“Cerita tentang kematian adalah hal yang selalu kuhindari. Karena kematian merupakan akhir perjalanan hidup seseorang dan selalu menyisakan kesedihan bagi orang-orang yang mengasihinya...”
***
Hujan di bulan Februari selalu mengingatkanku pada sosok seorang gadis yang kukenal di bangku SMA. Ratna, gadis yang menjadi kembang di sekolah. Bukan karena kecantikannya tak tersaingi, banyak juga siswa laki-laki yang terkagum-kagum dengan paras jelita Indri, Nunik, Yuli, atau Eva. Prestasi yang menonjol, keramahan, serta kepandaiannya membawa diri adalah pesona Ratna yang membuat banyak laki-laki terpikat, termasuk aku salah satunya.
Ini adalah tahun terakhir kami duduk di bangku SMA. Tak terasa, sudah dua tahun aku memendam kekaguman pada Ratna dan belum pernah sekalipun mengungkapkannya. Hari pertama,bersekolah, pandanganku menangkap sosok Ratna dalam balutan keramahan yang anggun bersahaja dan segera saja membuatku terpesona.
Untuk pertama kalinya kami duduk sekelas. Meja Ratna hanya berselang satu di depanku. Seakan-akan alam semesta sedang memberikan restu untuk menyatakan perasaanku pada Ratna. Meskipun kesempatan itu terbuka lebar, namun rasa percaya diri bukanlah sisi yang menjadi keunggulanku. Akhirnya kuputuskan untuk menuangkan perasaanku dalam selembar surat, suatu hal yang lumrah pada masa itu.
Kesempatan itu akhirnya datang juga. Karena kesibukannya mengikuti kegiatan OSIS, Ratna terpaksa melewatkan jam pelajaran terakhir di luar kelas. Ratna yang terpilih sebagai bendahara OSIS pada periode sebelumnya, harus menjalani prosesi serah terima jabatan dengan pengurus baru yang terpilih dari siswa kelas dua. Sebagai penyandang peringkat kedua di kelas, aku adalah orang yang dipilih Ratna untuk meminjam buku catatan. Tak disangka-sangka, kemampuan akademikku yang masih terpaut satu peringkat di bawah Ratna akan berguna juga.
“Wan, aku pinjam buku catatan Matematika punyamu ya?” Tanya Ratna dengan nada memohon.
“Boleh. Sebentar aku ambilkan.”
Setengah berlari aku kembali ke tempat duduk, mencari-cari buku catatan matematika di antara tumpukan buku yang ada di dalam tas. Tak lupa kuselipkan surat yang selalu ku bawa di halaman paling depan, lalu menyerahkannya buku catatan itu kepada Ratna.
“Trims, Wan. Besok bukunya aku kembalikan.” sahut Ratna berterima kasih sambil menyebut panggilan singkat namaku, Setiawan.
“Iya. Santai saja.” Balasku sambil berusaha menyembunyikan perasaan girang yang berlebihan.
***
Setelah jam pelajaran berakhir, aku bergegas pulang dengan berjalan kaki menuju rumah yang jaraknya hampir satu setengah kilometer dari gedung sekolah. Sebelum keluar dari pekarangan sekolah, aku kembali berpapasan dengan Ratna yang baru saja akan pulang mengendarai sepeda kumbang tua milik ayahnya.
“Sampai ketemu besok, Wan.” Sapa Ratna sambil tersenyum ketika ia mendahuluiku dengan sepeda kumbangnya.
“Sampai besok.” Jawabku sedikit gugup.
Perasaan gelisah yang tengah mendera membuatku tak sabar untuk segera menyongsong esok hari. Dengan langkah gontai aku melanjutkan perjalanan pulang, sambil terus menatap ke arah Ratna yang perlahan-lahan mulai menjauh.
Ratna hampir saja berhasil menyeberangi jalan raya yang melintasi depan sekolah dan akan memasuki jembatan yang membelah sungai besar di sepanjang sisi jalan raya, ketika sebuah sepeda motor berkecepatan tinggi menikung tajam, berusaha memasuki jembatan dari arah jalan raya di sebelah kiri tempatku berdiri.
Terdengar decit suara ban yang memekakan telinga. Sepeda kumbang Ratna terpelanting, tas sekolah yang ia bawa terlontar ke udara dengan isinya yang berhamburan. Aku dapat melihat amplop biru yang kuselipkan melayang di antara buku-buku dan terjatuh ke sungai. Surat cinta pertamaku yang tak pernah sampai…
***
40 Tahun Kemudian…
Hujan perlahan-lahan mulai reda, membuatku tersadar dari lamunanku. Kini aku telah menjadi seorang lelaki tua yang memiliki istri, dan dikaruniai dua orang anak, serta seorang cucu yang berusia lima tahun. Namun kenangan tentang peristiwa empat puluh tahun silam itu tak pernah hilang dari ingatanku.
Hari mulai beranjak sore. Seperti biasa, istriku selalu menghidangkan secangkir kopi untuk menemaniku bersantai di teras rumah. Tak lama setelah ia meletakkan cangkir kopi di atas meja, aku segera memintanya duduk di kursi kosong yang ada di sampingku. Kami melewati penghujung sore itu sambil duduk berdekapan. Namanya Ratna Sulastri, istri sekaligus cinta pertamaku semasa SMA.
Hehehe, bukankah aku sudah mengatakan kalau aku tak menyukai cerita tentang kematian? :)
*FIN*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H