Mohon tunggu...
Siti Savana
Siti Savana Mohon Tunggu... -

Belajar tidak peduli...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dear Kekasih

13 September 2011   04:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:00 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

‘'Dear Savana'' "Kuimpikan berdua denganmu dengan impian magis, dengan pikiran jernih dan tidak ada yang dipaksakan.Penting atau tidak kini kau harus kembali memilih dan jangan sok suci, Savana! Karena kau adalah perempuan pilihan terakhir yang kucinta selama bertahun-tahun dengan cinta abadi tanpa pernah terungkap, aku mencintaimu karena kau selalu tahu apa yang kau inginkan. Lalu mengapa ketika saat semakin larut, kau semakin tidak mengenal dirimu lagi, Sava?! "Dear Langit'" "Pesan terakhir berkarakter yang kau kau tulis dengan penuh getar dan kelembutan sebelum berpulang selamanya untuk kau wasiatkan kepadaku. membuat aku kembali memenggal puisi puisimu dalam diam kepadanya, Langit! Betapa kau mampu memendam cinta begitu dalam tanpa pernah ada rasa ingin memiliki, begitu ingin Sava bahagia, tulus dan suci, inginkan Sava kembali menjadi bidadari kecilmu berkarakter kuat yang selalu tahu pilihan dan tujuan hidupnya, semakin hari kau semakin mengagumi dan mensyukuri cinta Sava kepada Antonio, Langit. Saat Savamu yang pemberani menjadi buta, lemah dan bodoh karena cintanya dan tidak tahu lagi siapa dirinya sampai akhirnya kau pergi untuk selamanya dan Savamu kehilangan pegangan, Langit!! "Dear Antonio" "Semua yang hidup adalah seperti rumput dan segala kemuliaan adalah seperti bunga rumput, rumput akan menjadi kering dan bunga rumput gugur" Kembali kuhitung hari hariku dalam detik yang masih mengusik, kutata ulang hati dan jiwa, meneliti diri, mengusap pelan pengaruhmu dengan merebak ilusi. Jika kata-kata singkatmu sekuat semangatmu itulah kekuatan jiwa yang kubutuhkan, Antonio. Kau lihat senyum di bibirku mekar seperti strawberri merah yang merekah, mataku sebiru angkasa dan lautan, namun kulitku pucat sepucat bulu domba merana dan mataku merah menyala bak bara api yang menyala nyala. Ambigu luar biasa, bukan?! Namun aku tidak ingin kehilangan semangat dan energi untuk berkarya meski waktu semakin berlari mengepak jiwa kita tolong, artikan setiap detak makna tulisanku tembangku tak selalu pilu, bukan?! masih kurasa hembusan sayangmu [caption id="attachment_130004" align="alignnone" width="300" caption="Testimoni: Nyanyian lembut mengenang kasih nurani di ujung rindu.. "][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun