Mohon tunggu...
Iwan Pitik
Iwan Pitik Mohon Tunggu... -

nulis itu harus sesuai fakta yang ada!!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Reposisi? Ungkapan Emosional dan Tidak Mendasar

4 Mei 2015   17:21 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:23 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PENGAMAT (SELALU BENAR)

" Kuman diseberang lautan tampak jelas, gajah dipelupuk mata tidak kelihatan "

Mengkoreksi/menasehati lebih mudah karena hanya melihat, memberi komentar-komentar atas apa yang terjadi ditambah bumbu-bumbu yang menyudutkan dan menghakimi. Para pengamat yang tidak mampu memberikan solusi sebenarnya hanya sekelas komentator, tidak jarang malah memperkeruh suasana dan mungkin justru menambah permasalahan baru. Standar ganda bagi para pengamat memang tidak ada, asal bersni komentar ekstrim dan menghakimi maka "simsalabim" jadilah ia sebagai pengamat dan mendeklarasikan dirinya ahli atas apa yang diamatinya.

Menyalahkan, mencari kesalahan adalah hal yang paling mudah karena akan menjadi semacam keluhan-keluhan saja. Anehnya justru digunakan media sebagai stempel/cap legitimasi atas sesuatu yang terjadi. Semua yang sudah di-judge dengan statement pengamat menjadi kebenaran yang dijual dan diedarkan kepada masyarakat.

Opini publik menjadi tujuan dan pembenar atas sesuatu kejadian walaupun belum tentu benar. Pengamat bukanlah tukang adu domba, atau menjual pendapat-pendapat tanpa solusi. Pengamat semestinya orang yang ahli, makna ahli adalah mempunyai reputasi, keilmuan, pengalaman dan penelitian serta jelas mempunyai karya-karya yang merupakan terobosan baru atau solusi atas yang dia amati atau komentari. Bukan lagi mantan teman-teman pejabat atau karena banyak kenalan pada institusi tertentu langsung mengangkat dirinya sebagai pengamat atau dengan bangga diangkat dan dilabel sebagai pengamat oleh media (lahan untuk cari makan dan publisitas).

Pengamat seharusnya mempunyai etika dan moralitas atas apa yang diamatinya karena dirinya wajib memberikan solusi yang berdasarkan atas keilmuan dan penelitiannya. Pengamat yang sebatas menyalah-nyalahkan dan hanya mencari kesalahan dengan solusi akal-akalan semestinya MALU karena dirinys tidak lebih dari seorang PROVOKATOR yang mencari makan dengan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan / mungkin dirinya memang menjadi pelaku bisnis kepanikan. Sayangnya institusi yang diamati diam saja dan tidak menuntut atau komplain setidak-tidaknya atas statement-statement para pengamat jadi-jadian tersebut dan kemudian menjadi pembenaran.

Institusi tersebut hanya diam, tapi nggrundel didalam.

Kejadian atas peristiwa yang terjadi belakang ini menjadi lahan yang menarik bagi para pengamat untuk mencari makan dan menambah publisitas dirinya. Ada yang menyatakan dirinya pengamat hukum, pengamat teroris, pengamat korupsi, pengamat kepolisian,pengamat intelijen,pengamat pertahanan, pengamat militer dll yang seakan mereka sudah lebih tahu dari A sampai Z tentang persoalan / peristiwa yang terjadi.

Sebut saja peristiwa eksekusi mati terpidana narkoba dan penolakan grasi oleh presiden Jokowi, muncul pengamat yang seolah sudah tahu benar. Peristiwa POLRI dan KPK, muncul pengamat yang sebetulnya tidak "nyambung". Persoalan hukum, tapi pengamatnya seorang ahli komunikasi, ahli politik dan mungkin ahli militer sehingga anekdot "jaka sembung naik ojek alais gak nyambung jek!" Menjadi pas untuk menanggapinya. Tetapi, kembali karena issue yang dibahas adalah empiris dan semakin vokal pengamat menjelekan suatu insittusi semakin senang pula media untuk menghadirkannya dan meminta pendapatnya.

Kasus penembakan di lapas cebongan oleh oknum kopassus, tidak ada satupun pengamat yang menguraikannya, bahkan komnas HAM, Kontras pun seakan membisu, karena takut. Kasus bentrok antara tni ad dengan brimob di batam karena masalah BBM, pengamat yang dihadirkan / diminta pendapatnya adalah pengamat yang kontra / tidak suka dengan polisi dan sudah bisa dipastikan pasti pendapatnya yang jelek adalah polisi. Padahal pada kasus tersebut terlihat jelas siapa yang menyerbu ?

Disetiap persoalan-persoalan yang terjadi, para pengamat (yang terbatas keilmuannya) selalu memberikan solusi dangkal. POLRI - KPK.... Berarti Polri harus direposisi dibawah kementrian, POLRI - TNI.....polri harus dibawah kementerian. Mengapa tidak pernah ada pengamat yang memberikan pendapatnya tentang KPK - POLRI, berarti KPK harus ditinjau ulang tentang kewenangannya dan mungkin dibubarkan karena ternyata pemborosan uang negara (berapa kasus yang ditangani dan berapa uang negara yang harus dikeluarkan untuk KPK selama 1tahun ? Kasus sedikit, uang yang dikeluarkan sangat besar). Atau mengapa tidak pernah ada pernyataan dari para pengamat tentang bentrok TNI - POLRI, berarti TNI harus tunduk pada PERADILAN UMUM dan kembali ke barak, jaga perbatasan-perbatasan negara dengan negara lain bukan justru masuk kota masuk dalam otoritas sipil ? Atau pendapat, tidak perlu ada jabatan panglima TNI karena presiden merupakan panglima tertinggi TNI dan Para kepala staf angkatan berada dibawah menteri pertahanan sehingga menteri pertahanan bertanggung jawab dalam bidang pembinaan dan operasional. Jabatan menteri pertahanan adalah = sipil.

Apa ada pengamat yang menyampaikan hal seperti itu ..???? Sudah bisa ditebak, jawabnya adalah TIDAK ADA. Kenapa ? Bisa karena issue itu tidak sexy dan mungkin juga takut diintimidasi.

Sedikit ulasan saya (dengan kemampuan terbatas) tentang POLRI dan TNI. Ada yang mengatakan dengan pisahnya polri dari tni, banyak kewenangan tni (pada masa lalu - orba) diambil oleh polri. Pendapat saya, polri tidak pernah mengambil kewenangan itu, rakyatlah yang memberikan kewenangan itu paska keluarnya tap MPR no. 6 dan 7 kemudian munculnya uu tentang polri dan uu tni. Rakyat sadar, bahwa pada masa lalu polisi merupakan bagian dari militer dan militer masuk pada sendi-sendi sipil adalah SALAH.  Keadaan saat ini sudah benar, hanya yang belum (reformasi TNI ???) adalah masuknya atau tunduknya TNI pada peradilan umum. Di negara demokratis manapun di dunia ini....militer itu tunduk pada PERADILAN UMUM dan lepas dari sendi-sendi otoritas sipil hanya dinegara kita sepertinya, deh.

Pasca pisahnya Polri dengan TNI, ada juga yang mengatakan Polri harus berada dibawah kementerian supaya jadi sipil dan sama dengan TNI yang berada dibawah kementerian pertahanan yang sipil. Menurut saya pendapat ini sangat emosional dan kekanak-kanakan, mengapa ? Begitu Polri pisah dari TNI otomatis sudah SIPIL, buktinya tunduk pada peradilan umum. Jadi tidak usah ragu polisi itu sipil atau militer, dan tidak akan polisi yang sipil itu mengambil atau melakukan kegiatan-kegiatan otoritas militer.  Dalam sejarah negara-negara di dunia pun...tidak pernah ada sejarah / pengalaman Polisi melakukan KUDETA. Bersenjata, IYA....berseragam...IYA,...baris berbaris juga IYA. Tapi tetap polisi itu institusi sipil (coba cek dinegara-negara lain, hanya Indonesia pada masa lalu polisi = militer). Kejaksaan juga bersenjata dan berseragam serta baris berbaris apakah juga harus dibawah kementerian supaya sipil ?? Atau dianggap militer ??? Sepertinya romantisme sejarah selama kurang lebih 32 tahun bergabung / integrasi yang lebih dominan.

Jadi, apakah bila terjadi persoalan, langsung justifikasi bubarkan, reposisi atau justru perkuat, perbaiki aspek mana yang kurang??? Terus bila dianggap presiden belum optimal, maka harus diganti ??? Atau negara ini belum optimal memberikan kesejahteraan rakyat apakah kita harus minta Belanda untuk jajah lagi ? Atau minta Inggris untuk menjajah kita ???

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun