Aku benar-benar merasa sangat gembira hari ini. Dosen sekaligus dokter bedah yang paling aku kagumi mengundangku secara pribadi ke rumahnya. Ia sempat mengutarakan niatannya untuk menjadikanku sebagai asisten. Terkejut, bangga, sekaligus sangat antusias. Ahhh…semoga saja hari ini menjadi hari yang menyenangkan bagiku.
Dr. Susan, dialah orang yang mengundangku sore ini ke kediamannya. Namanya sangat terkenal di dunia kedokteran sebagai seorang dokter bedah yang sangat ahli. Banyak kasus-kasus pelik yang membuat dokter lain ketakutan dan angkat tangan menanganinya, namun tidak demikian dengan Dr. Susan, dengan berani dia menerima setiap tawaran operasi yang nampak mustahil dilakukan. Banyak operasi-operasi besar lainnya yang berhasil dilalui dengan sukses. Disamping prestasi gemilangnya sebagai dokter bedah, beliau juga seorang pengajar senior di universitas tempat aku menempuh kuliah saat ini.
Selain tentang kisah sukses beliau, banyak juga rumor-rumor yang berkembang disekelilingnya. Maklum, seorang dokter wanita berusia 52 tahun yang sangat ahli dibidangnya dengan riwayat kesuksesan selama 15 tahun karirnya di dunia kedokteran, namun masih saja betah menjanda semenjak suaminya wafat 20 tahun silam. Ada saja orang-orang yang iri dengan kesuksesan Dr. Susan dan ingin menjelek-jelekkan citranya. Entahlah, aku tak mau terlalu mengurusi hal itu. Mungkin karena kesibukan karirnya membuat ia tidak sempat memperhatikan kehidupan pribadinya.
Namun, ada juga rumor tentang kehidupan rumah tangga Dr. Susan yang cukup menggangguku. Ada kabar burung yang menyebutkan kalau beliau sudah menjanda dua kali, dan kabarnya Dr. Susan kawin lari dengan suaminya yang pertama. Sayangnya, lelaki itu ternyata seorang suami yang tak bertanggung jawab, merekapun akhirnya bercerai.
“Dr. Susan pernah kawin lari? ah, mustahil...” kataku saat mendengar rumor itu dari temanku.
“Entahlah, aku juga sulit mempercayainya.” jawab temanku itu.
Tentu saja hal itu sulit dipercaya, Dr. Susan yang terkenal cerdas dan sangat brilian mana mungkin melakukan hal sebodoh itu.
Setelah puas melihat penampilanku di depan cermin, segera saja aku beranjak dari apartemen dengan mengendarai mobilku. Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit akhirnya aku sampai di kediaman Dr. Susan. Sebuah rumah yang sangat besar bagaikan istana dan terletak di kawasan pemukiman elit tempo dulu. Seorang penjaga menyambutku di gerbang depan, pria berwajah dingin dengan setelan jas rapi. Entah kenapa, aku merasa begidik melihat raut wajahnya yang tanpa ekspresi itu.
Mobil kupacu perlahan menuju tempat parkir. Setelah mengatur posisi kendaraan dengan rapi, aku segera turun dan berjalan menuju pintu masuk rumah itu. Lagi-lagi pria dengan tampang dingin itu yang menyambutku. Ugh, perasaan tidak nyaman itu kembali menghampiriku. Untung saja tidak lama kemudian Dr. Susan datang menemuiku.
“Selamat datang di rumahku Arisa. Bagaimana, tidak sulit bukan mencari alamat rumah ini?” sambut Dr. Susan dengan ramah.
“Tidak dok, kebetulan saya langsung menemukan alamat rumah ini dengan tepat.” jawabku singkat.
“Baiklah, mari kita menuju ruangan kerjaku…” ajak Dr. Susan tanpa berlama-lama.
Sambil memberikan isyarat kepada pria itu untuk menyiapkan hidangan, Dr. Susan mengajakku menaiki tangga menuju ruang kerjanya di lantai dua. Setelah melewati beberapa ruangan dengan pintu tertutup, akhirnya kami sampai disebuah ruangan yang luas dengan dinding luar yang terbuat dari kaca. Sementara di bagian dinding yang terbuat dari tembok, terdapat lemari dan rak-rak kayu yang dipenuhi dengan bermacam-macam buku. Tepat di depannya, dengan jarak yang cukup leluasa, terdapat sebuah meja kerja berlaci banyak dan seperangkat komputer. Di depan pintu masuk ruangan itu, terdapat sebuah sofa panjang dengan meja kecil dihadapannya.
“Maaf Arisa, aku mandi dulu. Kamu tunggu saja disini, biar nanti Pak Ridwan mengantarkan hidangannya kemari.” Pamit Dr. Susan padaku sambil mempersilahkan aku duduk di sofa. Aku hanya membalas dengan anggukan.
Tak berapa lama kemudian pria berwajah dingin itu datang mengantarkan hidangan. Beberapa potong keik, dua buah gelas kosong dan sebuah kan yang terisi penuh dengan sirop. Pria itu menuangkan sirop ke dalam gelas dan menyajikannya bersama dengan sepotong keik yang diletakkan diatas piring kecil lalu menyodorkan kepadaku.
“Terima kasih” aku berkata sesingkat mungkin sambil menghindari bertatapan muka dengan pria itu. Dia hanya membalasnya dengan membungkukkan badannya sedikit lalu beranjak pergi dengan segera.
Sedikit bosan, aku mengambil gelas yang terisi dengan sirop dan beranjak dari sofa menuju tumpukan buku di ruangan itu. Sambil mencari-cari judul yang menarik, mataku menangkap sebuah map tebal yang tergeletak di atas meja kerja dengan beberapa lembar foto menyembul dibagian sampingnya. Merasa penasaran, aku lalu membuka dan membaca isi map itu.
Saking terkejutnya, hampir saja aku menumpahkan gelas berisi sirop yang sedang kubawa. Gambar yang ada di foto-foto itu begitu mengerikan. Wajah-wajah kesakitan dengan luka sayatan yang sangat banyak di tubuh mereka. Foto-foto itu tampaknya diambil dalam waktu yang berbeda. Mataku nyaris melompat saat melihat selembar foto dengan wajah yang kukenal.
“Erica…” desisku nyaris tanpa suara. Asisten Dr. Susan yang terakhir dan juga mahasiswi kedokteran di universitas yang sama denganku. Namun kami berselisih beberapa tingkat, dia seniorku di kampus. Aku membalikkan foto itu dan membaca tulisan yang tertera disana.
Kelinci Percobaan ke-63, Transplantasi Jantung
Hatiku berdebar kencang, mataku langsung saja menerawang ke arah map itu dan membaca tulisan-tulisan yang ada di setiap lembar foto. Semua bertuliskan bermacam-macam jenis operasi yang familiar di dunia kedokteran. Namun disetiap foto itu selalu bertuliskan Kelinci Percobaan, diikuti dengan nomor urut.
Keringat dingin mulai mengalir ditubuhku. Rasa panik nyaris membuatku pingsan, aku ingin lari secepat mungkin meninggalkan rumah itu. Tiba-tiba saja Dr. Susan sudah berdiri menghadang di depan pintu masuk ruang kerjanya.
“Lancang!” hardiknya dengan suara lantang. Aku hanya tertegun menatap sosoknya yang menatapku dengan mata nyalang. Ia lalu melirik ke arah gelas sirop yang kubawa. Tiba-tiba ia tersenyum sambil berjalan ke arahku dengan perlahan.
“Tampaknya kamu sudah menemukan sedikit rahasiaku…” Dr. Susan kini bertutur dengan nada yang lebih rendah, namun terasa begitu mengerikan bagiku. Ia lalu bercerita tentang kelinci-kelinci percobaan yang ia jadikan sebagai bahan eksperimen untuk menyempurnakan tekniknya sebagai dokter bedah hingga keahliannya terkenal seperti sekarang ini. Sementara korban-korban yang dijadikan sebagai kelinci percobaan adalah asisten-asisten yang ia rekrut dari mahasiswa di universitasku.
Aliran darahku seolah terhenti mendengar penuturan Dr. Susan. Ia lalu menceritakan suaminya yang ia nikahi 25 tahun silam. Seorang pria kaya yang memiliki beberapa perusahaan yang cukup sukses.
“Pria yang malang, dia akhirnya tewas setelah aku racuni selama bertahun-tahun.” Dr. Susan bercerita dengan ekspresi bahagia yang menakutkan.
“Untung saja dokter pribadi lelaki itu seseorang yang bodoh. Dia sama sekali tidak menemukan alasan kenapa kesehatan suamiku semakin memburuk” sejurus kemudian Dr. Susan tertawa terbahak-bahak dengan suaranya yang melengking.
“Semua gara-gara lelaki biadab itu! menikahiku tanpa restu kedua orang tuaku, lalu menelantarkanku hingga anak kami satu-satunya meninggal karena jatuh sakit…” Dr. Susan tampak sedih saat bercerita tentang anaknya.
Ia lalu mengutarakan kebenciannya terhadap laki-laki, serta ambisinya untuk meraih kesuksesan dalam karir sebagai balas dendam atas kematian anaknya dan rasa tidak percaya terhadap kaum laki-laki yang menurutnya tidak bisa diandalkan.
Tubuhku kini bergetar hebat, tanganku mencoba meraba-raba ke sekeliling, mencoba menemukan benda yang cukup keras untuk menghantam kepala Dr. Susan. Tiba-tiba saja ia melirik ke arahku.
“Percuma saja kau melawan Arisa. kesadaranmu sebentar lagi hilang…” Dr. Susan berkata sambil tersenyum menatap ke arah gelas sirop yang kuminum tadi.
Tiba-tiba saja kepalaku terasa melayang, pandanganku mulai samar-samar. Kakiku tak mampu lagi menahan beban tubuhku. Akhirnya tubuhku ambruk ke lantai dan tak sadarkan diri.
*****
Kesadaranku berangsur-angsur pulih. Pandanganku yang semula buram, semakin lama semakin jelas.
“dimana aku?” tanyaku dalam hati.
Aku tak mampu merasakan jari-jari tanganku, tubuhku benar-benar lumpuh. Pandanganku menerawang dengan perlahan ke arah sekeliling, sebuah gubuk kayu yang disulap menjadi sebuah ruangan operasi. Aku melihat sebuah masker oksigen terpasang di wajahku, tubuhku terbaring disebuah meja dalam keadaan telanjang.
“Oh, rupanya kau siuman ya?” tanya seseorang yang mengenakan pakaian lengkap untuk operasi. Dari suaranya aku dapat mengenali kalau itu adalah Dr. Susan. Tangannya yang terbungkus sarung tangan karet menarik masker yang ia kenakan hingga menampakan wajah Dr. Susan yang sedang tersenyum. Ia lalu mendekatkan wajahnya ke arah mukaku.
“Tenang saja…kamu sama sekali tak akan merasakan sakit.” wajah itu lalu menjauh dan bersembunyi lagi di balik masker.
“Ridwan, coba kau tambahkan lagi dosis anestesinya…” perintah Dr. Susan kepada seseorang di belakangnya. Lambat laun kesadaranku mulai menghilang.
---THE END---
kolaborasi : Bung Opik & Sibengal Liar
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI