudah rusak akibat permaianan jembatan timbang, truk kelebihan muatan, membebani jalan raya dan akhirnya meningkatkan risiko kerusakan jalan. Keempat rakyat menderita dan tercekik akibat pungutan liar di sana-sini oleh oknum tidak bertanggung jawab, alhasil ekonomi biaya tinggi selalu terjadi di Indonesia karena faktor semacam ini.
Saya jadi berpikir mengenai beberapa hal:
1. Standard Operating Procedure (SOP) disemua pelayanan publik harus segera disusun dan diterapkan terutama untuk Pemda dan Kementerian yang belum melaksanakan reformasi. Sehingga dengan SOP sangat mudah untuk menindak pelanggaran. Selama ini banyak ketidakjelasan informasi publik mengenai SOP ini, terkesan ditutup-tutupi. Padahal SOP itu termasuk dalam informasi publik sesuai UU KIP.
2. Pemerintah perlu membuat satu website termasuk call center nasional terintegrasi untuk menangani pengaduan masyarakat mengenai semua jenis pelayanan publik seperti yang sudah dilakukan di Pemprov Jogja dan hasilnya sangat memuaskan. Bahkan pegawai yang dikenakan sanksi harus dipublikasikan nama, NIP, dan instansi serta kota tempat dia bekerja, sehingga budaya malu dan efek jera bisa ditumbuhkan dengan baik, agar masyarakat tidak “repot” harus mencari-cari informasi kesana-sini dan supaya tidak ada lagi zaman “ditutup-tutupi”. Akhirnya kita bisa melihat statistik pegawai yang dihukum di setiap instansi termasuk catatan kepegawaian mereka kalau perlu.
3. Terintegrasinya catatan warga negara seperti di Amerika, nomor Jamkesmas, SIM, KTP, NPWP, Asuransi dan lain-lain dapat terekam dalam satu rangakaian nomor. Sehingga negara memiliki catatan mengenai semua tindak-tanduk warganya mulai dari catatan kesehatan, kriminal, laporan pajaknya, identitasnya termasuk anggota keluarganya, bekerja dimana dan hal lain terkait.
Negara tidak perlu repot membuat sistem setiap kementerian sendiri-sendiri, masyarakat punya banyak kartu, dan tiap kartu punya prosedur sendiri-sendiri pula, ahhhhh…. Tak praktis dan membingungkan warga rasanya.
Single Identity Number (SIN) perlu segera direalisasikan daripada mengurusi pembangunan gedung megah DPR atau renovasi perumahan Dewan ratusan milyar, tampaknya Proyek masa depan SIN jauh lebih menguntungkan negara terlebih lagi warga negara, sebagai umat yang seringkali dikorbankan untuk kepentingan tertentu, sudah saatnya warga Indonesia bangga akan kualitas bangsanya dalam me-manage warganya.
Sudah menjadi hal yang “lumrah” di Indonesia bahwa peraturan apapun mulai dari Undang- Undang hingga Perda seringnya hanya menjadi hitam diatas putih alias hanya jadi buku, bukan pedoman. Melihat kejadian sehari-hari kita akan menemui banyak sekali ragam dan macam pelanggaran dilakukan masyarakat, baik kalangan terdidik maupun tidak terdidik. Pendek kata hampir semua lini ada pelanggaran.
Mungkin anda dan saya sangat geram ketika ada pengemudi menyerobot lampu merah, kesal rasanya melihat kejadian tersebut, apalagi Pak Polisi tenang-tenang saja, alias tidak ada reaksi apa-apa ketika melihatnya.
Kadang kita berkeluh kesah dalam hati, yang melanggar kok tidak diapa-apain yah?Lalu buat apa saya terus-terusan taat aturan?. . . .
Hmm… pemikiran yang lumrah tapi hingga sekarang untuk merumuskan jawabannya sungguh rumit sekali.
Di salah satu TV swasta suatu ketika dibahas secara blak-blakan terjadi pungutan liar oleh oknum DLLAJ, serta oknum Dishub pada jembatan timbang jalur Pantura.
Pertanyaannya apa pentingnya membahas hal seperti itu?
Wow sangat penting menurut saya, pertama kita bisa mengetahui tingkat pelanggaran yang terjadi dan perlunya perbaikan pada instansi yang bersangkutan mengenai banyak aspek. Kedua oknum tersebut jangan hanya menjadi bintang di layar kaca, sangat perlu untuk ditindak sesuai peraturan yang berlaku apabila memang benar ditemukan pelanggaran, apalagi nama dan wajah mereka sangat jelas. Ketiga tugas dan tanggung jawab yang mereka emban tidak terlaksana dengan maksimal sehingga jalan mudah rusak akibat permaianan jembatan timbang, truk kelebihan muatan, membebani jalan raya dan akhirnya meningkatkan risiko kerusakan jalan. Keempat rakyat menderita dan tercekik akibat pungutan liar di sana-sini oleh oknum tidak bertanggung jawab, alhasil ekonomi biaya tinggi selalu terjadi di Indonesia karena faktor semacam ini.
Saya jadi berpikir mengenai beberapa hal:
1. Standard Operating Procedure (SOP) disemua pelayanan publik harus segera disusun dan diterapkan terutama untuk Pemda dan Kementerian yang belum melaksanakan reformasi. Sehingga dengan SOP sangat mudah untuk menindak pelanggaran. Selama ini banyak ketidakjelasan informasi publik mengenai SOP ini, terkesan ditutup-tutupi. Padahal SOP itu termasuk dalam informasi publik sesuai UU KIP.
2. Pemerintah perlu membuat satu website termasuk call center nasional terintegrasi untuk menangani pengaduan masyarakat mengenai semua jenis pelayanan publik seperti yang sudah dilakukan di Pemprov Jogja dan hasilnya sangat memuaskan. Bahkan pegawai yang dikenakan sanksi harus dipublikasikan nama, NIP, dan instansi serta kota tempat dia bekerja, sehingga budaya malu dan efek jera bisa ditumbuhkan dengan baik, agar masyarakat tidak “repot” harus mencari-cari informasi kesana-sini dan supaya tidak ada lagi zaman “ditutup-tutupi”. Akhirnya kita bisa melihat statistik pegawai yang dihukum di setiap instansi termasuk catatan kepegawaian mereka kalau perlu.
3. Terintegrasinya catatan warga negara seperti di Amerika, nomor Jamkesmas, SIM, KTP, NPWP, Asuransi dan lain-lain dapat terekam dalam satu rangakaian nomor. Sehingga negara memiliki catatan mengenai semua tindak-tanduk warganya mulai dari catatan kesehatan, kriminal, laporan pajaknya, identitasnya termasuk anggota keluarganya, bekerja dimana dan hal lain terkait.
Negara tidak perlu repot membuat sistem setiap kementerian sendiri-sendiri, masyarakat punya banyak kartu, dan tiap kartu punya prosedur sendiri-sendiri pula, ahhhhh…. Tak praktis dan membingungkan warga rasanya.
Single Identity Number (SIN) perlu segera direalisasikan daripada mengurusi pembangunan gedung megah DPR atau renovasi perumahan Dewan ratusan milyar, tampaknya Proyek masa depan SIN jauh lebih menguntungkan negara terlebih lagi warga negara, sebagai umat yang seringkali dikorbankan untuk kepentingan tertentu, sudah saatnya warga Indonesia bangga akan kualitas bangsanya dalam me-manage warganya. Semoga. . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H