Mohon tunggu...
Saumiman Saud
Saumiman Saud Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati

Coretan di kala senja di perantauan

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

John Sung, Obor Tuhan dari Asia

19 Agustus 2015   22:23 Diperbarui: 20 Agustus 2015   00:12 4469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Riwayat Hidup seorang pekabar Injil yang bernama John Sung

Setiap orang, tidak perduli kaya atau miskin, tua atau muda, berpendidikan atau tidak pasti mempunyai patokan nilai dalam dalam kehidupannya. Kadang ada orang yang menyesal mengapa pada masa mudanya tidak dipakai baik-baik sehingga sekarang ini menjadi begini. Jangan coba-coba mengatakan itu adalah kehendak TUHAN kalau kenyataannya kita yang berbuat salah. Hukum dunia menempatkan nilai-nilai pada kemudaan, sehat, kecantikan fisik, kecerdasan dan pendididkan, kaya, kekuasaan dan kedudukan serta pemuasan diri. Dunia yang akan datang berkata, sekarang ini dan nilai-nilai itu akan segera berlalu. Di dunia yang akan datang kita semua mendapat tubuh baru yang tidak akan menjadi tua dan tidak pernah rusak (1 Kor 15 :35-58), kita akan mengenal seperti kita sendiri dikenal (1 Kor 13 : 9-12), akan ada upah untuk pelayan yang setia (1Kor 3 :5-15) dan kita akan memerintah bersama Kristus selamanya (2 Tim 2 :12 dan Wahyu 22 :1-5) Pertanyaannya bagaimana kita memakai kesempatan ini? Coba lihat seorang tokoh dari China ini .

Nama besarnya John Sung sang pengabar Injil dari Tiongkok yang sangat dikenal dalam kalangan gereja-gereja di Jawa, terutama di kalangan gereja-gereja Tionghoa, termasuk juga di kota Surabaya. John Sung diberi gelar Obor Allah di Asia, karena beliau merupakan seorang penginjil yang luar biasa pada abad 20, khususnya dalam acara-acara Kebaktian Kebangunan Rohani yang dipimpinnya. John Sung juga seorang pengkhotbah yang memulai pelayannya awal tahun 1933 di propinsi Shantung. Ia pernah juga bergabung satu tim dengan Dr. Andrew Gih, pendiri Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang. John Sung lahir di desa Hong Chek, wilayah Hing Hwa di propinsi Fukien, Tiongkok Tenggara, pada tanggal 27 September 1901.

John merupakan anak ke-6 dari pendeta Sung, seorang hamba Tuhan di Gereja Methodist. Ia juga disebut anak pertama dari keluarga Sung, dihitung setelah pertobatan Nyonya Sung. Sebelum lahir, ia sudah diserahkan kepada Tuhan untuk dijadikan pelayan-Nya. Nama kecil yang diberikan keluarganya adalah Ju Un, artinya Kasih karunia Allah. Ayah John sebenarnya gembala sidang di Gereja Methodist Hong Chek, tetapi pada tahun 1907 ia pindah pelayanan ke Hing Hwa sebagai Wakil Kepala Sekolah pada sebuah Sekolah Alkitab Methodist di sana, waktu itu Ju Un berumur 6 tahun. Ayah Ju Un, yakni pendeta Sung sering bepergian dan waktunya cukup banyak tersita untuk pelayanan sebagai hamba Tuhan. Sementara itu Nyonya Sung harus bekerja keras di sawah untuk menambah penghasilan keluarga itu.

Timbul banyak pergumulan berat, terutama dalam bidang ekonomi, tatkala keluarga itu bertambah besar. pendeta Sung sendiri hampir-hampir meninggalkan panggilannya sebagai hamba Tuhan, tatkala menghadapi kesulitan keuangan yang cukup berat. Namun ketika ia berlutut berdoa, Tuhan secara pribadi berbicara kepadanya. “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri” (Amsal 3:5). Kemudian ada suara yang seakan-akan berkata kepadanya “Hamba-Ku janganlah takut, engkau ada dalam tangan-KU. Aku tahu kebutuhan keluargamu.” Pengalaman inilah yang menguatkan tugas panggilannya, dan mulai saat itu ia tidak pernah lagi menoleh ke belakang atau meinggalkan penggilan Tuhan.

Karakter pendeta Sung seorang yang cepat marah, dan rupanya Ju Un mewarisi tabiat itu. Oleh sebab itu, ketika Ju Un bertambah besar, selalu terjadi kesulitan komunikasi dengan ayahnya; sebab wataknya sama keras. Tongkat bambu ayahnya sering dipakai untuk menghajar Ju Un, dan herannya Ju Un selalu mencari cara-cara yang licik untuk membalas. Suatu hari Ju Un marah, ia menubrukkan kepalanya menghantam buyung tanah, sehingga buyung itu hancur. Pada peristiwa yang lain, ia pernah melemparkan sebuah mangkuk berisi nasi panas ke wajah adiknya. Karena takut akan hukuman yang segera akan diberikan, maka Ju Un memutuskan utnuk melompat ke dalam sumur; suatu cara yang tepat di Tiongkok pada waktu itu untuk menjengkelkan keluarga. Tetapi Ju Un kalah cepat mengangkat tutup sumur itu dan akhirnya ia dihukum dengan hukuman yang cukup berat.

Suatu kali sesudah dipukuli ayahnya, ia mengintip dari celah-celah kamar kerja ayahnya. Ia heran melihat ayahnya menangis. Lalu ia berlari dan menabrak pintuk mendapatkan ayahnya. Ju Un berteriak, “Apa yang terjadi, Ayah? Ayah menghukum aku, tetapi aku tidak menangis. Mengapa justru ayah yang menangis?” Jawab ayahnya, “Ini adalah pelajaran mengenai kasih sayang Allah.” Di Sekolah Kristen, Ju Un mempunyai tingkat kecerdasan yang cukup tinggi dan luar biasa. Hal ini menyenangkan hati ayahnya. Ia mempunyai nama sindiran (ejekan), yakni si “Kepala Besar”. Pada tahun 1913, dalam sebuah Kebangunan Rohani di Hing Hwa ia mengalami pertobatan. Sejak itu, Ju Un mulai terlibat dalam pelayanan. Ia juga sering berkhotbah, sering ia digelari si “Pengkhotbah Cilik”. Ia juga sering menggantikan ayahnya untuk berkhotbah.

John juga senang membagi-bagi traktat di Alun-alun, menjual Alkitab, memimpin puji-pujian; sekalipun waktu itu ia masih sekolah lanjutan. Sifat-sifat jeleknya rupanya masih sukat ia lenyapkan, kadang-kadang emosinya suka tidak terkendalikan (ia sering marah), sombong. Hal ini yang membuat ayahnya berkesimpulan bahwa Ju Un tidak layak menjadi hamba Tuhan, lebih baik ia kuliah disiplin pendidikan yang lain saja. Karena itu, Ju Un dikirim ke Sekolah Menengah Angkatan Laut, fukien. Jarak perjalanan unuk tes masuk itu 643 km, di kota Foo Chow. Ju Un tidak pernah gentar menghadapi ujian ini, biasanya ia selalu mendapat hasil yang gemilang.

Rupanya jalan Tuhan itu lain dari apa yang dikehendaki oleh manusia. Penyakit kaki yang bengkak menyerang Ju Un, sehingga ia tidak sanggup menempuh perjalanan yang jauh untuk ujian tes masuk. Ju Un tidak peduli dengan kakinya, ia tetap berjalan sekuat tenaga, sehingga tatkala ia tiba di Foo Chow, kesehatannya sangat buruk; ia harus gagal mengikuti ujian dalam pemeriksaan kesehatan. Allah menutup pintu baginya. Suatu hari, Ju Un datang menyampaikan keinginannya kepada ayahnya, bahwa ia hendak sekolah ke luar negeri. Ayahnya, yang waktu itu sudah berumur, sangat marah, “Engaku kira kita punya uang untuk perjalananmu dan belanjamua dengan makan tinta asing dan mengisi kepalamu dengan angin? Ayahmu bukanlah Mandarin Hing Hwa, melainkan pendeta yang miskin!” Ju Un yang pada saat itu berusia 18 tahun sangat sadar bahwa tidak banyak yang dapat dipelajari di Tiongkok, apalagi dengan situasi politik saat itu. Selama kurang lebih seminggu lamanya, ia harus menjerit kepada Allah, supaya membuka jalan baginya. Beberapa hari kemudian datang surat dari Beijing yang menawarkan secara cuma-cuma untuk kuliah di Universitas Wesley di Ohio. Biaya makan dan tempat tinggal disediakan. Dengan berdasarkan informasi ini, ia datang kembali kepada ayahnya, tetapi pendeta tua Sung tetap tidak mengizinkan Ju Un pergi; sebab ia tidak ada uang untuk dipakai sebagai ongkos perjalanan. Namun berkat doa yang tekun dari Ju Un, jemaat ayahnya tergerak untuk mendukung. Melihat kenyataan ini, akhirnya Pendeta Sung mengizinkan Ju Un pergi walaupun masih setengah hati.

Tanggal 2 Maret 1920 merupakan hari bersejarah bagi Ju Un, sebab hari itu merupakan hari pemberangkatannya dan perpisahan dengan orang tuanya. Di dalam perjalanan itu, hanya dia sendiri yang Kristen, sehingga ia merasa sedih, tatkala teman-temannya berperilaku jelek. Ju Un mendaftarkan diri masuk Universitas. Beasiswa yang dia terima hanya cukup untuk membayar uang kuliahnya. Janji untuk mendapatkan uang konsumsi dan akomodasi tidak dipenuhi. Dengan uang enam dolar di kantong, ia menghadapi pergumulan iman yang dangat berat. Ia putuskan untuk mencari pekerjaan. Yang pertama dilakukan adalah membersihkan toko, dengan upah 25 sen per jam. Kemudian ia bekerja keras di sebuah hotel. Dengan cara demikian, ia mendapat upah selama musim panas untuk membiayai ongkos hidup di musim dingin.

Selama empat tahun ia berada di Amerika Serikat merupakan tahun-tahun perjuangannya melawan kemiskinan dan kesehatan. Sebagai seorang mahasiswa John Sung ternyata cukup istimewa dan luar biasa. Ia masuk jurusan Fisika dengan eksakta dan kimia sebagai pelajaran utamanya. Tahun kuliahnya yang terakhir merupakan beban berat baginya. Otak Ju Un cukup tegang. Waktu yang dia perlukan untuk belajar mulai menyita waktu yang dia perlukan untuk menelaah Alkitab dan berdoa secara pribadi. Kemunduran rohaninya cukup berpengaruh terhadap tingkah lakunya. Ia menjadi orang yang sombong dan tidak sabar. Di pabrik tempat ia bekerja, ia mencatat sebagai jam kerja, padahal ia tidak bekerja, sehingga ia mempunyai waktu untuk lebih banyak belajar. Kemudian yang cukup disayangkan, ia bekerja sama dengan mahasiswa yang lain menipu dalam ujian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun