Mohon tunggu...
Siti Savana
Siti Savana Mohon Tunggu... -

Belajar tidak peduli...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kekuatan Cinta

14 Maret 2012   09:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:03 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

‘Jangan memaksakan takdir’, kata Sava lembut. Aku mengerti maksudmu, tapi kita ditakdirkan memang untuk memaksa, bukan? , jawab Langit dengan tenang yang membuat Sava perlu meminta energi dari kekuatan maha dahsyat di luar sana agar bisa mengambil yang terbaik bagi dirinya sendiri. Sudah saatnya, pikir Savana.

Kata-kata Langit yangselalu panjang seperti ular yang melingkar-lingkar kadang membuat Sava merasa seperti racun yang meresap memasuki batok kepalanya, namun herannya Sava selalu datang kepada putra sahabat ayahnya ini. Suasana selalu sempurna berhasil diciptakan lelaki itu dengan petikan harpa kebahagiaan dan kekesalan berganti-ganti menyelinap di sela-sela hati bersama lelaki itu, Sava memandangnya sejenak,,aghh dengan lelaki inikah dia akan menghabiskan seluruh hidupnya?, Sava kembali merasa kepalanya berputar namun tetap berusaha tenang.

Peningset dari orang tua Langit masih belum diterima oleh orang tua Sava meski juga belum menolak hantaran itu sebelum ada ketegasan dari Sava kepada sang ayah tercinta. Namun Sava kembali berpikir bagaimana bisa hidup dengan orang yang sudah terlanjur dianggap seperti saudara kandungnya sendiri. Tapi ayah ohh ayah yang meminta dengan tulus ingin kami umrah bersama jika Sava mau menerima lamaran untuk menjadi keluarga Langit juga dengan tulus.

Upss nun jauh di luar sana ada cinta seperti cinta rajawali yang berapi-api serat penuh gairah menunggu sambil melanglang buana di atas awan dengan udara yang bersih. Aku harus segera terbang, pikir Savana. Apapunyang terjadi yang pasti aku ingin bebas meraih cintaku, yang pasti aku mencintainya, aroma sedap bunga mawar dan hangat air suam-suam kuku yang akan mengaliri pembuluh darahnya. Lelaki di atas awan yang ditakdirkan menemaninya sampai waktu menumbuhkan keriput pada serat-serat kulitnya, Sava berharap rasa bahagia tanpa restu yang menantinya di luar sana itu abadi.

Saat ini rasanya Sava ingin mati saja, tapi masih merasa belum pantas mati untuk menggapai mimpi-mimpi indahnya, mengapa sekarang jadi sulit berpikir dan merasa seperti begitu banyak monster di sekelilingnya, kemana Sava harus pergi? Bayangan rasa kecewa dan perasaan hancur seolah menjadi bayangan tubuhnya. Sava sudah berjuang dengan segala cara meraih kemenangan yang di cita-citakan oleh almarhum ayahnya dulu, namun kesedihan tak kunjung berakhir setelah begitu banyak kehilangan orang-orang yang disayanginya, Sava telah kehilangan segalanya sementara begitu banyak yang membutuhkan dan menuntut Sava selalu harus tampil prima di depan siapa saja seperti tak bercela dan semakin susah untuk menjadi dirinya sendiri.

Sava sudah tidak yakin lagi pada kemampuannya sendiri yang dulu selalu membuat cahaya cinta bergelora pada wajah-wajah dan orang-orang sekelilingnya, bayangan yang tampak saat inidi depannya seperti penuh kegagalan dan kehancuran. Sava menghapus air mata dan yang mengalir lagi di pipinya untuk yang kesekian kali dan melirik sahabatnya Yana dan Adit yang menemaninya menenangkan hati ke Bali. Yana sudah bercerai dari suaminya dan sekarang sedang berjuang sendiri untuk melanjutkan sekolahnya dengan tinggal dan bekerja di luar negeri. Kemunafikan demi kemunafikan dan penghinaan yang diterima Yana dari suaminya dulu dengan menebar fitnah untuk menutupi kebobrokannya sendiri termasuk memfitnah Yana dengan mengarang cerita kepada Sava, bahwa Yana sudah terlibat dengan komunitas elite penganut paham tertentu yang membuat Yana tegas dan tidak mau bertahan lagi mendampingi sang suami sampai nenek dan keriput makin memancarkan inner beautynya dikelilingi anak dan cucu tercinta nanti.

Yana memang perempuan kuat tidak seperti dirinya, Sava adalah perempuan lemah meski kelihatan sangat cantik dan tegar dengan senyum cemerlang yang mampu menebar cinta. Sava selalu ingat kata-kata seseorang yang begitu melekat di instuisi batinnya ‘jika kau lelah, hembuskan nafasmu di balik dedaunan dan ilalang, itu yang akan menjadi manna jiwamu, karena doa-doaku selalu ada untukmu, Sava’. Tiba-tiba jantung Sava berdetak kencang saat Adit menyodorkan lime squashdan memandangnya persis seperti cara seorang Banderas dulu pernah memandangnya seperti pernah diceritakan Sava kepada Langit, duluu..satu persatu, patah-patah. Apakah pendulumnya masih kembali berayun dan masih belum mampu melupakan semua masa lalu dan cerita hidupnya yang seperti fiksi. Bali hanyalah tempat sementara waktu untuk mengumpulkan energi baru untuk melanjutkan hidupnya, mungkin Sava perlu mengistirahatkan lembaran hatinya untuk beberapa waktu untuk kembali keperaduan waktu demi semua kisah cintanya yang abadi.

Bali, Awal Maret 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun