Sebagai warga keturunan, sewaktu kecil kita selalu dijari oleh orang tua selalu mengalah, jangan coba mencari masalah, lebih baik berdiam diri saja, jangan dilawan dan sebagainya; terutama terhadap orang luar apalagi aparat pemerintah. Tidak tahu mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi. Saya coba menjajaki beberapa kemungkinan, waktu itu orang tua kita itu sebagaian besar masih Warga Negara Asing (WNA) sehingga mereka pikir lebih baik tidak berbuat hal yang aneh-aneh. Lagi pula sebagai perantauan, sanak family tidak ada, uang juga tidak ada jadi harus fokus bekerja keras. Kemudian saya teringat lagi waktu masa kecil; petugas kota praja beberapa bulan sekali mendatangi rumah-rumah, memeriksa, mengecek setiap keluarga yang belum tau telat membayar pajak Rumah Tangga atau juga Pajak Bangsa Asing (karena WNA), wah mereka diperlakukan dengan cara “tidak manusiawi”. Karena pada saat itu kita tidak mengerti hukum dan kita masih kecil, orang tua tidak berpendidikan, masih warga asing, tiadak ada informasi yang jelas maka petugas pajak semena-mena saja menyita barang-barang rumah tangga, dan tidak jarang waktu itu supaya barang-barang tidak disita para petugas menerima uang suap. Jadi kalau sudah demikian tentu tidak heran jarang sekali teman-teman warga keturunan yang mau terjun dalam bidang politik, karena sejak kecil memang sudah dijauhkan dari itu. Nah jikalau sejak kecil saja diajarkan mengalah, menghindar, jangan mencari masalah, tentu sulit kita temukan mereka yang menjadi preman apalagi pejabat di pemerintahan. Namun jika kita telusuri ternyata ada juga satu dua orang yang nekad berbuat demikian yang kita sebuat preman kampung, dan beraninya hanya pada orang-orang kampung. Kalaupun kita temukan ada keluarga keturunan yang memiliki suatu panggilan khusus seperti Ahok Sang Gubernur DKI yang sebentar lagi bakal dilantik, itupun hanya beberapa orang saja.
Preman itu adalah istilah buat mereka yang sesungguhnya tidak bekerja, nganggur, nah kerjanya malak uang orang, nodong dan sebagainya. Kehidupannya mungkin juga bersandar pada orang lain yang lebih kaya, karena orang tersebut takut padanya atau menganggapnya sebagai bekingannya. Preman bisa saja berkuasa atas sebuah lahan parkir, sebuah kampung, sebuah Mall, dan tidak jarang kita temukan mereka sering berkelahi ; dan siapa yang menang maka siapa yang berkuasa. Pertikaian yang terjadi belakangan ini di kalangan elite politik nampaknya tidak begitu beda seperti model preman. Muncul ancaman, tekanan, jeritan bakar membakar, jeritan bunuh membunuh, semua merupakan ciri-ciri khas jeritan preman. Sayang sekali, di saat semua mayarakat rindu sekali akan pembangunan di tanah air tercinta sementara orang-orang tertentu yang hanya karena kepentingan sendiri, ketamakan, kerakusan, haus kekuasaan telah melakukan tindakan dan keputusan yang semena-mena hingga rakyat yang menjadi korban. Perbuatan model begini bukan menjadi pujian, tetapi justru menjadi cacian, dan itu terjadi bejuta-juta rakyat Indonesia sedang mencaci, mengutuk mereka yang merampas hak itu, termasuk kecurigaan terhadap presiden yang berkuasa saat ini gara-gara partainya WO dalam sidang penegsahan UU Pilkada beberapa hari yang lalu.
Jikalau memang kita sungguh cinta pada tanah air dan hendak membangunnya, kita bukan lagi mencari musuh atara sesama bangsa ini lagi. Justru jikalau kita memang konsisten, jadilah preman yang membela bangsa dan tanah air. Ada banyak TKW kita yang diperlakukan semena-mena di luar negeri, jadilah preman untuk membebaskan mereka. Perekonomian kita seakan-akan dijajah luar negeri, jadilah preman yang berhikmat untuk memikirkan bagaimana bangsa ini bisa meningkatkan taraf ekonomi. Jikalau ada bangsa lain yang mungkin mau merampas tanah Indonesia, mereka yang menghina Indonesia, mereka yang anggap remeh bangsa Indonesia, kepada orang-orang demikian yang harus dilawan dengan sikap preman itu, supaya kelak bangsa kita tidak dianggap remeh lagi pada masa-masa mendatang. Jangan menjadi preman yang memusuhi bangsa sendiri, menjegal bangsa sendiri yang berprestasi, merampas hak bangsa sendiri. Preman yang sejati hari ini yang diharapkan adalah preman yang siap menolong, bukan senantiasa merongrong; jikalau senantiana merongrong, namanya preman lontong yang segera akan dipotong.
The Cornerstone
Minggu, 28 Sept 2014 Sebagai warga keturunan, sewaktu kecil kita selalu dijari oleh orang tua selalu mengalah, jangan coba mencari masalah, lebih baik berdiam diri saja, jangan dilawan dan sebagainya; terutama terhadap orang luar apalagi aparat pemerintah. Tidak tahu mengapa kondisi seperti ini bisa terjadi. Saya coba menjajaki beberapa kemungkinan, waktu itu orang tua kita itu sebagaian besar masih Warga Negara Asing (WNA) sehingga mereka pikir lebih baik tidak berbuat hal yang aneh-aneh. Lagi pula sebagai perantauan, sanak family tidak ada, uang juga tidak ada jadi harus fokus bekerja keras. Kemudian saya teringat lagi waktu masa kecil; petugas kota praja beberapa bulan sekali mendatangi rumah-rumah, memeriksa, mengecek setiap keluarga yang belum tau telat membayar pajak Rumah Tangga atau juga Pajak Bangsa Asing (karena WNA), wah mereka diperlakukan dengan cara “tidak manusiawi”. Karena pada saat itu kita tidak mengerti hukum dan kita masih kecil, orang tua tidak berpendidikan, masih warga asing, tiadak ada informasi yang jelas maka petugas pajak semena-mena saja menyita barang-barang rumah tangga, dan tidak jarang waktu itu supaya barang-barang tidak disita para petugas menerima uang suap. Jadi kalau sudah demikian tentu tidak heran jarang sekali teman-teman warga keturunan yang mau terjun dalam bidang politik, karena sejak kecil memang sudah dijauhkan dari itu. Nah jikalau sejak kecil saja diajarkan mengalah, menghindar, jangan mencari masalah, tentu sulit kita temukan mereka yang menjadi preman apalagi pejabat di pemerintahan. Namun jika kita telusuri ternyata ada juga satu dua orang yang nekad berbuat demikian yang kita sebuat preman kampung, dan beraninya hanya pada orang-orang kampung. Kalaupun kita temukan ada keluarga keturunan yang memiliki suatu panggilan khusus seperti Ahok Sang Gubernur DKI yang sebentar lagi bakal dilantik, itupun hanya beberapa orang saja.
Preman itu adalah istilah buat mereka yang sesungguhnya tidak bekerja, nganggur, nah kerjanya malak uang orang, nodong dan sebagainya. Kehidupannya mungkin juga bersandar pada orang lain yang lebih kaya, karena orang tersebut takut padanya atau menganggapnya sebagai bekingannya. Preman bisa saja berkuasa atas sebuah lahan parkir, sebuah kampung, sebuah Mall, dan tidak jarang kita temukan mereka sering berkelahi ; dan siapa yang menang maka siapa yang berkuasa. Pertikaian yang terjadi belakangan ini di kalangan elite politik nampaknya tidak begitu beda seperti model preman. Muncul ancaman, tekanan, jeritan bakar membakar, jeritan bunuh membunuh, semua merupakan ciri-ciri khas jeritan preman. Sayang sekali, di saat semua mayarakat rindu sekali akan pembangunan di tanah air tercinta sementara orang-orang tertentu yang hanya karena kepentingan sendiri, ketamakan, kerakusan, haus kekuasaan telah melakukan tindakan dan keputusan yang semena-mena hingga rakyat yang menjadi korban. Perbuatan model begini bukan menjadi pujian, tetapi justru menjadi cacian, dan itu terjadi bejuta-juta rakyat Indonesia sedang mencaci, mengutuk mereka yang merampas hak itu, termasuk kecurigaan terhadap presiden yang berkuasa saat ini gara-gara partainya WO dalam sidang penegsahan UU Pilkada beberapa hari yang lalu.
Jikalau memang kita sungguh cinta pada tanah air dan hendak membangunnya, kita bukan lagi mencari musuh atara sesama bangsa ini lagi. Justru jikalau kita memang konsisten, jadilah preman yang membela bangsa dan tanah air. Ada banyak TKW kita yang diperlakukan semena-mena di luar negeri, jadilah preman untuk membebaskan mereka. Perekonomian kita seakan-akan dijajah luar negeri, jadilah preman yang berhikmat untuk memikirkan bagaimana bangsa ini bisa meningkatkan taraf ekonomi. Jikalau ada bangsa lain yang mungkin mau merampas tanah Indonesia, mereka yang menghina Indonesia, mereka yang anggap remeh bangsa Indonesia, kepada orang-orang demikian yang harus dilawan dengan sikap preman itu, supaya kelak bangsa kita tidak dianggap remeh lagi pada masa-masa mendatang. Jangan menjadi preman yang memusuhi bangsa sendiri, menjegal bangsa sendiri yang berprestasi, merampas hak bangsa sendiri. Preman yang sejati hari ini yang diharapkan adalah preman yang siap menolong, bukan senantiasa merongrong; jikalau senantiana merongrong, namanya preman lontong yang segera akan dipotong.
The Cornerstone
Minggu, 28 Sept 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H