T
iba saatnya hari yang ditunggu-tunggu. Hari pertama memasuki gerbang berlabel Universitas. Sebuah label yang banyak orang menyebutnya sebagai lokomotif pemikaran dan gerakan. Pendatang baru pun tampak segar dan bersemangat. Pagi-pagi sudah tiba disana. Tapi, keluguan mereka masih kentara. Mereka mengira gerbang itu adalah gerbang sekolah yang baru ditinggalkannya, yang biasanya berhura-hura dengan canda tawa, melebur dalam kegembiraan. Bertanya-tanya perihal aktivitas semalam. Tapi bukan, tempat itu adalah wadah penggodokan yang belum pernah terbayangkan olehmu sebelumnya.
Sudah kuduga. Tawa mereka melesat jauh ketika salah satu petugas Ospek, yang sekarang diganti Opak.“ Cepat! Waktumu telat!”. Suaranya melengking bak orang meluapkan stress berat diatas gunung terjal nan sepi. Mereka pun berlarian bak dikejar harimau yang berhari-hari tak bertemu mangsanya.
Pikirku saat itu, “senior goblok juga, masak waktu dibilang telat, bukan kah yang telat itu orangnya”. Mungkin itu hanya kesalahan ungkapan yang tak disengaja ditengah kepanikan menggiring tawanannya. Aku terdiam, tak mempersoalkan bahasa. Tapi, entah kenapa bahasa kurang mendapat perhatian. Seringkali detailnya bahasa tidak jadi soal. Apalagi bahasa ungkapan. Mungkin telah melalui sejarah yang cukup panjang. Ah, apa peduliku tentang bahasa.
Pagi itu benar-benar menyisakan gelap. Dinginnya masih tegas dikulitku. Angin segar pun berhulu hilir kian mesrah, menyapa dedauanan sekeliling cakrawala. Cakrawalaku terbatas jarak pandang mata kepala. Mungkin itu keterbatasan naluriah. Hanya orang tertentu yang mampu mengungkap cakrawala seutuhnya. Tapi, sampai saat ini, aku belum pernah menjumpai orang yang seperti itu. Jika seandaainya bertemu dengannya, aku pasti mencium tangangnya, karena bagiku orang itu adalah manifestasi dari cahaya Tuhan, seperti yang kulihat saat ini, yaitu cahaya pagi yang mulai merangkak pada terang.
Sisa dingin itu seakan mau mengantarkanku ke tempat tidur semula. Selimut terbayang jelas di sudut mataku. Kantuk mengayun. Tapi, Kantuk yang berkecamuk itu tiba-tiba tergilas ketika senior menandungkan magaphone dengan volume keras. Benda itu sebagai media perpanjangan mulut, agar terlampau jauh saat menyuarakanya. Takutnya bukan kepalang, bak serdadu tentara belanda mengepung rumahku. Bingungnya tak terbesitkan. Kantuk pun lenyap seketika bagaikan tsunami baru saja menghampiri.
Tanpa pikir panjang, aku menempatkan posisi barisan yang telah rapi sejak beberapa menit lalu. Aku bingung dimana kelompok barisanku. Agar tidak ketahuan, aku menyelinap di barisan terdekat. Tapi lagi-lagi bertemu apes. Kartu namaku tertinggal. Sudah kuduga, panitia segera menghampiriku. Mukanya semrawut. Terlihat jelas semalam habis bergadang. Matanya melotot. Hidungnya bak banteng dicaci kurcaci. Manis pahitnya, aku jawab dengan nada melas segudang ocehannya. Dari ocehan tempat asal hingga bangsal. Mulutnya pun berbusa-busa. ”awas mas hujan lokal!” ejekku dalam hati. Aku belum punya nyali mengejeknya terang-terangan, padahal aku ingin mengejeknya dengan keras biar semua peserta menertawakannya.
Setelah baradu hantam ocehan seadanya, aku dijemput panitia lain untuk segera menghadap di depan peserta. Malu tak karuan waktu itu. Sedikit memalingkan muka kebelakang, tegur pun berdatangan. Dengan terpaksa, aku memberanikan diri menatap peserta, teman-teman baruku. Yang kulihat adalah bariasan rapi berjajar tiga-tiga. Deretan panjang melebar ke arah timur. Entah berapa jumlahnya. Berbaju serba putih,dengan mahkota kopyah dari bahan kertas di kepala mereka. Ada yang lucu, mereka memainkan musikala pengusir burung di sawah, yaitu alat musik yang berasal dari botol berisi kelereng sepuluh. Jika dimainkan, suaranya menusuk telinga. Berisiknya bukan kepalang. Di tempatku, itu biasanya dibuat mengusir burung, makanya aku menyebutnya demikian. Aku pun menertawakan mereka. Sebenarnya aku pun disuruh membawa alat musik itu, tapi aku malu dibuatnya. Lebih baik tidak membawa daripada ditertawakan di jalan.
Tertawaku kembali terhenti. Terkaget sejenak saat megaphone ditujukan padaku. Sejenak aku bingung apa maksudnya. Ternyata, aku mendapat hukuman akibat lupa membawa kartu identitas, yang biasa disebut co-card, dan pengusir burung itu. Lagi-lagi ketemu celaka. Seorang menghampiriku sembari menyuruh, ” kamu orasi di depan teman-temanmu sebagai hukumannya!”.
”Apa, mas?” tanyaku sembari menegaskan apa yang baru saja dikatakanya.
”Kamu harus orasi!” jawabnya agak kesal. Mulutku terhenti seolah sedang memikirkan apa yang hendak kukatakan didepan mereka. Mereka mengira aku sedang merangkai-rangkai kata-kata layaknya sang orator ulung. Tapi, diamku bukan itu sebenarnya. Aku justru masih bertanya-tanya perihal kata ”orasi”. Memang sebelumnya pernah mendengar kata itu, tapi belum pernah mengerti prakteknya.
”Orasi itu apa, mas?” tanyaku gemeteran sembari menahan malu bukan main. Tapi kejujuran membawa keselamatan.
”Hmm... masak belum tahu?”
”Belum, mas”
”Wah payah.. orasi itu kayak ceramah itu lho. Ceramah-ceramah yang biasanya dipakai oleh orang-orang yang demo, ” jawabnya sambil tersenyum aneh. Mungkin aneh melihatku yang begitu lugu. Maklum, di pedalaman desa jarang dijumpai kata-kata kaum terpelajar. Atau mungkin sengaja disembunyikan agar tidak mudah ikut-ikutan berdemo. Aku tidak tahu-menahu soal itu. Yang jelas aku saat ini sedang gemeteran dalam kebingungan.
”Oh, iya mas. Aku tahu,” aku mulai teringat ketika melihat liputan tragedi berdarah saat menumbangkan rezim orde baru. Mungkin semua tahu liputan itu. Sungguh menggetirkan rasanya.
Belum berhenti disini. Aku harus memikirkan apa yang hendak kukatakan. Kalimat-kalimat orasi mungkin bukan seperti ceramah agama. Kalau ceramah agama mungkin sedikit banyak mengerti, berkat tokoh agama di desa yang saat ini usianya hampir menuju ajal. Tapi, semagat ceramahnya masih berapi-api. Apalagi menyoal tentang keimanan.
Aku menghela nafas panjang. Kaki bergoyang ria. Megaphone yang kupegang pun ikut bergerak. Tanganku gemeteran. Sungguh seperti baru saja gempa bumi. Keringat dingin pun bercucuran. Terbesit dalam pikiran ungkapan saat itu yang muncul.
”Selamat pagi ibu pertiwi!”
”Kita sematkan semangat berkorban demi menjagamu, wahai ibu pertiwi!”
Kata-kataku terhenti disitu. Gugup telah menghapus memoriku. Kata-kataku terbata-bata. Dan segera aku serahkan kembali megapone-nya pada panitia. Lega rasanya aku dipersilahkan kembali ke barisan semula.
Giliran panitia yang berkoar-koar di depan peserta. Entah apa yang dikatakan, aku tidak terlalu memperhatikannya. Ada beberapa kalimat yang bisa kutangkap, namun masih banyak yang terlewat. Mungkin kalimatnya diucapkan dengan suara yang terlalu keras, apalagi megaphone-nya dibeli secara bekas, kualitasnya jelek pula. Sehingga suaranya agak cempreng.
Ada sedikit kalimat yang jelas kudengar yang meluncur dari mulut panitia. Entah siapa namanya. Yang kuingat, ia berbadab tegap, berkulit hitam, agak keriting, dan ketawanya lucu. Ia menyuarakan kalimat-kalimatnya dengan suara lantang. Bahkan ia sambil menaiki bangku yang kebetulan berada didepanya. Megapone diangkat tinggi-tinggi. Ketiaknya pun terbuka lebar. Tepatnya, ia akan menyampaikan orasi, yang beberapa menit lalu menjadi bahan ketawaanku. Dasar, pikirku.
”Kita sebagai mahasiswa, harus melanjutkan cita-cita kemerdekaan. Founding father kita telah mengorbankan harta dan darah yang tak ternilai harganya. Perubahan adalah sebuah keniscayaan,” suara lantang kakak itu dengan heroisme tingkat tinggi. Dan melanjutkan beberapa kalimat yang tak kuingat secara pasti. Dia tampak ngos-ngosan.
Tampaknya ia belum puas, meski tenggorokanya terbatuk-batuk. Hendak bersuara, batuk mengganjalnya. Hendak mengarahkan megaphone ke arah mulutnya, lagi-lagi batuk menghadanganya. Mukanya memerah. Secepatnya ia mengambil air minum. Tidak lama langsung diteguknya, ada petanda puas di matanya. Sisanya dibasuhkan ke muka. Segar sekali tampaknya.
Sekali lagi ia mengambil Megapone, yang biasa diplesetkan megacot, di bangku itu. Lanjut naik untuk melanjutkan orasinya yang sempat terhenti. Dengan gagah beringas, ia campakkan kebengisanya saat menyuarakan para penindas. Ada muka sumringah ketika mengatakan generasi revolusioner, Syahrir, Tan Malaka, Soekarno, dan lainya. Belum berhenti disitu, ia juga menyuarakan beragam masalah bangsa; penindasan, pemarginalan, korupsi, dan lainnya. Tampaknya ia harus turun, karena ada agenda lain akan dilakukan.
Tak terasa waktu mengajak istirahat. Ada sedikit penasaran dalam pikirku tentang Orasi. Seteguk air kuminum, terpikir kata itu. Kuputuskan setelah makan untuk menghampiri senior tersebut untuk menanyakan perihal orasi. Aku masih berpikir jangan-jangan diketawakan lagi. Karena beberapa jam yang lalu diketawakan seluruh peserta. Tapi, jangan-jangan mereka semua juga tidak mengenal orasi, apalagi memahami.
”Mas, saya mau tanya.”
”Tanya apa?” jawabnya bengis. Tapi, aku sudah persiapkan nyaliku untuk menanyakannya daripada aku pulang dengan seperangkat beban gara-gara satu kata.
”Yang perihal tadi lho, mas,” ujarku setengah malu-malu.
”Apa to?
”Orasi itu apa to, mas?”
”Tadi kan udah aku bilangin. Orasi itu ya... ka...yak ceramah gitu lho, masak nggak ngerti sih?” kata-katanya berjarak di kata orasi. Tampaknya dia kurang yakin dengan apa yang dikatakanya. Apa jangan-jangan dia sendiri tidak tahu apa itu orasi.
”Iya, saya juga inget kalau orasi itu kayak ceramah gitu. Tapi, yang anda sampaikan kok agak beda. Anda menyampaikan tokoh-tokoh revolusioner. Penindasan. Revolusi. Kedengaranya kok aneh”
”Ya,,, beda lah,,, sama Ustad,”
”Apa bedannya?”
”Bedanya,,,, kita kan mahasiswa,” sesekali ia terbata-bata untuk mengatakanya. Mungkin karena keluguanku sehingga sulit untuk menjelaskanya, layaknya anak kecil yang sulit memahaminya.
”Terus, apa tujuanya mas kok pakek orasi segala? Pentingnya buat mahasiswa baru apa?”
Tak sedikitpun kata meluncur dari mulutnya. Ia terdiam sejenak. Mungkin sedang merancang kata yang mudah untuk kupahami. Tapi, detik memanjang. Menit kian melebar. Ia alihkan pembicaraan ke teman di sampingnya. Apa mungkin pertanyaanku cukup mengada-ada sehingga malas menjelaskanya. Saatnya aku memalingkan muka. Kubalikkan badanku meninggalkan jejak. Tapi aku belum puas dengan kata itu hingga di kos-kosan, tempat peristirahatan, pelepas lelah rutinitas yang banal di jogjakarta ini.
Pada akhirnya ”orasi” menjadi kata yang abu-abu dalam pikirku. Tak jelas warna apa yang dikehendaki. Mungkin aku tidak menyampaikan itu putih, hijau, kuning atau apa karena aku belum mendapati makna yang sesungguhnya. Mungkin juga sengaja dibuat abu-abu biar orang bebas untuk menafsirkan apa saja, asalkan tidak mengurangi isi dan kandunganya. Biar waktu yang akan memberi sekelumit tafsir, sejengkal makna, dan setetes guna kepada diriku yang sedang bertanya.
Jogjakarta,di Kediaman Terakhir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H