Mohon tunggu...
Iwan Pitik
Iwan Pitik Mohon Tunggu... -

nulis itu harus sesuai fakta yang ada!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Profesionalitas Putusan Dan Ketegaran Hakim Sarpin

19 Maret 2015   14:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:25 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

( Iwan Pitik : Saya berkomitmen untuk memberikan masukan, informasi, bahan kajian, pendapat dari berbagai macam sumber yang tujuannya tidak menghakimi, menyudutkan, menyalahkan siapa/pihak tertentu. Tetapi lebih pada harapan adanya suatu pemahaman yang tidak emosional, tendesius maupun yang mengarah pada pembentukan opini yang bertujuan membusukan pihak lain. Sehingga mata hati semakin terbuka dan lebih bijak dalam melihat berbagai persoalan bangsa ini.)



PROFESIONALITAS PUTUSAN DAN KETEGARAN HAKIM SARPIN

Tekanan publik yang luar biasa terhadap suatu perkara yang belum disidangkan, normalnya memberikan tekanan psikologis yang kuat kepada siapapun hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan mengadili perkarayang dimohonkan Komjen BG.  Kebetulan tugas tersebut disematkan dipundak Hakim Sarpin, seorang hakim senior yang sudah terbukti beberapa kali memberikan vonis yang berlawanan dengan ekspektasi, isu dan tekanan publik, termasuk tekanan media, aktivis anti korupsi dan pakar hukum, dengan hanya menyandarkan dan berpegang teguh pada keyakinannya sebagai seorang hakim profesional dalam memutus suatu perkara,tanpa terpengaruh intervensi apapun dan siapapun.


Keteguhan dan ketenangan Hakim Sarpin juga terlihat manakala dalam proses pemeriksaan saksi-saksi, termasuk saksi ahli berkenan mendengarkan dengan seksama, meluruskan dan mengarahkan pertanyaan dan jawaban dengan sabar dan hati-hatidari kedua belah pihak agar tidak keluar konteks.  Hakim Sarpin tetap cermat mengajukan berbagai pertanyaan dan menggali jawaban yang dapat digunakan dalam membangun konstruksi hukum yang tepat dan cermat, meskipun di bawah tekanan tayangan seluruh media secara live dan pengawasan KY secara langsung.

Komentar dan tekanan dari berbagai pihak tidak mampu memalingkan obyektivitas dan keberanian hakim Sarpin dalam memberikan putusan seadil-adilnya, demi tegaknya keadilan substansial yang dicita-citakan.  Hakim Sarpin telah secara cermat menggunakan kewenangan yang diberikan pasal 5 ayat (1) dan pasal 10 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.  Di tengah kontroversi tentang berbagai pendapat yang menekankan limitasi kewenangan pra peradilan untuk memeriksa dan mengadili penetapan tersangka. Hakim Sarpin secara tegar dan bertanggung jawab meyakini putusannya, bahwa penetapan tersangka dapat diperiksa dan diadili di lembaga pra peradilan setelah memeriksa dan membuktikan dengan keyakinannya bahwa terdapat kesewenang-wenangan penegak hukum/penyidik KPK dengan memeriksa perkara di luar kewenangannya dan ketidak bersediaan KPK menghadirkan alat bukti yang cukup sebagaimana dipersyaratkan KUHAP.

Dimana KPK dan beberapa pakar Hukum menyatakan pra peradilan tidak berwenang memeriksa pokok perkara.  Seharusnya dipahami bahwa di dunia ini,  tidak jarang terjadi irisan dan persinggungan yang menyebabkan batasan menjadi kabur, yang terpenting adalah pemeriksaan pokok perkara bukan ditujukan untuk mengadili pokok perkara, tetapi ditujukan untuk membuktikan ada tidaknya kesewenang-wenangan penegak hukum dalam penetapan tersangka.

Putusan Hakim Sarpin tentu relevan karena hakim telah nyata dan mampu membuktikan adanya kesewenang-wenangan penyidik, sehingga hakim menggunakan kewenangan yang diberikan pasal 10 ayat 1 UU No 48 Tahun 2009: “Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Hal yang sama juga sebenarnya sudah biasa dilakukan dan biasa kita saksikan sehari-hari di jalan raya, misalnya petugas Kepolisian membuka jalur alternatif yang sudah ada rambu pelarangannya (sengaja untuk dilanggar) karena melihat fakta terjadi kecelakaan atau kemacetan di depan. Kesengajaan ini didasarkan pada kewenangan yang dimiliki setiap pejabat Kepolisian untuk melakukan diskresi sesuai dengan pasal 18 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Kedua kasus tersebut sama dan dapat dianalogikan satu sama lain, karena keduanya memiliki kewenangan yang diberikan UU. Hakim diberikan kewenangan oleh UU No 48 Tahun 2009, Polisi diberikan kewenangan oleh UUNo2Tahun2002.

Pada putusan Hakim Sarpin di PN Jakarta Selatan bahkan tidak se-ekstrim diskresi polisi di jalan raya, karena polisi di jalan raya nyata melanggar aturan tanpa tafsir sedikitpun, sedangkan Hakim Sarpin berangkat dari semangat dan tujuan pra peradilan itu sendiri (tafsirteleologis) yakni “setiap kesewenang-wenangan penegak hukum dapat diadili, dan untuk memberikan keadilan terhadap kesewenang-wenangan oleh penegak hukum, yang paling dekat adalah pra peradilan.

Pada kondisi normal polisi tidak melakukan diskresi yang diberikan pasal 18 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002, demikian juga hakim tentu saja tidak akan menggunakan kewenangan pasal 10 ayat 1 UU No 48 Tahun 2009, misalnya dalam perkara yang tidak ditemukan pelanggaran kesewenang-wenangan penyidik pada sidang pra peradilan, sebagaimana pra peradilan di PN Purwokerto. Kuasa hukum tersangka, Djoko Susanto yang mengajukan permohonan pra peradian di PN Purwokerto memberikan keterangan bahwa tersangka, Mukti Ali bukan pejabat negara jika merujuk ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang diperbarui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001″.


Namun apabila merujukpasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor:“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar
rupiah)”.Pasal 2 UU No 31 Tahun 1999  tentang Tipikor tersebut menegaskan bahwa pelaku tindak pidana korupsi bukan hanya pejabatnegara, tetapi setiap orang/pihak yang merugikan keuangan dan perekonomian negara.  Sehingga dapat disimpulkan bahwa permohonan pemohon tidak terbukti, tidak ada dan tidak dapat dibuktikan kesewenang-wenangan penyidik Polri, sebagaimana kesewenang-wenangan yang dilakukan penyidik KPK terhadap penetapan tersangka Komjen BG. Apabila tidak ada kesewenang-wenangan penegak hukum, bagaimana mungkin Hakim berkenan menggunakan kewenangan yang diberikan pasal 10 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan menerima permohonan pemohon di PN Purwokerto?, sebagaimana Polri juga tidak akan menggunakan kewenangan diskresi  dengan menganjurkan pemakai jalan melanggar rambu lalu lintas pada saat arus lalu lintas berjalan normal tanpa gangguan?

Bahkan Hakim Sarpin secara jeli  dan cermat mampu memberikan putusan yang tepat, bahwa Komjen BG pada kasus yang diperkarakan KPK tidak dalam posisi sebagai penegak hukum.  KUHAP dalam berbagai pasalmengatur tata cara penegakan hukum pidana oleh penegak hukum antara lain, penyelidik, penyidik, penuntut, hakim, pemasyarakatan, termasuk advokat.

Sedangkan Pasal 12 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 yang menyebutkan “Jabatan penyidik dan penyidik pembantu adalah jabatan fungsional yang pejabatnya diangkat dengan Keputusan Kapolri” dan yang melakukan penyelidikan (penyelidk) sesuai dengan pasal 50 Perkap No 14Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana adalah unsur reskrim, unsur fungsional kepolisian lainnya dan bantuan teknis kepolisian pada saat dibentuk tim penyelidik.

Jadi, sebelum ada tim penyelidik, polisi non penyidik mengemban tugas, fungsi dan wewenang sebagai aparat keamanan non penegak hukum/non penyelidik, kecuali reskrim dan petugas polantas yang diatur secara khusus dalam UU No 22 Tahun 2009.

Itu artinya konstruksi KUHAP tentang penyidik/penyelidik dengan Pasal 12 ayat 1 UU No 2 Tahun 2002 dan pasal 50 Perkap No 14 Tahun 2012 menegaskan bahwa setiap anggota Polri diberi hak oleh KUHAP menjadi penegak hukum (penyidik/penyelidik) tetapi harus melalui penugasan pimpinan Polri, tanpa penugasan dan penunjukan pimpinan,anggota Polri adalah aparat keamanan non penyidik/non penegak hukum. Jadi dengan demikian, tidak semua polisi adalah penegak hukum pada setiap waktu/setiap saat.

Pandangan Prof. Refli Harun di sebuah acara ILC di TVOne yang mewacanakan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyangkut definisi Polisi sebagai penegak hukum, mencerminkan beliau tidak menyandarkan pandangannya pada praktek teknis kepolisian yang sesungguhnya, dimana Polri tidakhanya mengemban fungsi penegakan hukum, tetapi juga kamtibmas dan linyomyanmas, sehingga fungsi teknis kepolisian dibagi menjadi Binamitra, Samapta, Lantas, Intel, Reskrim dan bantuan teknis kepolisian lainnya untuk mengorganisasikan pelaksanaan ketiga fungsi yang dimaksudkan pada pasal 13 UU No 2 tahun2002.  Prof. Refli Harun juga tidak menyadari bahwa berdasarkan fungsi teknis kepolisian tersebut, konstruksi UU No 2 Tahun 2002 disusun dengan tidak menyebutkan setiap polisi adalah penegak hukum, sebagaimana UU tentang Kejaksaan, UU tentang Kehakiman dan UU tentang Pemasyarakatan, termasuk UU tentang Advokat yang menyebut secara jelas bahwa jaksa, hakim, petugas Lapas dan termasuk advokat adalah penegak hukum karena tugasnya memang hanya pada ranah penegakan hukum,  yang sangat berbeda dengan polisi, dimana penegakan hukum hanyalah salah
satu atau sebagian dari tugas dan fungsi kepolisian untuk mewujudkan keamanan dalam negeri, sebagaimana disebutkan dalam pertimbangan UU No2 tahun 2002 dan pasal 5 UU No 2 Tahun 2002.

Hakim Sarpin juga menegaskan ketegarannya ketika Komisi Yudisial berniat mengusut kemungkinan adanya pelanggaran kode etik Hakim. Seyogyanya, Komisi Yudisial menahan diri terlibat dalam pembangunan opini tentang putusan Hakim Sarpin, bahkan membuat opini tanpa didasari peraturan perundang-undangan dengan mengatakan tidak mengijinkan tafsir pada pra peradilan, padahal jelas Hakim diberikan kewenangan pasal 5 ayat (1) dan pasal10 ayat (1) UU No 48 tahun 2009 dan Komisi Yudisial juga membuat opini yang keluar dari KUHAP dengan menyatakan sebaiknya Peninjauan Kembali (PK) terhadap putusan hakim Sarpin diterima dan diperiksa dulu karena pengadilan diwajibkan memeriksa dan mengadili setiap perkara meskipun tidak ada hukumnya atau hukumnya tidak jelas (Pasal 10 ayat 1 UU No 48 Tahun 2009), padahal Peninjauan Kembali (PK)  terhadap putusan pra peradilan hukumnya telah jelas diatur dalam UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang bersifat final dan mengikat (binding), sedangkan memeriksa dan mengadili penetapan tersangka pada pra peradilan jelas tidak ada hukumnya atau paling tidak hukumnya tidak jelas, sehingga memenuhi ketentuan pasal 10 ayat (1) UU No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Kewenangan putusan Hakim yang independen dan mandiri secara jelas dijamin oleh UU No 48 tahun 2009 dan merupakan produk negara milik publik yang secara etika tidak layak untuk diperdebatkan, Udex Set Lex Laguens(hakim ialah hukum yang berbicara).

Bagi  yang merasa tidak puas dengan putusan Hakim, dapat menempuh jalur hukum,  bukan justru melakukan penghujatan yang jelas-jelas mengandung unsur tindak pidana. Hakim Sarpin memiliki hak hukum mengajukan somasi terbuka kepada sejumlah pihak yang telah melakukan penghinaan, pencemaran nama baikdan fitnah.  Apabila tidak bersedia meminta maaf di depan umum, maka hakim  Sarpin dapat melakukan upaya hukum sebagai bentuk pembelajaran kepada masyarakat untuk memberikan pendidikan hukum, membangun kesadaran hukum masyarakat dan agar masyarakat tidak mudah menyebarkan wacana menyesatkan, termasuk beberapa pihak yang sengaja membentuk dan menggiring opini publik.


Keteguhan Hakim Sarpin dengan keyakinan pofesionalitas putusannya seharusnya menjadi contoh baik, bagaimana hakim bekerja secara independen dan mandiri sebagaimana dijamin UU bahkan ketika di bawah tekanan publik dan politik yang sedemikian kuat dan besar,serta di
tengah arus besar pandangan awam bahkan dari pakar hukum dan akademisi yang berseberangan, termasuk yang menyebut bahwa seluruh polisi adalah penegak hukum, tanpa mendasarkan pada kekhasan praktek teknis kepolisian dan peraturan perundang-undangan yang menaunginya.

BJP.  Dr. Bambang Usadi, MM

*Artikel opini ini telah dikirimkan ke beberapa media sosial dan surat kabar

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun