PENCITRAAN, LAIN DI BIBIR LAIN DI HATI
“Memang lidah tak bertulang, tak berbekas kata-kata. Tinggi gunung seribu janji, lain dibir lain di hati” . Nah, sepenggal kalimat ini dari lagu nostalgia Indonesia, tetapi isinya merupakan kenyataan hidup manusia. Lidah itu benar-benar tidak bertulang, jadi susah dikontrol, perlu hikmat yang khusus dalam arti bertutur kata. Kemudian dilanjut dengan almarhum Broery Marantika (Pesolima) mempopulerkan sebuah lagu yang berjudul “Jangan ada dusta di antara kita”, artinya mari terbuka, sama-sama tahu, tidak ada rahasia lagi. Saat ini dunia dapat membuat orang-orang yang mau hidup normal pusing tujuh keliling, bayangkan saja mereka yang mencoba berlaku jujur kemudian malah dibenci. Ada banyak perbaikan dan penyempurnaan lebih ditujukan pada hari ini yang di dalamnya mengandung unsur-unsur kepentingan pribadi dan kenyamanan hidup sendiri. Di era jaman internet ini, antara kesungguhan hidup dan bermain sandiwara sulit dibedakan. Orang tidak berani melakukan hal-hal yang baik sekalipun , karena takut disebut pencitraan. Kalaupun kebenaran dilakukan tetap saja mendapat celaan dan cemooh dari orang-orang tertentu. Sebagian orang malah melakukan hal-hal yang arogan dan cenderung jahat justru malah mendapat pujian. Orang-orang yang ingin hidup dengan benar mengalami benturan-benturan yang cemar.
Hari ini dunia membutuhkan orang-orang jujur, sebab orang yang jujur pasti berani bertindak dengan benar. Orang yang benar tidak takut akan tekanan kanan-kiri, karena dia tidak merasa hutang budi. Orang yang berhutang budi pasti sungkan melakukan hal-hal dan pendapat yang yang tidak berkenan dengan penolongnya. Oleh sebab itu apapun pendapat dari sang penolong senantiasa akan diikutinya, walaupun kemungkinan besar tidak sesuatu dengan hati nuraninya, yang penting sejalan. Yang menjadi masalah bahwa hati nurani itu tidak kelihatan, sehingga tidak dapat meyakinkan sepenuh bagi orang banyak. Justru orang yang mengandalkan hati nutrani tanpa perbuatan akan di sebuiat pembohong kelas kakap.
Iman tanpa perbuatan, sia-sia, ini sedikit kutipan firman Tuhan dari Alkitab. Jadi jika kita katakan isi hati kita bukan demikian, mestinya kita juga tidak berbuat hal yang serupa. Omong kosong jika engkau mengatakan tidak mau minum kopi, lalu ada tawaran minuman lain Es Teh, tetapi engkau masih pengin beri tambahan susu dan gula sedikit. Lalu jikalau orang-orang tidak suka susu dan gulanya karena takut manis dan lemak, lalu engkau menjadi ngambek dan marah dan tidak minum Es Teh itu bahkan engkau membuangnya. Sehingga semua orang mau tidak mau harus minum kopi, padahal kebanyakan orang tidak mau minum kopi. Sebanarnya gula dan susu kan boleh belakangan baru ditambahi, minum dulu Es Tehnya, tetapi karena engkau membuangnya itu sama artinya bahwa engaku hendak minum kopi. Jikalau sudah terlanjur seperti itu, maka alas an apapun yang engkau lontarkan, orang-orang tidak percaya lagi pada anda.
Seorang pemimpin itu kehidupannya seperti berada di dalam aquarium, semua orang memperhatikannya. Segala tingkah laku dan perbuatannya dicatat, tidak bisa melarikan diri. Pendapat dan keputusan-keputusan penting yang diambilnya, tidak dapat terhindar dari media sosial dan media massa. Karena kehidupannya transparan, maka ia harus hidup apa adanya, tidak boleh ada apa-apanya. Lain dibibir, lain dihati tidak ada dalam kamus kehidupannya, yang ada adalah apa yang diucapkan itu juga merupakan pendapat dan isi hatinya. Insaflah bila kita hendak menjadi pemimpin yang benar, karena pemimpin yang benar bukan sekadar berbuat baik saja, tetapi ia juga harus berbuat yang benar.
The Cornerstone
Mengakhiri bulan Sept 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H