Selepas tahun 2005, pemerintah telah mencanangkan “Hari Peduli Sampah Nasional” yang diperingati setiap tanggal 21 Februari. Peringatan ini dimaksudkan untuk mengenang peristiwa longsor yang terjadi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Cimahi. Peristiwa longsor tersebut diawali oleh gas metan (CH4) dalam kadar tinggi yang terperangkap dalam timbunan sampah (anaerob) dan mendesak keluar, kemudian bersinggungan dengan udara hingga timbul ledakan. Ledakan inilah yang menyebabkan timbunan sampah yang sedari awal telah menggunung di TPA Leuwigajah pun mengalami longsor, berakibat pada terkuburnya rumah dan lahan pertanian warga sekitar. Tragedi ini memakan korban lebih dari 100 orang, menjadikannya memegang rekor korban terbanyak akibat longsoran sampah di Indonesia, sekaligus kedua di dunia.
Terhitung sejak tahun 2014, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menelurkan visi Indonesia Bebas Sampah 2020. Definisi bebas sampah yang dimaksud bukanlah tidak ada lagi sampah yang dihasilkan oleh masyarakat/industri (yang mana mustahil), melainkan target agar sampah yang dihasilkan oleh masyarakat/industri mampu diolah dan dikelola sehingga tidak berakhir di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) atau TPA. Pencapaian visi Indonesia Bebas Sampah 2020 ini bertumpu pada konsep 3R: Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle (daur ulang).
Mendengar visi ini, maka lumrah bagi kita untuk bertanya: realistis atau utopis?
Pada tahun 2010, penulis berkesempatan mengunjungi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang untuk melihat sejauh mana proses pengolahan sampah di TPST terbesar di Indonesia tersebut. Impresi pertama penulis adalah ‘luar biasa banyak sampah yang dihasilkan oleh penduduk Jakarta dan sekitarnya!’ Kalau dikira-kira, mungkin tinggi dari timbulan sampah di Bantar Gebang bisa mencapai lebih dari 5 lantai. Belum lagi luas TPST ini yang mencapai 100an hektar. Silahkan dibayangkan bagi yang belum pernah berkunjung :)
[caption caption="Gambar 1. Para tenaga kerja pemulung di TPST Bantar Gebang (sumber: artikel Viva News)"][/caption]Timbulan sampah di 1 TPST saja sudah sebegitu banyak. Belum ditambah sampah-sampah ‘nyasar’ yang menggenangi permukaan sungai dan laut, menyumbat saluran air di perumahan, terpojok di sudut bangunan, maupun yang terbaring sendirian di tengah jalan raya. Tak bisa dipungkiri bahwa seiring dengan meningkatnya laju pertumbuhan penduduk, di tahun-tahun mendatang Indonesia dipastikan akan mengalami krisis kesehatan dan sanitasi apabila permasalahan ini tidak segera ditangani.
Sejatinya, pencanangan visi Indonesia Bebas Sampah 2020 seolah menjadi angin segar untuk bersama-sama ‘berlari’ dalam mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Namun, visi ini tidak akan pernah berhasil tanpa implementasi riil dari para stakeholder terkait: pemerintah, industri, organisasi masyarakat, dan masyarakat secara individual.
Kembali kepada pertanyaan, “realistis atau utopis?”
Penulis secara pribadi bisa mengatakan target ini realistis apabila mengacu pada basis visi: penerapan konsep 3R. Konsep ini sesungguhnya amat mudah dilaksanakan mengingat modal utama yang dibutuhkan cukuplah sekedar kemauan. Terutama dalam skala rumah tangga, bahkan tidak diperlukan infrastruktur tertentu untuk menunjang keberhasilan penerapan konsep ini.
Di sisi lain, visi Indonesia Bebas Sampah 2020 akan menjadi realistis JIKA DAN HANYA JIKA seluruh pelaku/stakeholder memasang komitmen penuh mengingat rentang waktu yang tersisa hanya 4 tahun. Suatu aspek yang mudah sekali disangsikan. Berkaca pada upaya untuk menelurkan kebijakan kantong plastik berbayar saja perlu pendekatan selama kurang lebih 5 tahun, pun diawali secara bottom up yakni inisiatif organisasi-organisasi masyarakat.
2020. Empat tahun. Mampukah kita semua 'berlari'?
Apakah pemerintah siap dengan penyediaan infrastruktur dan pengawasan yang memadai, bahkan untuk sekedar menyediakan infrastruktur yang paling sederhana: tempat sampah dan truk angkut terpilah? Apakah industri siap menerapkan produksi bersih ketimbang end-pipe system?