Mohon tunggu...
Sava DefinaHermanto
Sava DefinaHermanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Tertarik dalam bidang psikologi

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Peduli Kesehatan Mental: Merangkul Penderita Skizofrenia

2 Desember 2023   10:53 Diperbarui: 2 Desember 2023   18:59 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Penderita Skizofrenia (pexels/Cátia Matos)

Skizofrenia adalah penyakit gangguan otak yang menyebabkan gejala khas tertentu, pengalaman dan perilaku yang tidak normal [1] Gejala skizofrenia memengaruhi bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku. Hilangnya gejala tidak berarti penyakit juga hilang.

Prevalensi skizofrenia di Indonesia pada tahun 2013 adalah 1,7 per 1000 penduduk dan diperkirakan sekitar 1 juta penduduk Indonesia mengalami skizofrenia. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 mengatakan, bahwa prevalensi skizofrenia di Kalimantan Barat adalah 0,7 per 1000 penduduk.

Penderita skizofrenia seringkali mendapat stigma negatif dari masyarakat, tidak terkecuali dari keluarganya atau bahkan banyak keluarga yang belum bisa menerima bahwa salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia. Menurut Heinz Katschnig MD, stereotipe umum mengenai skizofrenia ditandai dengan kegilaan, kepribadian ganda, perilaku yang tidak terduga dan berbahaya, serta pandangan mengenai penderita skizofrenia memiliki penyakit otak yang parah.[2]

Menurut DSM-5, kriteria orang yang mengalami skizofrenia adalah orang yang mengalami halusinasi, delusi, bicara dan perilaku yang tidak teratur, dan adanya gejala negatif seperti berkurangnya kemampuan mengekspresikan emosi. Tanda-tanda gangguan skizofrenia berlangsung selama setidaknya 6 bulan periode atau setidaknya 1 bulan secara terus-menerus. Penyebab dari skizofrenia punya banyak faktor, penelitian juga belum menemukan faktor utama dari skizofrenia, tetapi beberapa faktor yang bisa menyebabkan terjadinya skizofrenia antara lain, faktor genetik, faktor lingkungan, dan gangguan yang berasal dari sistem saraf di otak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan kimia dalam otak dan kelainan struktural dan fungsional otak.[3]

Pentingnya pengetahuan tentang perawatan skizofrenia oleh lingkungan keluarga dan masyarakat agar dapat membantu kesembuhan penderita dan penderita dapat merasa lebih diterima sebagaimana masyarakat pada umumnya. Pentingnya pengetahuan masyarakat tentang skizofrenia tidak hanya menciptakan pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi ini, tetapi juga mengurangi stigmatisasi yang sering melekat pada orang yang mengidapnya.[4]

Menyediakan informasi yang akurat dan edukasi tentang kesehatan mental, kita dapat mengurangi stigma, meningkatkan empati, dan membuka pintu bagi individu untuk mencari bantuan yang diperlukan. Oleh karena itu, dilakukannya psikosedukasi yang bertujuan untuk menambah dan memberikan pengetahuan kepada khalayak umum serta usaha untuk mencegah meluasnya gangguan mental pada sebuah kelompok. Sehingga, masyarakat memahami sepenuhnya apa yang terjadi dengan orang skizofrenia secara ilmiah, peduli, dan paham apa yang harus dilakukan kepada orang dengan gangguan skizofrenia. Penderita skizofrenia sejatinya sangat memerlukan dukungan dan kepedulian lingkungan sekitar karena gangguan yang dideritanya bisa mengalami relaps yang berulang dan berdampak buruk bagi kesejahteraan penderita jika lingkungan dan keluarganya tidak mendukung serta peduli pada penderita.

Dengan pengetahuan yang lebih luas, masyarakat dapat memberikan dukungan yang lebih efektif, memfasilitasi akses ke perawatan yang tepat, dan membangun lingkungan yang inklusif bagi individu penderita skizofrenia. Melalui pemahaman kolektif, kita dapat membantu menciptakan masyarakat yang lebih peduli dan mendukung kehidupan mereka. Komunitas dapat berperan dalam mengurangi stigma  terkait skizofrenia dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang gangguan ini. Komunitas juga dapat menyelenggarakan program pendidikan untuk memberi informasi yang benar seputar skizofrenia, berkontribusi dengan menciptakan lingkungan yang mendukung.

SUMBER REFERENSI :

  • Jablensky A. The diagnostic concept of schizophrenia: its history, evolution, and future prospects. Dialogues Clin Neurosci. 2010;12(3):271--287
  • Nolen-Hoeksema, S. (2020). Abnormal psychology (Eight). McGraw Hill. 
  • Fatin, N., Ketut, N., Diniari, S., Ayu, A., & Wahyuni, S. (n.d.). GAMBARAN STIGMA TERHADAP PENDERITA SKIZOFRENIA PADA MAHASISWA UNIVERSITAS UDAYANA. JULI, 9(7), 2020. https://doi.org/10.24843.MU.2020.V9.i7.P14
  • Suryani. S, & Hapsari . V. Hubungan Pengetahuan dan Sikap tentang Penyakit Skizofrenia terhadap Stigma Masyarakat pada Penderita Skizofrenia di Desa Kersamanah Kecamatan Kersamanah Kabupaten Garut. Jurnal Medika Cendikia, Vol 05. No.01, Juni 2018. Hal 37-38.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun